M.R. Dayoh
Marius Ramis Dayoh[1] (2 November 1909 – 15 Mei 1975) ialah seorang sastrawan Indonesia. Latar BelakangM. R. Dayoh atau Marius Dayoh dilahirkan pada tanggal 2 November 1909 di Airmandidi, Minahasa, Sulawesi Utara. Kedua orang tuanya adalah pembantu pendeta di gereja. Kakaknya yang tertua juga pendeta. Dari lima bersaudara hanya ia yang mempunyai kemampuan menulis. Dayoh menikah pada usia 44 tahun dengan gadis Minahasa bernama Nelly. Dari perkawinannya itu Dayoh dikaruniai tiga orang anak, dua laki-laki dan seorang perempuan. Anak pertama bernama Hero Suryaatmadja Dayoh, kedua Rochi (Roy) Dayoh, dan yang ketiga Elinora (Elen) Dayoh. Pendidikan yang pernah ditempuh Dayoh adalah HIS di Airmandidi, Minahasa, Kweekschool voor Indlandsche Onderwijzers, `Sekolah Guru untuk Guru Bumiputra` di Ambon. Setamat dari sekolah itu, ia melanjutkan ke Hoogere Kweekschool voor Indlandsche Onderwijzers (HKS), `Sekolah Guru Tinggi untuk Guru Bumiputera` di Bandung bersama dengan Sutan Takdir Alisyahbana. Akhirnya, Dayoh melanjutkan sekolahnya lagi ke Normaalcursus di Malang. Pada tahun 1968 ia memperoleh gelar doktor honoris causa dari Universitas Sawerigading, Sulawesi Selatan. Di samping sebagai pengarang, Dayoh juga menjadi guru Angkatan Baru Menteng 31 di Jakarta dan guru yang disebut Ambonse School `Sekolah Ambon`, yaitu sekolah anak-anak militer di Bondowoso. Sebelumnya, Dayoh tinggal di kota Malang yang membawa kemalangan besar bagi Dayoh karena dari status guru Christelijke Kweekschool `Sekolah Guru Kristen` diturunkan menjadi guru Ambonse School. Hal ini disebabkan oleh tulisan-tulisannya di koran, yaitu syair bertema kelaparan dan kemelaratan. Tulisan itu berbahasa Belanda dan oleh De Yonge disebarluaskan di kalangan pegawai Pangreh Praja melalui para gubernur, para residen, para bupati, dan para camat. M.R. Dayoh dicintai murid-muridnya yang di Christelijke Kweekschool. Dayoh juga pernah menjadi pegawai tinggi pada departemen Pendiidkan dan Kebudayaan. Ia pensiun dari Lembaga Adat-Istiadat dan Cerita Rakyat, Direktorat Jenderal Kebudayaan pada tahun 1966. Dengan memilihnya menjadi ketua Pemuda Kristen Indonesia pada awal tahun 1930. Dalam jabatannya sebagai guru itu membawanya pindah dari kota Malang ke Bondowoso. Di Bondowoso ia bertemu dengan Domine Jensen, kepala gereja di Bondowoso, yang menjadi pencinta sastra. Menurut penilaian Jansen semua sajak-sajak Dayoh dianggap baik bahkan mendapat pujian karena seorang Indonesia yang belum pernah pergi ke negeri Belanda telah sanggup menulis syair dalam bahasa Belanda dengan baik. Atas saran Jensen, Dayoh menghubungi Henriette Rolland Holst, seorang pengarang sosialis Belanda untuk membimbingnya. Permintaan Dayoh itu diterima dan Dayoh menganggap Henriette Rolland Holst sebagai "ibu angkatnya" dengan sebutan "Induk Ayam Belanda yang tua". Hubungan mereka itu dilakukan dengan surat-menyurat. Sejak itu, mengalirlah hadiah Henriette kepada Dayoh berupa buku-buku karangan Henriette seperti Het Eeuwiqe voor dan Tussen Tijd en Eeuwigheid. Sebagai sastrawan, ia sering menulis sajak yang bertema kemelaratan rakyat. Hal ini kemudian menjadi ciri syairnya yang diterbitkan oleh ASIB (Algemene Steunffonds voor Inchemce Bethoftige). ASIB adalah suatu badan yang didirikan oleh Belanda untuk memberikan bantuan bagi fakir miskin bumiputera yang menderita kelaparan dalam tahun 1934—1935. Syair yang diterbitkan oleh ASIB ini menimbulkan kemarahan dan menjadikan Dayoh dipecat dari sekolah itu karena melanggar aturan. Dayoh adalah pengagum para pemimpin dan tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti Dr. Soetomo, Syahrir, dan Sam Ratulangi. Bersama-sama Sam Ratulangi, ia pernah duduk satu meja dalam mengemudikan majalah Suara Selebes pada tahun 1939. Sebagai seorang yang hidup pada zaman sebelum perang, Dayoh juga tidak luput dari pergaulan dengan orang-orang intelektual Belanda, seperti Henriette Holst. Selain itu, Dayoh juga bersahabat dengan A.C. de Yonge Baronesse van Wassenaer, istri Gubernur Jenderal Belanda di Jawa. Walaupun sebagai istri penguasa pemerintah Belanda, A.C. de Yonge sangat memperhatikan nasib malang yang dialami kaum bumiputera. Sewaktu di Situbondo, Dayoh menerima undangan dari pemimpin cabang PBI (Persatuan Bangsa Indonesia) untuk mengadakan ceramah di depan Kongres Tani dan Buruh di Bangil. Ia berpidato mengenai anjuran persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Walaupun cara Dayoh berpidato mirip seperti cara pendeta berkhotbah, salah seorang pemimpin Pamong Praja mencurigai isi ceramah tersebut. Akibatnya, Dayoh dipanggil oleh Bupati Bangil atas perintah atasannya agar ia mempertanggungjawabkan isi ceramah tersebut. Pada tahun 1935 Dayoh menulis surat untuk A.C. De Yonge, istri Gubernur Jenderal Jonkheer De Yonge. Surat itu ditulis sebagai reaksi Dayoh terhadap undangan De Yonge demi perikemanusiaan. Oleh karena itu, Dayoh melaporkan tentang kelaparan di Bangil dan sekitarnya yang sedang diberantas oleh PBI. Oleh A.C. De Yonge tulisan Dayoh mendapat tanggapan berupa surat resmi dari Departement van Onderwijst & Eredienst (Departemen Pengajaran dan Agama) bahwa ia dipindahkan ke Berau, Kalimantan Timur. Jika dipindahkan ke Kalimantan Timur, Dayoh merasa bahwa kerja samanya dengan A.C. De Yonge akan terhenti. Hal ini diberitahukan pada A.C. De Yonge dan De Yonge menasihatinya agar Dayoh menulis surat lamaran yang ditujukan kepada Departement van Onderwijst & Eredienst dengan alasan ingin bekerja sama dengan De Yonge. Surat lamaran itu diterima dan seminggu kemudian Dayoh pindah ke Bogor. Di Bogor ia berkenalan dengan M.R. Raden Samsudin, seorang anggota Partai Parindra kemudian berkenalan juga dengan Mr. R.M. Sartono, Husni Thamrin, dan Drs. Marzuki Mahdi yang semuanya anggota pengurus Parindra. Selain itu, ia berkenalan dengan Mr. Suyitno Mangunkusumo, adik Dr. Tjipto Mangunkusumo yang memperkenalkan Dayoh dengan E du Peron. Ia seorang pujangga Prancis yang mengarang dalam bahasa Belanda dan Prancis serta pemimpin majalah Kritik en Opbouw. Edu Peron diundang pemimpin "Istri Sedar", Nyonya Pringgodigdo, untuk menghadiri pertemuan ramah tamah dengan anggota di Gedung Harso Darsono, Bogor. Pada kesempatan itu, Dayoh diminta membacakan syair yang diterbitkan oleh SIB. Malang bagi Dayoh, polisi kolonial lewat ketua pertemuan itu menyuruh Dayoh segera turun dari mimbar, tetapi Dayoh memberi alasan bahwa syair-syair itu sudah diterbitkan dan disebarluaskan oleh Pemerintah. Akan tetapi, alasan itu tidak diterima oleh polisi kolonial tersebut. Tindakan polisi kolonial itu dikarangnya menjadi artikel dan dimuat dalam majalah