Kujang

Kujang
Templat:Script/Sundanese

Kujang, senjata khas suku Sunda.
Jenis Belati
Negara asal Indonesia
Sejarah pemakaian
Digunakan oleh Suku Sunda
Sejarah produksi
Perancang Suku Sunda
Spesifikasi
Berat sekitar 300 gram
Panjang 20-25cm

Tipe pedang Bermata tunggal, lengkung
Tipe gagang Tanduk kerbau, kayu
Jenis sarung Tanduk kerbau, kayu

Kujang (aksara Sunda: ᮊᮥᮏᮀ) adalah sebuah senjata khas Sunda. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja, dan bahan pamor. Panjang kujang umumnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.

Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.

Menurut Sanghyang Siksa Kandang Karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda.

Deskripsi

Secara etimologis, istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang. Kudi merupakan kata dalam bahasa Sunda Kuno yang berarti senjata dengan kekuatan gaib dan sakti.[1] Kata Hyang juga berasal dari bahasa Sunda Kuno yang berarti dewa/dewi.[2][3] Sumber lain menyatakan bahwa Kujang berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia.[4]

Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Sunda. Sebagai lambang atau simbol dengan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Di samping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Jawa Barat.

Pada masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah di antaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Badui di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Bagian-bagian

Secara umum, kujang memiliki sisi tajaman dan bagian-bagian lain seperti: papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak).[5] Selain dari bentuknya yang unik, bahan baku kujang cenderung tipis, bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.

Bentuk dan fungsi

Aneka rupa kujang dan badi dalam laporan Hurgronje tahun 1904

Kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk.[6] Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain: Kujang Pusaka (lambang keagungan dan perlindungan), Kujang Pangarak (untuk berperang),[7] Kujang Pakarang (sebagai alat upacara)[8] dan Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang).[9] Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak). Di samping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.[1]

Sejarah bentuk

Nilai Kujang sebagai sebuah jimat, pertama kali muncul dalam sejarah Kerajaan Sunda Pajajaran dan Panjalu. Tepatnya pada masa pemerintahan Prabu Kuda Lalean. Prabu Kuda Lelean juga dikenal sebagai Hyang Bunisora dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang, Sukabumi.

Sejak itu, Kujang secara berangsur-angsur dipergunakan para raja dan bangsawan kerajaan di Tanah Sunda sebagai lambang kewibawaan dan kesaktian. Suatu ketika, Prabu Kuda Lalean tengah melakukan tapa brata di suatu tempat. Tiba-tiba sang prabu mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk Kujang, yang selama ini dipergunakan sebagai alat pertanian.

Anehnya, desain terbaru yang ada dibenak sang Prabu, bentuknya mirip dengan Pulau "Djava Dwipa", yang dikenal sebagai Pulau Jawa pada masa kini. Nah, setelah mendapat ilham itu, segera prabu Kuda Lalean menugaskan Mpu Windu Supa, seorang pandai besi dari keluarga kerajaan. Ia diminta membuat mata pisau seperti yang ada di dalam pikiran sang Prabu. Mulanya, Mpu Windu Supa gusar soal bentuk senjata yang mesti dibuatnya. Maka sebelum melakukan pekerjaan, Mpu Windu Supa melakukan meditasi, meneropong alam pikiran sang prabu. Akhirnya didapatlah sebuah bayangan tetang purwa rupa (prototype) senjata seperti yang ada dalam pikiran Kuda Lalean.

Setelah meditasinya usai, Mpu Windu Supa memulai pekerjaannya. Dengan sentuhan-sentuhan magis yang diperkaya nilai-nilai filosofi spiritual, maka jadilah sebuah senjata yang memiliki kekuatan tinggi. Inilah sebuah Kujang yang bentuknya unik, dan menjadi sebuah objek bertenaga gaib. Senjata ini memiliki 2 buah karakteristik yang mencolok. Bentuknya menyerupai Pulau Jawa dan terdapat 3 lubang di suatu tempat pada mata pisaunya. Inilah sebuah senjata yang pada generasi mendatang selalu berasosiasi dengan Kerajaan Sunda Pajajaran.

Bentuk Pulau Jawa sendiri merupakan filosofi dari cita-cita sang Prabu, untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil tanah Jawa menjadi satu kerajaan yang dikepalai Raja Pajajaran. Sementara tiga lubang pada pisaunya melambangkan Trimurti, atau tiga aspek Ketuhanan dari agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kuda Lalea. Tiga aspek Ketuhanan menunjuk kepada Brahma, Vishnu, dan Shiva. Trinitas Hindu (Trimurti) juga diwakili 3 kerajaan utama pada masa itu. Kerajaan-kerajaan itu antara lain Pengging Wiraradya, yang berlokasi di bagian Timur Jawa; Kerajaan Kambang Putih, yang berlokasi di bagian Utara Jawa, dan Kerajaan Sunda Pajajaran, berlokasi di Barat.

