Jalatunda, Mandiraja, Banjarnegara
Jarak terdekat ke pusat kecamatan 6 km dengan waktu tempuh 10 menit menggunakan kendaraan bermotor, jarak terdekat ke Kabupaten 25 km dengan waktu tempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor. jarak terdekat ke Rumah Sakit Swasta 4.9 km dengan waktu tempuh 8 menit menggunakan kendaraan bermotor, sedangkan jarak terdekat ke Rumah Sakit Pemerintahan 22 km dengan waktu tempuh 30 menit menggunakan kendaraan bermotor. Sektor Perekonomian utama sebagai sumber pendapatan masyarakat desa Jalatunda adalah pertanian, peternakan, perikanan, pertanian Padi, jagung, Palawija, tanaman Hortikultura, pada pertanian perkebunan komoditas yang dibudidayakan adalah tanaman keras. pada sektor perikanan budidaya perikanan yang dijalankan adalah budidaya ikan air tawar diantaranya Gurame, Nila, Ikan Mas dan Ikan Lele. Sedangkan kegiatan perdagangan adalah perdagangan sembako, lontong, dan hasil pertanian dan perkebunan. Desa Jalatunda memiliki keunggulan produksi olahan singkong berupa Nasi Oyek atau Leye. Nasi oyek merupakan olahan singkong yang di produksi melalui beberapa proses, yang digunakan sebagai pengganti nasi terutama pada penderita Diabetes. Desa Jalatunda memiliki satu ruas jalan Kabupaten yang menghubungkan Kecamatan Mandiraja dengan Kecamatan Purwanegara, sehingga Desa Jalatunda merupakan jalur transportasi bagi kegiatan perdagangan, pendidikan, dan pariwisata masyarakat desa sekitar. khususnya dalam perdagangan hasil pertanian dan peternakan menuju Timur Mandiraja dan Pasar Purwanegara, Pendidikan ke SMP dan SMA, serta jalur pariwisata ke PILEM (Panorama Igir Lempuyang), Bukit Bintang jalatunda dan Monumen Pendidikan Dr. Soelistyo yang terletak di perbatasan Desa Jalatunda dan Desa Kalitengah. Pada abad ke 15 an pada saat Adipati Wirasaba warga utama VII ( Jaka Kaiman / Adipati mrapat ) yang membagi wilayah wirasaba menjadi 4 wilayah diantaranya adalah kadipaten merden yang dipimpin oleh Kyai Ngabehi Wirakusuma ( Mbah Urang Jaya ) dan Jalatunda masuk wilayah kadipaten Merden, pada masa itulah Jalatunda di sahkan menjadi nama Desa Jalatunda. Desa Jalatunda memiliki Sumur, yang bernama Sumur Jalatunda, dahulu kala datang seorang kerabat Presiden pertama Ir. Soekarno ke Sumur tersebut, beliau membawa kitab Jayabaya, yang didalam kitab tersebut menunjukkan bahwa lokasi tempat sumur tersebut merupakan Sumur Jalatunda. dan dari cerita tersebut lokasi keberadaan sumur diberi nama Desa Jalatunda. Menurut penuturan dari Bapak Miharja (Alm.) selaku juru kunci dan tetua Desa yang sekarang diganti oleh Bapak Samsuri mengatakan bahwa Sumur Jalatunda dijaga oleh 2(dua) orang makhluk yang pertama bernama Patih Suwondo Geni dan Si Abang yang berwujud Macan Putih. setiap tahunnya pada hari Senin legi di bulan Suro atau Muharram dalam kalender Hijriah dilaksanakan semacam upacara tradisi berupa Kepungan(dalam bahasa Jalatunda), menyembelih Kambing di setiap Perempatan, Jum'at Manis Tradisi Tenongan di Igir Mentayak. Senin Manis di Sumur Jalatunda. Sumber sejarah dari salah satu leluhur yang ada di Jalatunda Syeh Ali Anom ( Eyang Ali Anom ), beliau mendapatkan pesan secara lisan dari para pendahulu pada Jaman Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah