Krispianus Ola Komek

Krispianus Ola Komek adalah Bhayangkara Pembina Ketertiban dan Keamanan Masyarakat (Bhabinkamtibmas) yang ditugaskan Polres Belu di Desa Kenebibi, Kecamatan Kakuluk, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, sejak 2015. Ketika pertama kali bertugas di sebuah Desa di perbatasan Indonesia-Timor Leste, Brigadir Krispianus Ola Komek menemukan banyak persoalan. Desa tersebut dulu dikenal sebagai desa yang kerap dibelit berbagai persoalan kriminalitas, mulai dari perjudian, pencurian, perkelahian anak muda, hingga tindakan asusila. Sebagian warga desa itu buta huruf, angka kemiskinan dan kriminalitas tergolong tinggi.[1]

Gerakan Literasi

Krispianus mencoba mencari akar persoalan tingginya angka kriminalitas Desa Kenebibi dengan melakukan gerakan literasi. Setelah melakukan pengamatan, ia menyimpulkan bahwa persoalan kriminalitas yang tinggi di desa itu akibat dari tingginya angka kemiskinan. Lebih jauh, ia melihat tingginya angka kemiskinan ternyata berhubungan dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah di desa itu.

Dari 2.976 warga Desa Kenebibi, sebanyak 2.120 atau 71 persen warga di desa itu buta aksara. Sebagian peduduk Desa Kenebibi adalah warga eks Timor-Timir yang mengungsi pada periode tahun 1966-2000. Gejolak politik dan keamanan saat itu, membuat mayoritas warga desa itu tidak mengenyam Pendidikan sehingga mereka mudah ditipu dan diperdaya.

Hampir semua program bantuan langsung dari pemerintah penyalurannya menggunakan kartu, termasuk kartu identitas. Nah, bagaimana mau mendapat bantuan jika membaca kartu identitas saja tidak bisa. Akibatnya, kadang bantuan untuk mereka diselewengkan oleh oknum yang semestinya mengurus mereka. Lebih parah lagi, mereka hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa Tenun Belu. Akibatnya mereka terisolasi dengan dunia luar. “Mereka menonton televisi tidak memahami apa-apa karena tidak mengerti bahasa Indonesia,” cerita Krispianus ketika ditemui di Motoaain, perbatasan RI-Timor Leste, Kamis (26/7/2018).

Krispianus menceritakan, ketika menyampaikan penyuluhan pada warga ia mesti menggunakan penerjemah yang menguasai bahasa Tetun Belu, bahasa yang digunakan warga lokal. Hal ini menurutnya cukup merepotkan.

Dengan persoalan seperti itu, Krispianus berpendapat, apapun program pemerintah untuk mengangkat kehidupan warga desa itu, sulit diterapkan. Persoalan buta aksara dan buta bahasa indonesia mesti diselesaikan terlebih dahulu, karena inilah masalah mendasar dari tumpukan masalah lain di perbatasan.

Referensi

  1. ^ Ama, Kornelis Kewa (2018). "Krispianus Ola Komek, Polisi Pemberantas Kebodohan". 
Kembali kehalaman sebelumnya