Kritiek en Opbouw pada bulan April 1939 oleh Edu Peron. Kepala Sekolah tempat Dayoh mengajar menyarankan kepada polisi kolonial agar Dayoh tidak dimasukkan ke dalam "daftar hitam". Peristiwa pembacaan syair yang diterbitkan ASIB di Bogor itu oleh Moh. Husni Thamrin disampaikan di mimbar Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) di Pejambon, Jakarta. Dayoh banyak mendapat rintangan karena syairnya yang diterbitkan ASIB. Ia selalu berdoa dan menunggu nasib yang akan dijatuhkan oleh Pemerintah Kolonial. Untuk memperkuat imannya, ia menginap di rumah seorang pendeta di Bogor karena ia beranggapan bahwa pendetalah yang dapat membantu menguatkan jiwanya. Hatinya mudah terharu ketika melihat orang miskin karena ia sendiri merasa berada dalam kemiskinan. Ia mengabdikan dirinya dengan tulus ikhlas untuk kemanusiaan tanpa memikirkan kesejahteraan keluarganya. Pada dasarnya Dayoh dapat menerima prinsip Heriette bahwa antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda tidak ada perbedaan, sehingga mereka dapat berjuang bersama-sama dalam mencari kebenaran. Dalam mewujudkan pendapat tersebut, Dayoh membantu "dana bantuan umum", untuk orang-orang melarat yang dibentuk De Yonge dengan menulis sajak-sajak tentang rakyat lapar dan melarat. Atas usaha De Yonge, sajak itu dapat dimuat dalam koran dan majalah, honorariumnya dimasukkan ke dalam kas dana bantuan tersebut. Kumpulan sajak yang berbahasa Belanda itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Bunga Bakti". Rencananya sajak itu akan diterbitkan, tetapi sebelum sempat diterbitkan, Perang Dunia II meletus. Dayoh menulis sajak dalam bahasa Belanda pada tahun 1931 berjudul "Srijd Tegen Zeerovers" kemudian diterjemahkannya dengan judul "Nyanyi Perang". Sajak ini pernah dibacakan dalam ceramah di Taman Ismail Marzuki. Isinya melukiskan perlawanan putra Indonesia terhadap penjajah. Puisi ini bagi Dayoh merupakan kenang-kenangan dalam optimisme perjuangan menuju kesejahteraan nusa dan bangsa yang cemerlang. Buku Pahlawan Minahasa, Putera Budiman, dan kumpulan sajaknya yang diterbitkan ASIB itu ditulis ketika jiwa romantisisme dan idealisme mudanya masih menyala-nyala dalam alam semangat nasional, seiring dengan pertumbuhan pergerakan kebangsaan di tanah air pada masa penjajahan. Pada tahun 1950-an Dayoh masih aktif menulis meskipun bukan novel atau cerita sastra, yaitu Patriot Irian Damai yang berisi biografi beberapa pemimpin negara, Senyum Sinar berisi lagu-lagu Indonesia untuk Sekolah Rakyat, dan Irian Barat Pukul Tifa, yang berisi rangkaian siaran di RRI yang dibukukan oleh urusan Adat-Istiadat dan Cerita Rakyat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tulisan itu disebarluaskan dalam usaha membantu pemerintah menghadapi persoalan Irian Barat. KaryaKarya-karya M.R. Dayoh yang berbentuk novel adalah:
SajakSajak-sajak karya Dayoh, antara lain, adalah:
Karya Non SastraKarya non sastra yang dihasilkan oleh M.R. Dayoh adalah:
Meninggal DuniaM.R. Dayoh meninggal pada tanggal 15 Mei 1975 akibat penyakit darah tinggi. Ia meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak. Sebagai imbalan jasa Dayoh pada Direktorat Kesenian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, istrinya diangkat sebagai pegawai di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Referensi |