pada Abad ke 14 . Syeh Ali Anom ( Eyang Ali Anom ) adalah putra dari Ngabehi Ronggo Warsito, beliau adalah pujangga Keraton Surakarto, juga keturunan dari Yosodipuro dan juga keturunan pujangga Kartosuro yang juga keturunan dari Sujono Puro pujangga Pajang yang termasuk keturunan kerajaan Demak. Berawal dari masa Kasultanan Pajang pada saat itu Sultanan Hadiwijaya ( Sultan Pajang ) memerintahkan para Adipati seluruh kadipaten yang menjadi kekuasaan Kasultanan Pajang untuk mnyerahkan Putri untuk dijadikan Palara-lara ( Selir ). Adipati Wirasaba Raden Warga / Adipati Paguwan ( Warga Utama I ) memilih Putrinya yang bernama Rara Sukartiyah/ Dewi Sukesi ( Bekas mantu dari Ki Demang Toyareka ) namun anak Ki Demang Toyareka Raden Mangun tau hal tersebut dan marah dan meminta keadilan kepada Sultan Hadiwijaya yang di dalangi oleh Ki Demang Toyareka bahwa Rara Sukartiyah/ Dewi Sukesi adalah istri Raden Mangun ( Mantu Ki Demang Toya Reka ) dan menyebabkan Sultanan Hadiwijaya ( Sultan Pajang ) marah mengutus tiga orang gandek /abdinya untuk membunuh Adipati Wirasaba Raden Warga / Adipati Paguwan ( Warga Utama I ) yang saat itu sedang dalam perjalan pulang dari pisowanan Sultan Pajang, dan pada saat itu Adipati Wirasaba Raden Warga / Adipati Paguwan ( Warga Utama I ) sedang singgah bersitirahat di rumah Ki Ageng Bener di Desa Bener Ambal Kebumen. Setelah Sultanan Hadiwijaya ( Sultan Pajang ) mengirim utusan gandek yang pertama Sultan Hadiwijaya ( Sultan Pajang ) menanyakan tentang kebenaran dari laporan Raden Mangun kepada Rara Sukartiyah/ Dewi Sukesi,dan ternyata yang sebenarnya adalah Rara Sukartiyah/ Dewi Sukesi sudah diceraikan karena hubungan terlarang antara Raden Rara Sukartiyah/ Dewi Sukesi dengan Raden mangun masih sodara ( Menikah dengan sepupu ). Mendengar penjelasan tersebut Sultan Hadiwijaya ( Sultan Pajang ) segera mengirim gandek / utusan kedua untuk menyusul gandek/ utusan yang pertama dan membatalkan pembunuhan terhadap Adipati Wirasaba Raden Warga / Adipati Paguwan ( Warga Utama I ), namun gandek yang kedua terlambat untuk memberitahukan hal tersebut kepada gandek kedua dan Adipati Wirasaba Raden Warga / Adipati Paguwan ( Warga Utama I ) sudah terbunuh. Adipati Wirasaba Raden Warga / Adipati Paguwan ( Warga Utama I ) memiliki lima putra : Raden Ayu Kartimah ( Istri Raden Jaka Kaiman) ,Ngabehi Wargawijaya, Ngabehi Wirakusuma, Ngabehi Wirayudha dan Raden Rara Sukartiyah/ Dewi Sukesi (menantu Ki Demang Toya Reka). Setelah Adipati Wirasaba Raden Warga / Adipati Paguwan ( Warga Utama I ) sudah meninggal dunia para putranya tidak ada yang berani meenggantikan ayahnya sebagai Adipati Wirasaba. Menyadari kesalahan yang menyebabkan wafatnya Adipati Wirasaba Raden Warga / Adipati Paguwan ( Warga Utama I ) wafat, Sultan Hadi wiyaja mengutus Temenggung Tambakbaya untuk memanggil keluarga dari Adipati Wirasaba Raden Warga / Adipati Paguwan ( Warga Utama I ) dan yang berangakat sowan dan memenuhi panggilan Sultan Hadi wiyaja adalah anak menantu Adipati Wirasaba Raden Warga / Adipati Paguwan ( Warga Utama I ) yaitu Raden Jaka Kaiman yang merupakan kerturunan dari Kadipaten Pasirbatang dan juga keturunan silsilah dari Pangeran Senopati Mangkubumi II ( Adipati Banyak Gelah/ Wirakencana) dan