Kampoeng RawaKampoeng Rawa (disebut juga Kampung Rawa) adalah objek wisata di Ambarawa, Jawa Tengah, yang terletak di sabuk hijau di sekitar Danau Rawa Pening. Dibuka pada Agustus 2012, tempat ini dimiliki dan dioperasikan oleh dua belas kelompok petani dan nelayan yang didanai oleh Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Artha Prima. Kompleks tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi kesejahteraan petani dan melayani lokal disamping mempromosikan ekologi danau di wilayah tersebut. Fasilitasnya meliputi restoran mengapung, pendopo, pusat kerajinan, tempat memancing, dan dok. Pada hari libur, tempat ini dikunjungi oleh ratusan pengunjung. Kompleks ini disengketakan perizinannya karena dibangun di sabuk hijau dan kemungkinan dampak ekologinya. Letak dan fasilitasKampoeng Rawa terletak di Kilometer 3 Ring Road Selatan di Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah,[1] sebuah jalan yang digunakan untuk perjalanan antara Yogyakarta dan Semarang yang dibuka pada 2012.[2] Secara administratis, kompleks tersebut adalah bagian dari Desa Bejalen.[3] Kompleks tersebut berada di tengah-tengah persawahan dan berbatasan dengan Danau Rawa Pening. Dari tempat tersebut, para pengunjung dapat melihat pemandangan Gunung Merbabu dan Gunung Telomoyo, kedua gunung tersebut berada di sebelah selatan.[2][4] Restoran mengapung yang berisi 300 kursi di Kampoeng Rawa terdapat di sebuah danau kecil dan menghidangkan hidangan khas Indonesia menggunakan bahan makanan produksi lokal, yang meliputi lele, gurame, dan tilapia.[5][6] Hidangannya meliputi nasi goreng dan mie goreng.[2] Semua diapungkan dengan drum plastik, dan untuk menuju bangunan utama pelanggan harus menggunakan rakit yang ditarik tali.[2] Pusat kompleks tersebut adalah panggung terbuka, pusat kerajinan, dan pendopo untuk acara-acara khusus.[7] Acara-acaranya meliputi pernikahan, kontes mewarnai, sesi pelatihan, dan seminar.[8] Berbagai aktivitas dan fasilitas terdapat di tempat tersebut, meliputi ATV, flying fox, jet ski, dan memancing.[9] Kapal-kapal pergi dari dok dan berjalan melalui kanal menuju Danau Rawa Pening.[4] SejarahKonsep untuk Kampoeng Rawa muncul pada 2004, ketika sekelompok petani dan nelayan dari wilayah Rawa Pening diberikan miliaran rupiah dari Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Artha Prima. Mereka diminta untuk mendirikan tontonan pariwisata sesambil mereka menjajakan barang-barang jualan mereka (yang kemudian meliputi seni dan kerajinan) demi membangkitkan kesadaran dan melindung ekosistem Rawa Pening.[10][11] Dalam persiapan untuk kampanye 2013 Visit Jateng, pada 2011 mereka memulai perencanaan kompleks yang terdapat pariwisata kuliner dan aktivitas air.[12] Artha Prima melatih beberapa penduduk lokal untuk menjadi staf pelayan, kasir, dan penjaga keamanan.[11] Dua belas kelompok petani dan nelayan, yang terdiri dari 325 orang, ikut dalam Ikatan Kampoeng Rawa pada 4 Agustus 2012. Kelompok ini ditugaskan untuk mengelola tempat wisata baru tersebut,[3] yang dibuka, meskipun konstruksinya belum rampung, tak lama sebelum Lebaran (18–19 Agustus).[8][11] Tempat tersebut menjadi populer dengan cepat, dikunjungi sekitar 2,000 pengunjung pada hari ke-1 pada hari raya libur Lebaran, dan menjadi tempat untuk berbagai acara yang diadakan oleh pemerintah lokal.[6][13] Pada akhir Agustus 2012, biaya masuknya adalah Rp. 2,500 per orang ditambah tarif parkir mobil Rp. 5,000 per mobil, meskipun untuk berbagai aktivitas dikenakan biaya ekstra.[2][4] Pada empat hari pada hari raya libur Lebaran pada 2013, tempat tersebut dikunjungi oleh lebih dari 14,000 pengunjung.[8] Sebuah kontroversi terhadap Kampoeng Rawa menyeruak pada akhir 2012, ketika Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) menyatakan bahwa tempat tersebut tidak sah karena terletak di wilayah sabuk hijau di sekitar Danau Rawa Pening.[14] Pada 2013, ekolog Sudharto dari Universitas Diponegoro menyatakan bahwa wilayah di sekitar Rawa Pening harusnya bebas dari segala bangunan, jika tidak maka aliran air dan ekosistem disana akan terganggu. Itu juga menemukan bahwa izin untuk pendirian kompleks tersebut belum diperoleh. Namun, Bupati Semarang, Sudharto, yang mendukung Kampoeng Rawa, menyatakan bahwa kompleks tersebut tak hanya mempengaruhi kesejahteraan para petani dan nelayan, tetapi juga menghentikan permusuhan atas penggunaan persawahan di wilayah tersebut.[13] Pada awal 2014, sebagai bagian dari kegiatan insentif untuk menutup bangunan tak berlisensi di kabupaten tersebut, polisi mengeluarkan pernyataan bahwa situs Kampoeng Rawa tak berlisensi. Manajer Kampoeng Rawa, Agus Sumarno, menyatakan bahwa mereka telah berupaya mengajukan perizinan untuk bangunan-bangunan mereka, tetapi pemerintah lokal dan provinsi menyatakan bahwa mereka tidak mengurusi masalah tersebut.[15] Ketika spanduk polisi tersebut dihilangkan, terdapat kabar bahwa pengelolaan situs tersebut telah diambil kembali, meskipun pengelola menyatakan bahwa tempat tersebut telah jatuh ke dalam angin keras. Ketua DPRD Kabupaten Semarang, Bambang Kusriyanto, menyatakan bahwa ia telah mengkonfirmasikan agar pengelolaan Kampoeng Rawa disertai dengan perizinan dan pemerintah memproses pengajuan tersebut.[16] Referensi
Kutipan karya
Pranala luar
|