Islam pada masa Orde BaruIslam pada masa Orde Baru adalah hubungan antara Islam dengan pemerintah Indonesia pada era kepemimpinan Soeharto. Islam pada masa Orde Baru berlangsung selama 32 tahun sesuai dengan periode Orde Baru, tepatnya sejak 1966 hingga 1998. Pada masa Orde Baru, terjalin hubungan antara Islam politik, terutama kalangan Islam modernis dengan pemerintah yang mendapatkan dukungan dari kalangan militer (ABRI). Terbagi beberapa kelompok perilaku politik umat Islam dan elitenya, yakni kelompok akomodasionis, reformis dan fundamentalis. Walau hubungan antara Islam dan pemerintahan mengalami pasang surut karena berbagai dinamika dan konflik yang ada, tetapi Islam dan pemerintah pada masa Orde Baru saling membutuhkan dan berpengaruh pada masa depan politik bangsa.[1] PeriodeIslam pada masa Orde Baru terbagi menjadi 3 periode, yakni periode 1966–1977, 1977–1985 dan 1985–1998. Berikut adalah penjelasan masing-masing periode: Periode 1966–1977: Konsolidasi Dua KekuatanPada awal era Orde Baru, umat Islam di Indonesia dipandang sebelah mata. Hal itu dikarenakan secara jumlah penduduk Muslim merupakan mayoritas namun secara keahlian masih minim. Keadaan ekonomi umat Muslim semakin memburuk lantaran pemerintah memberi peluang dalam bidang ekonomi lebih banyak kepada para pengusaha ketimbang kelas menengah santri. Akibatnya, terjadi penurunan ekonomi pada pedagang-pedagang Muslim, mulai dari Majalaya, Solo, Pekalongan, Majalengka bahkan hingga Kudus. Di sisi lain, pemerintah mensyiarkan Islam dengan cara mengembangkannya melalui berbagai pembangunan fisik dan aktivitas-aktivitas yang bersifat penampilan. Pembangunan fisik misalnya adalah pemerintah mendirikan kantor agama. Adapun aktivitas bersifat penampilan misalnya adalah dengan diselenggarakannya Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), tarian dan nyanyian Islam hingga ritual keagamaan. Guna mengembangkan Islam lebih jauh dan lebih baik pada masa itu, Mohammad Hatta bersama generasi muda Islam Indonesia lainnya kemudian mendirikan sebuah partai baru yang dinamakan Partai Demokrasi Islam Indonesia. Namun usia partai itu tidak berlangsung lama karena pada 17 Mei 1967 Presiden Soeharto melarangnya.[2] Pada 1973, terjadi kontroversi di Indonesia karena pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang Perkawinan (RUU Perkawinan) yang dianggap bertentangan dengan Islam.[3] Mohammad Hatta kemudian mengirimkan surat kepada Soeharto agar menerima tuntutan kaum Islam. Peristiwa lain yang terjadi pada periode ini adalah umat Islam menuntut kepada pemerintah agar membebaskan beberapa pemimpin Masyumi yang ditahan. Mereka juga menuntut pemerintah untuk memberikan izin agar dapat mendirikan Partai Masyumi. Akan tetapi, usaha mereka tak berhasil karena rezim Soeharto tak memberikan izin. Pemerintah beranggapan bahwa jika partai Islam diperbolehkan maka partai tersebut akan menimbulkan pertentangan dan mengganggu pembangunan nasional.[1] Periode 1977–1985: Fragmentasi dan ReformulasiPada periode ini, pemerintah melakukan penyingkiran terhadap orang-orang Masyumi karena mereka dianggap sebagai "kaum modernis" dan "reformis Islam". Pemerintah juga melakukan depolitisasi umat Islam khususnya dan kelompok masyarakat politik lainnya karena dianggap menyebarkan praktek politik berbasis politik aliran. Untuk mengatasi hal itu, kaum politik Islam kemudian mereformulasi strategi perjuangan dengan menyebarkan isu "sekularisasi Islam" dan "masyarakat muslim". Pada 1977 Indonesia melakukan pemilihan umum atau pemilu. Partai-partai Islam berpartisipasi namun dukungan yang mereka dapatkan sangat minim. Begitu pun yang terjadi pula pada pemilu 1982. Akan tetapi pemilu pada era itu dianggap sebagai pemilu yang tidak jujur dan tidak adil karena realisasi dari pemilihan umum yang langsung, umum, bebas dan rahasia sulit diaplikasikan. Pada 1980-an, terjadi penurunan pengaruh dalam kalangan kelompok Islam garis keras. Mereka gagal menyerukan penolakan dalam penerapan pancasila di Indonesia. Pada dekade yang sama, NU (Nahdlatul Ulama) keluar dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan memutuskan untuk tidak lagi bergabung dengan partai politik. Penyebabnya adalah karena NU menganggap PPP memperlakukannya secara tidak adil. Salah satunya terkait dengan jumlah daftar calon legislatif yang disusun oleh pimpinan pusat partai.[1][4] Periode 1985–1998: Pola Integrasi SimbiosisPada periode ini hubungan antara Islam dan pemeritah membaik karena mereka merasa saling membutuhkan. Salah satu buktinya adalah pemerintah mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) dari tiga menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Selain itu juga lahir pula berbagai kebijakan seperti Undang-Undang Pendidikan Nasional (1988), Undang-undang Peradilan Agama (1989), berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berkat dukungan pemerintah pada 1990, SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang efektivitas zakat (1991) bahkan hingga Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tentang perizinan pemakaian busana muslimah (jilbab) kepada para siswi. Hasil ini didapatkan tak terlepas dari upaya perjuangan intelektual muda Islam kala itu. Menjelang tahun 1990-an, Soeharto mulai menunjukkan simpati politiknya kepada kelompok politik Islam. Di samping hal-hal yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, Soeharto juga mengizinkan sistim perbankan Islam yang dikenal dengan Bank Muamalat dan terjadinya perubahan penampilan ABRI yang sebelumnya antiIslam menjadi tidak antiIslam. Hal itu terbukti dengan dilibatkannya perwira santri atau simpasitan Islam ke dalam kepemimpinan militer.[1] Referensi
|