masih keturuan dari Raden Harya Banyak Catra ( Kamandaka ). Pada masa inilah awal dari sejarah Jalatunda adalah berdiri yaitu akibat fitnah dari Ki demang toya reka yang menyebabkan meninggalnya Adipati Wirasaba Raden Warga / Adipati Paguwan ( Warga Utama I ) ,Sultan Hadiwijaya memerintahkan Raden Jaka Kaiman ( Adiapati Warga Utama II) beserta pasukan pajang yang dibantu oleh Pangeran Senopati Mangku Bumi II untuk mencari Ki Demang Toya Reka. Pasukan gabungan yang dipimpin oleh Pangeran Senopati Mangku Bumi II mengejar Demang Toya Reka Ke arah selatan dan timur hingga menjelang malam, dalam pengejaran Demang Toya Reka rombongan pasukan dipimpin oleh Pangeran Senopati Mangku Bumi mengalami penundaan yang disebabkan karena : yang pertama banyak yang mengalami sakit dan kelelahan,yang kedua karena terkendala waktu pencarian tidak dapat dilakukan malam hari dan berhenti bermalam di suatu daerah. Setelah siang harinya Pasukan gabungan yang dipimpin oleh Pangeran Senopati Mangku Bumi II melanjutkan pencarian dan mengepung daerah yang dicurigai menjadi pelarian Ki Demang Toya Reka, namun pada saat itu Demang Toya Reka di kabarkan sudah sampai di daerah Bocor wilayah Kebumian sekarang Kebumen, Mendengar informasi tersebut Pangeran Senopati Mangku Bumi II beserta pasukanya terbagi dua sebagian mengejar sampai ke daerah bocor dan sebagian melakukan pencarian dan pengepungan di wilayah tempat mereka bermalam, karena pecarian tidak berhasil Mangku Bumi menandai daerah tempat beristirahat dan bermalam bersama pasukanya dengan nama Jalatunda ( Jala = Mengepung , Tunda = Menunda Pencarian ). Dari peninggalan jejak pengejaran dan pencarian Demang Toya Reka oleh Pasukan gabungan yang dipimpin oleh Pangeran Senopati Mangku Bumi II tidak ada bukti tertulis yang menerangkan hari, tanggal bulan dan tahun. Namun yang dapat kita temui adalah penjelasan secara lisan dari para sesepuh, yang dahulunya adalah santri dari Syeh Ali Anom ( Eyang Ali Anom ), juga di Desa Jalatunda terdapat Peninggalan Petilasan ( Persinggahan ) dari Pangeran Senopati Mangku Bumi II ( Kyai Bumi ), terdapat makam dari Syech Menara Raja ( Eyang Lihur / ki sampar Jalan ) yang merupakan salah satu dari pasukan Pangeran Senopati Mangku Bumi II dan beliau merupakan salah satu murid dari sunan Kali Jaga, juga terdapat makam dari Syeh Ali Anom ( Eyang Kali Anom ) dan juga didukung oleh kegiatan masyarakat yang menjadi tradisi hingga sekarang, salah satu tradisi itu adalah tasyakuran ( slametan ) di hari Jum’at Kliwon di bulan Muharam ( Syura ), yang malamnya diadakan tasyakuran di tiap rumah-rumah dan siangnya diadakan tasyakuran di Jalan-jalan Desa sebagai bentuk tradisi ruwatan ( Riwayatan). Dari acara tradisi tasyakuran tersebut meninggalkan pesan dari lisan ke lisan dan untuk memperingati tentang sejarah oleh para pendahulu kita. Adapun pemimpin atau Kepala Desa pada waktu itu sampai sekarang adalah :
GeografiDesa Jalatunda berada di Koordinat Lintang: 7.492193 dan Garis Bujur: 109.5413, berada di sebelah Selatan wilayah Kabupaten Banjarnegara dan perbatasan langsung dengan Kabupaten Kebumen serta merupakan daerah Dataran Tinggi yang didominasi oleh perbukitan rawan kekeringan, pada saat musim kemarau. Batas Desa
Referensi
Pranala luar
|