Katingan Mentaya Project
Katingan Mentaya Project adalah sebuah proyek restorasi dan konservasi lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah, berlokasi di antara Sungai Katingan dan Sungai Mentaya, dengan luas 157,875 hektar yang mencakup hutan rawa gambut utuh terbesar di Asia Tenggara.[1][2] Didirikan pada tahun 2007 oleh Dharsono Hartono dan Rezal Kusumaatmadja, Katingan Mentaya Project merupakan proyek yang telah diverifikasi di bawah Verified Carbon Standard (VCS) dan standar Climate, Community, and Biodiversity (CCB) sejak tahun 2016.[3] Katingan Mentaya Project dikelola oleh PT Rimba Makmur Utama dengan kerja sama Wetlands International, Yayasan Puter, dan Permian Global.[3] Sejarah2007-2018Katingan Mentaya Project dibentuk pada tahun 2007 oleh Dharsono Hartono dan Rezal Kusumaatmadja di bawah PT Rimba Makmur Utama. Pada bulan Oktober 2013, konsesi wilayah Katingan Mentaya Project disahkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan luas sebesar 108,225 hektar yang diikuti oleh konsesi kedua pada tahun 2016 dengan luas lahan sebesar 50,000 hektar di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.[4] Dengan model usaha kredit karbon, Katingan Mentaya Project bertujuan untuk mengurangi emisi karbon, melindungi keanekaragaman hayati, dan menciptakan pembangunan ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat di dalam dan sekitar wilayah konsesi.[5] Dalam perkembangannya, PT Rimba Makmur Utama bekerja sama dengan Permian Global sejak Desember 2013[4] dan dengan dua lembaga non-pemerintah, yakni Yayasan Puter Indonesia guna melakukan pemetaan dan pemberdayaan masyarakat di wilayah konsesi serta Wetlands International dalam hal mempertahankan dan merestorasi wilayah gambut.[1][4] Pada bulan November 2016, Katingan Mentaya Project diverifikasi dan divalidasi oleh Verified Carbons Standard (VCS) dan standar Climate, Community, and Biodiversity (CCB). Verifikasi tersebut diikuti oleh kedua dan ketiga kalinya pada bulan Juli 2017 dan Mei 2018 oleh VCS.[4] 2018-SekarangKatingan Mentaya Project telah meraih sejumlah penghargaan dalam komitmennya terhadap restorasi dan perlindungan ekosistem. Pada tanggal 14 November 2018, CEO Katingan Mentaya Project, Dharsono Hartono, meraih penghargaan Environmental Avant Garde oleh Ernst and Young Indonesia.[6] Pada tahun yang sama, Katingan Mentaya Project meraih penghargaan dalam kategori Penggunaan Lahan dan Keanekaragaman Hayati Terbaik pada acara Indonesia Sustainable Business Awards 2018 yang diumumkan pada tanggal 7 Januari 2019.[7][8] 25 Februari 2019, Hartono diangkat sebagai Indonesia Global Compact Network (IGCN) VP Member of Environment untuk periode 2019 hingga 2021.[4] Tepat satu tahun kemudian, Hartono dipilih sebagai Corporate Sustainability Warriors 2020 Indonesia[4] dan penerima penghargaan Wirausaha Sosial dari Schwab Foundation for Social Entrepreneurship pada tanggal 22 September 2020.[9] Program KerjaIklimLebih dari 90% stok karbon Katingan Mentaya Project berada di dalam tanah gambutnya. Melalui usaha kredit karbon beserta perlindungan dan restorasi ekosistem di dalam wilayah konsesi, Katingan Mentaya Project ikut serta dalam mencegah pelepasan gas rumah kaca setara dengan 447 juta ton selama 60 tahun.[10] Sejak tahun 2020, Katingan Mentaya Project menyelenggarakan program Journey to Zero guna meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim dan mendorong kegiatan nol emisi dalam upaya memperingati Zero Emissions Day setiap tanggal 21 September.[11][12] KomunitasKatingan Mentaya Project bekerja sama dengan 34 desa di dalam dan sekitar wilayah konsesi guna membangun kapasitas pengambilan keputusan masyarakat dan melaksanakan pemberdayaan masyarakat.[13] 100% staf Katingan Mentaya Project merupakan orang Indonesia, dengan 80% diantaranya masyarakat dari dalam atau sekitar wilayah konsesi di Katingan, Kalimantan Tengah.[13] Bekerja sama dengan masyarakat di dalam wilayah konsesi, Katingan Mentaya Project mempromosikan sejumlah mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan, yakni produksi gula kelapa dan kerajinan rotan, di mana proyek memfasilitasi pelatihan beserta distribusi produk bagi masyarakat setempat.[14][15] Adapun usaha gula kelapa tersebut telah berjalan sejak tahun 2017 dan ditujukan untuk anggota masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai penebang kayu di hutan.[16] Selain pembangunan ekonomi, Katingan Mentaya Project juga ikut serta dalam pembangunan sosial masyarakat setempat melalui upaya-upaya sosialisasi untuk pelajar, lokakarya pengelolaan sumber daya alam bagi pemerintah daerah setempat, serta pemberdayaan gender.[16] Keanekaragaman HayatiDengan luas lahan sebesar 157.875 hektar, Katingan Mentaya Project melindungi salah satu kawasan hutan rawa gambut utuh (intact) terbesar di Asia Tenggara.[17] Di dalam wilayah konsesi Katingan Mentaya Project, tercatat 67 spesies mamalia (6 diantaranya terancam punah), 185 spesies burung (4 diantaranya terancam punah), 49 spesies reptil (6 diantaranya terancam punah), beserta 312 spesies tumbuhan yang terdiri dari 219 spesies pohon dan 93 spesies non-pohon.[18] Adapun spesies-spesies satwa yang berada dalam program perlindungan Katingan Mentaya Project, antara lain Tenggiling Sunda, Orangutan Borneo, dan Bangau Badai, telah dikategorikan terancam punah oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).[19] Dalam upayanya untuk melindungi habitat dan mencegah eksploitasi di dalam kawasan konsesi, Katingan Mentaya Project melakukan sejumlah upaya untuk menjaga keanekaragaman hayati setempat, melalui:
Referensi
|