Bentuk Kujang berkembang lebih jauh pada generasi mendatang. Model-model yang berbeda bermunculan. Ketika pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, Kujang telah mengalami reka bentuk menyerupai huruf Arab “Syin”. Ini merupakan upaya dari wilayah Pasundan, yakni Prabu Kian Santang(Dikenal juga dengan Nama Prabu Borosngora,dan Bunisora Suradipati dari kerajaan panjalu), yang berkeinginan meng-Islamkan rakyat Pasundan. Akhirnya filosofi Kujang yang bernuansa Hindu dan agama dari kultur yang lampau, direka ulang sesuai dengan filosofi ajaran Islam. Syin sendiri adalah huruf pertama dalam sajak (kalimat) syahadat di mana setiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan mengucap kalimat syahadat dan niat di dalam hati inilah, maka setiap manusia secara otomatis masuk Islam.

Manifestasi nilai Islam dalam senjata Kujang adalah memperluas area mata pisau yang menyesuaikan diri dengan bentuk dari huruf Syin. Kujang model terbaru seharusnya dapat mengingatkan si pemiliknya dengan kesetiannya kepada Islam dan ajarannya. Lima lubang pada Kujang telah menggantikan makna Trimurti. Kelima lubang ini melambangkan 5 tiang dalam Islam (rukun Islam). Sejak itulah model Kujang menggambarkan paduan dua gaya yang didesain Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang. Namun wibawa Kujang sebagai senjata pusaka yang penuh “kekuatan lain” dan bisa memberi kekuatan tertentu bagi pemiliknya, tetap melekat.

Dalam perkembangannya, senjata Kujang tak lagi dipakai para raja dan kaum bangsawan. Masyarakat awam pun kerap menggunakan Kujang sama seperti para Raja dan bangsawan. Di dalam masyarakat Sunda, Kujang kerap terlihat dipajang sebagai mendekorasi rumah.

Konon ada semacam keyakinan yang berkait dengan keberuntungan, perlindungan, kehormatan, kewibawaan dan lainnya. Namun, ada beberapa takhayul yang dianggap sebagai pantangan yang tak boleh dilakukan. Yakni memajang Kujang secara berpasangan di dinding dengan mata pisau yang tajam sebelah dalam saling berhadapan. Ini merupakan tabu atau larangan. Selain itu, tidak boleh seorangpun mengambil fotonya sedang berdiri di antara 2 Kujang dalam posisi tersebut. Kabarnya, ini akan menyebabkan kematian terhadap orang tersebut dalam waktu 1 tahun, tidak lebih tetapi bisa kurang.

Kujang dalam lambang daerah

Beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Barat, dan Negara Pasundan, menggunakan kujang di dalam lambang daerahnya.

Negara Pasundan

Negara Pasundan menggunakan siluet kujang pada lambangnya. Menurut pemerintah Negara Pasundan, penggunaan siluet kujang pada lambang Negara Pasundan menunjukkan perkembangan ketatanegaraan yang masih muda dari Negara Pasundan.[10] Wali Negara Pasundan Wiranatakoesoema V serta Kepolisian Negara Pasundan juga menggunakannya dalam lambang pribadi dan instansinya.[11]

Provinsi Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat menggunakan kujang sebagai lambang Pancasila. Lima lubang yang terdapat pada kujang di lambang daerah Jawa Barat melambangkan kelima sila dalam Pancasila.[11]

Rujukan

  1. ^ a b "KUJANG". Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. 2015-12-17. Diakses tanggal 2020-07-11. 
  2. ^ Widya Dharma Agama Hindu SMP kls 9. Ganeca Exact. hlm. 94. ISBN 978-979-744-740-3. 
  3. ^ Kerjasama Pusat Kajian Lintas Budaya 2011, hlm. 62
  4. ^ "Kujang, Senjata Tradisional Indonesia". House Sangkuriang Bandung (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-07-11. 
  5. ^ Intan Mardiana N, Endang Sriwigati, Yuni Astuti Ibrahim & Andini Perdana (2009). Agus Aris Munandar, ed. Koleksi Pilihan 25 Museum di Indonesia. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 5156648. 
  6. ^ Arthur S. Nalan (2000). Sanghyang Raja Uyeg: dari sakral ke profan. Humaniora Utama Press. ISBN 97-992-3137-X. 
  7. ^ Brahmanto Anindito (2015). Tiga Sandera Terakhir. Noura Books. ISBN 60-209-8947-X. 
  8. ^ Saleh Danasasmita & Anis Djatisunda (1986). Kehidupan masyarakat Kanekes. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. OCLC 6801889. 
  9. ^ Edi Setiadi Putra (2011). "Interpretasi Visual terhadap Bentuk dan Fungsi Kujang Huma Pamangkas dengan Uji ANOVA (Analysis Of Variance) dan VAS (Visual Analog Scale)". Institut Teknologi Nasional. Diakses tanggal 21 February 2017. 
  10. ^ Pemerintah Negara Pasundan 1949, hlm. 139
  11. ^ a b de Vries, Hubert. "JAWA BARAT". hubert-herald.nl. Diakses tanggal 2020-07-11. 

Daftar pustaka

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya