Islam dan aborsi
Pandangan Muslim tentang aborsi secara umum dibentuk oleh hadits dan juga oleh pendapat ulama dan komentator hukum dan agama. Al-Qur'an tidak secara langsung membahas aborsi yang disengaja sehingga meninggalkan keleluasaan yang lebih besar pada hukum di masing-masing negara muslim. Meskipun pendapat di antara ulama Islam berbeda-beda tentang kapan kehamilan dapat dihentikan, tidak ada larangan eksplisit tentang kemampuan perempuan untuk melakukan aborsi di bawah hukum Islam.[1][2] Masing-masing dari empat mazhab Islam Sunni, yaitu Hanafi, Syafi'i, Hanbali, dan Maliki, memiliki argumen sendiri tentang situasi yang membuat aborsi diperbolehkan dalam Islam.[3] Mazhab Maliki berpendapat bahwa "janin memiliki jiwa bahkan pada saat pembuahan" dan dengan demikian "kebanyakan penganut mazhab Maliki tidak mengizinkan aborsi pada saat kapan pun, karena kehendak Tuhan secara aktif membentuk janin pada setiap tahap perkembangan."[3] Sebaliknya, sebagian ulama Hanafi berpendapat bahwa aborsi sebelum lewat masa empat bulan diperbolehkan, meskipun sebagian ulama Hanafi mengajarkan bahwa aborsi dalam waktu 120 hari adalah makruh (tidak dianjurkan).[3] Semua mazhab Islam sepakat aborsi dianjurkan saat nyawa ibu dalam bahaya, karena nyawa ibu adalah yang terpenting. Sahih al-Bukhari (kitab Hadits) menulis bahwa janin diyakini menjadi jiwa yang hidup setelah usia kehamilan 120 hari.[4] Dalam Islam Syiah, aborsi "dilarang setelah implantasi sel telur yang telah dibuahi". Pemimpin Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khomeini menyatakan bahwa syariah melarang aborsi tanpa alasan apa pun "bahkan pada tahap sedini mungkin"[5] yang mana pendapat tersebut banyak diikuti oleh ulama Syiah lainnya. Akademisi Amerika, Azizah Y. al-Hibri mengklaim bahwa "mayoritas cendekiawan Muslim mengizinkan aborsi, meskipun mereka berbeda pendapat mengenai tahap perkembangan janin setelah dilarang."[6] Menurut Sherman Jackson, "meskipun aborsi, bahkan selama tiga bulan pertama dilarang menurut sebagian kecil ahli hukum, tindakan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran yang memiliki sanksi pidana (jinayah) atau bahkan perdata (madani)."[7] Di 47 negara dunia yang berpenduduk mayoritas Muslim, akses aborsi sangat bervariasi. Di banyak negara, aborsi diperbolehkan ketika nyawa ibu terancam.[8] Mauritania melarang aborsi dalam keadaan apa pun [9] Di 18 negara termasuk Irak, Mesir, dan Indonesia, keadaan nyawa sang ibu yang terancam adalah satu-satunya keadaan yang membuat aborsi diperbolehkan. Di sepuluh negara lainnya, aborsi diperbolehkan berdasarkan permintaan pribadi. Di negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, aborsi diperbolehkan dalam keadaan tertentu selain menyelamatkan nyawa ibu, seperti menjaga kesehatan mentalnya, kasus gangguan janin, inses atau pemerkosaan, dan alasan sosial atau ekonomi. SejarahMayoritas ulama selama abad pertengahan memandang 120 hari masa kehamilan setelah pembuahan sebagai garis pemisah penting dalam perkembangan janin karena mereka menganggap waktu itu merupakan waktu janin menjadi jiwa yang hidup, dan dengan demikian janin tersebut sah menjadi manusia yang hidup. Aborsi sebelum 120 hari diperbolehkan, menurut ulama fiqih Abed Awad,[1][10] tetapi setelah masa empat bulan tersebut dapat dianggap sebagai pembunuhan. Pandangan tentang aborsi seperti ini masih dirujuk dan digunakan oleh beberapa teolog dan cendekiawan Islam modern.[1] Menurut pakar ilmu agama Zahra Ayubi, secara historis pemikiran ulama Islam pada umumnya lebih mementingkan pemeliharaan hidup manusia dan menjaga nyawa ibu daripada menentukan kapan kehidupan dimulai.