Komunitas Indonesia di FreiburgKomunitas Indonesia di Freiburg adalah sebuah perkumpulan migran Indonesia (minoritas) yang berada di Kota Freiburg, Jerman. Mereka berasal dari berbagai macam latar belakang yang umumnya tetaplah kelompok migran yang membentuk ikatan kekeluargaan dengan sesama orang Indonesia lainnya. Perkumpulan itu juga menjadi tempat bagi para migran untuk mengobati kerinduan mereka akan rumah dan kampung halamannya di Indonesia. Asal UsulKomunitas Indonesia di Freiburg tergolong sebagai sebuah komunitas kelompok migran Indonesia di luar negeri. Dengan demikian, kelompok ini tidak memiliki struktur organisasi formal dan resmi seperti ketua, bendahara, sekretaris. Hal itu berbeda dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di luar negeri yang memiliki badan hukum dan struktur yang formal. Bahkan, komunitas Indonesia di Freiburg juga tidak memiliki tanggal pasti pendiriannya.[1] Berdirinya komunitas tersebut bermula ketika ada kedatangan seorang pendeta dari Bali. Pendeta tersebut kerap menggelar kegiatan keagamaan di sebuah gereja dekat Kota Freiburg. Ia kemudian menggagas sebuah pertemuan yang melibatkan seluruh migran Indonesia yang ada di Kota Freiburg. Para migran yang diundang tersebutnya umumnya beragama Kristen karena agenda utama dari pertemuan mereka adalah membaca Alkitab.[1] Pendeta tersebut kemudian pergi dari Freiburg, lalu datang pendeta lainnya secara bergantian. Dengan demikian, pertemuan para migran di Freiburg masih dilakukan dengan pembacaan Alkitab dari agama Kristen. Selang beberapa lama, pada tahun 2000-an, pendeta yang datang ke Jerman tinggal sangat jauh dari Kota Freiburg. Hal itu menyebabkannya kesulitan untuk mengadakan pertemuan rutin seperti sebelumnya. Namun demikian, para migran Indonesia merasa tetap perlu mengadakan pertemuan rutin tanpa harus bergantung pada keberadaan sang pendeta. Akhirnya, komunitas Indonesia di Freiburg terbentuk dengan kegiatan rutin mereka yang tanpa memandang latar belakang agama apa pun. Komunitas ini masih aktif hingga sekarang dengan latar belakang anggota yang beragam, mulai dari pekerjaan, usia, hingga etnis.[1] Pada perkembangannya, komunitas Indonesia di Freiburg mengalamai perubahan, seperti terbentuknya komunitas Indonesia lain dengan latar belakang agama Islam, yaitu KIMFO (Keluarga Indonesia Muslim Freiburg).[2] Terciptanya komunitas baru tersebut tidak menciptakan jarak antara komunitas tersebut dengan komunitas Indonesia di Freiburg secara umum. Hal itu lebih didasari untuk menghindari perbedaan pandangan antara orang-perorangan atau sekelompok orang terkait keyakinan dan kepercayaan anggotanya.[3] Berbeda dengan komunitas Indonesia secara umum, KIMFO memiliki struktur yang jelas dengan adanya ketua, koordinator, sekretaris, bendahara, humas, dan dokumentasi. Kejelasan struktur dalam KIMFO tersebut lebih disebabkan oleh sebagian besar anggotanya yang merupakan mantan mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi. Mereka umumnya adalah pendatang dari Indonesia yang sedang melanjutkan pendidikan di jenjang S2 dan S3 di Jerman. Setelah tamat kuliah, mereka menemukan pasangan hidup di Jerman dan kemudian memutuskan untuk tinggal menetap di sana. Selain itu, KIMFO juga membuat sebuah laman yang berisi hal-hal informatif mengenai kegiatan mereka seperti struktur organisasi, AD/ART, program pengajian, daftar buku yang dimiliki, neraca keuangan, dan lain-lain.[2] Pendirian KIMFO sendiri, selain didasari untuk mengurangi kesalahpahaman antaranggota, juga didasari oleh keinginan warga muslim Indonesia di Freiburg untuk mengadakan kegiatan pengajian sendiri. Selama ini, pengajian yang mereka lakukan hanya dengan bergabung dengan orang Turki yang menetap di Freiburg. Pengajian yang mereka lakukan pun umumnya hanya satu kali dalam satu bulan, dengan mengundang seorang ulama langsung dari Arab. Sementara bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Jerman, baik ketika penyampaian materi pengajian, maupun ketika berdiskusi.[2] Kegiatan KomunitasKegiatan rutin yang dilakukan oleh Komunitas Indonesia di Jerman adalah arisan. Kegiatan ini didominasi oleh ibu-ibu, sehingga aturan utama yang harus dipenuhi dalam arisan tersebut adalah tersedianya makanan khas Indonesia. Ibu-ibu diwajibkan untuk membawa satu jenis makanan khas Indonesia seperti telor balado, atau gado-gado. Sementara untuk bapak-bapak atau mahasiswa Indonesia yang tinggal sendiri diwajibkan untuk membawa makanan ringan atau minuman. Selama kegiatan arisan mereka akan selalu bercakap-cakap dalam Bahasa Indonesia. Kegiatan arisan itu sendiri dilakukan secara bergiliran dari satu rumah ke rumah yang lain. Namun, apabila salah satu anggota mereka ada yang berulang tahun, arisan secara incidental akan diadakan di kediaman yang bersangkutan. Umumnya, arisan yang dilakukan oleh komunitas ini tidak jauh berbeda dengan arisan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok lain. Selain arisan, komunitas Indonesia di Freiburg juga mengadakan kegiatan incidental lainnya seperti penggalangan dana. Sebagai contoh, ketika pendeta Indonesia berkunjung ke Freiburg, ia mengabarkan jika telah terjadi kekeringan di daerah Bantul, Yogyakarta. Mendengar kabar tersebut, para migran Indonesia di Freiburg mengadakan kegiatan penggalangan dana bertajuk “Malam Indonesia”. Kegiatan tersebut murni diinisasi dan dieksekusi oleh para migran, tanpa campur tangan pemerintah setempat atau Kedutaan Besar Indonesia di Jerman. Di dalam acara tersebut, mereka menggelar pentas seni dan pertunjukan budaya khas Indonesia seperti tari-tarian, musik, dan berjuaalan makanan khas Indonesia. Setelahnya, kelompok ini rutin mengadakan penggalangan dana apabila terjadi bencana alam di Indonesia, seperti Tsunami di Aceh dan gempa bumi di Bantul. Melihat keberhasilan kegiatan komunitas Indonesia di Freiburg tersebut, wali kota Freiburg kemudian mengajak kelompok ini untuk berpartisipasi dalam festival intercultural internasional bernama interkulturalwoche. Berpartisipasi dalam festival internasional tersebut menjadi kegiatan ruitn lainnya bagi komunitas Indonesia di Freiburg, baik saat musim dingin maupun musim panas. Di dalam kegiatan tersebut, mereka akan menampilkan beragam tari-tarian dan musik khas Indonesia. Mereka juga akan menjajakan makanan tradisional khas Indonesia. Perlu diketahui, pertunjukan yang dilakukan oleh komunitas Indonesia di Freiburg dan makanan yang dijajakan menjadi hal yang paling dinanti-nantikan oleh peserta festival. Makanan Khas Indonesia di FreiburgBagi para migran, makanan khas Indonesia tetap menjadi incaran utama. Walaupun para migran telah hidup di Freiburg dalam kurun waktu cukup lama, mencari makanan khas Indonesia berkaitan untuk memenuhi kerinduan mereka akan kampung halaman dan berkaitan dengan proses adaptasi.[4] Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mendapat makanan khas Indonesia adalah dengan terlibat arisan yang diadakan oleh komunitas migran Indonesia di Freiburg. Di setiap arisan yang diadakan oleh komunitas ini, akan disediakan makanan khas Indonesia terutama oleh ibu-ibu. Makanan yang disediakan antara lain telur balado, gulai ayam, gado-gado, hingga tempe mendoan. Meskipun para migran berasal dari daerah yang berbeda-beda, seperti Bali, Bogor, dan Cepu, Blora, tidak ada prioritas makanan khusus yang harus disajikan dalam pertemuan. Melalui makanan khas Indonesia, etinisitas dan latar belakang para migran yang berbeda-beda melebur menjadi satu. Mereka tidak perlu mempertimbangkan bagaimana cara mengonsumsi makanan khas tersebut atau sejenisnya.[5] Hal yang paling penting yang ada dalam benak mereka adalah mengbobati kerinduannya terhadap kampung halaman di Indonesia melalui makanan khas yang disajikan. Namun di sisi lain, sisi makanan juga tidak sepenuhnya meleburkan identitas semua migran Indnesia di Freiburg, terutama ketika berhadapan dengan persoalan agama. Ketika menyangkut masalah agama, makanan khas Indonesia tidak sepenuhnya meleburkan dan menyatukan ide para migran. Sementara itu, makanan Indonesia yang harus dikonsumsi sehari-hari oleh para migran sangat sulit untuk dilakukan. Bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak makanan khas Indonesia tidak selalu tersedia di Freiburg. Waktu yang diperlukan untuk memasak pun cukup lama. Untuk memasak bakwan jagung saja, memerlukan waktu hampir satu jam. Selain itu, jenis minyak goreng yang diperlukan untuk memasak juga berbeda. Minyak goreng yang tersedia di Freiburg adalah minyak sehat seperti minyak kanola atau minyak biji bunga matahari. Sementara untuk memesan bahan masakan khusus Indonesia, mereka harus memesannya sendiri melalui laman ‘Toko Indonesia’. Proses pengiriman bahan masakan melalui laman tersebut tentu memerlukan waktu dan biaya yang relative lebih mahal. Sehingga, untuk makanan sehari-sehari, para migran Indonesia di Freiburg lebih banyak memilih untuk memakan roti atau buah, baik pagi, siang, atau malam, dengan tanpa nasi sebagai makanan utamanya. Meskipun demikian, terutama bagi ibu-ibu, mereka masih berusaha untuk mengenalkan masakan dan makanan khas Indonesia kepada anak-anak mereka. Menurut mereka, makanan khas Indonesia sangat cocok dengan lidah keluarga mereka di Freiburg. Namun demikian, mereka tetap perlu melakukan penyesuaian dengan selera anggota keluarga mereka. Seperti misalnya rasa pedas yang harus mereka kurangi agar anggota keluarga mereka tetap nyaman untuk memakannya. Mereka juga melakukan penyesuaian dalam hal rasa, seperti tidak menggunakan bahan yang aromanya terlalu kuat seperti terasi. Referensi
|