[11] Beberapa penulis Muslim kontemporer juga menyatakan bahwa ulama Islam abad pertengahan lebih toleran terhadap aborsi. Ahli hukum mazhab Hanbali yang kontroversial, Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kumpulan fatwanya Fatawa Ibnu Taimiyyah, “Menggugurkan janin telah dinyatakan haram berdasarkan ijtima semua ulama Muslim. Perbuatan itu mirip dengan mengubur bayi hidup-hidup seperti yang dimaksud oleh Allah SWT dalam ayat Al-Qur'an: 'Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup tanpa dosa dan kesalahan ditanya, Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?' (Surah At-Takwir ayat 8)".[12] Ayat Al-Qur'an tersebut mengacu pada wanita hamil yang menggugurkan kandungannya pada hari kiamat.[13] Hadits dan aborsiTidak ada aborsi medis pada masa Nabi Muhammad, tetapi sejumlah hadits membahas situasi di mana seorang wanita hamil kehilangan bayi yang belum lahir, sering kali dengan dipukul di perut. Setidaknya dalam hadits yang disebutkan di bawah ini (semuanya adalah hadits Islam Sunni yang "sahih"), Nabi Muhammad akan menetapkan diyat (denda) untuk wanita yang kehilangan janin karena dipukul tersebut. Dalam setiap kasus, dendanya adalah membebaskan seorang budak, sehingga menunjukkan bahwa nilai seorang anak yang belum lahir adalah manusia lain. Kutipan yang relevan
Aborsi dalam berbagai aliran pemikiranPemberian JiwaDalam Islam Sunni, periode ketika janin diberi jiwa dapat bervariasi dalam mazhab yang sama bahkan jika ada ijtima.
Faktor lainSebagian besar mazhab menganggap aborsi diperbolehkan jika kehamilan menimbulkan bahaya fisik atau psikologis bagi ibu.[17] Faktor sosial ekonomi atau adanya kelainan janin juga dipandang sebagai alasan yang dapat dibenarkan untuk melakukan aborsi di banyak mazhab.[10] Namun, para ahli fikih di semua mazhab menyatakan bahwa aborsi diperbolehkan bahkan setelah tahap pemberian jiwa kepada janin jika nyawa ibu dalam bahaya.[18][19] Waktu aborsi diperbolehkanDi kalangan umat Islam, diperbolehkannya aborsi tergantung pada faktor-faktor seperti waktu dan keadaan yang meringankan. Dalam Islam Syiah, aborsi "dilarang setelah implantasi sel telur yang telah dibuahi." Seperti ulama Syiah lainnya, Ayatullah Khomeini menyatakan bahwa "Penghentian kehamilan bahkan pada tahap sedini mungkin dalam keadaan normal tanpa alasan apa pun tidak diperbolehkan" dan menyatakan pula bahwa "Syariah tidak mengizinkan aborsi janin".[5] Empat mazhab Sunni memiliki pandangan yang berbeda tentang bagian-bagian kehamilan yang diperbolehkan aborsi. Penting untuk dicatat bahwa orang Maliki tidak mengizinkan aborsi pada tahap kehamilan mana pun. PemerkosaanBeberapa cendekiawan Muslim berpendapat bahwa anak perkosaan adalah anak manusia yang sesungguhnya dan dengan demikian adalah berdosa untuk membunuh janin ini. Para ulama mengizinkan aborsi hanya jika janin kurang dari empat bulan, atau jika membahayakan nyawa ibunya.[20]
Cendekiawan Muslim didesak untuk membuat pengecualian pada tahun 1990-an setelah pemerkosaan wanita Bosnia dan Albania oleh tentara Serbia. Pada tahun 1991, Mufti Agung Palestina, Ekrima Sa'id Sabri mengambil posisi yang berbeda dari ulama Muslim arus utama. Dia memutuskan bahwa wanita Muslim yang diperkosa oleh musuh mereka selama Perang Kosovo dapat meminum obat aborsifasien, karena jika tidak, anak-anak yang lahir dari wanita tersebut suatu hari nanti akan berperang melawan orang-orang Muslim.[20] Aborsi di negara MuslimSecara keseluruhan, ada 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam. Sebagian besar negara Muslim memiliki undang-undang aborsi yang membatasi yang mengizinkan aborsi hanya jika nyawa ibu terancam. Dua belas anggota Organisasi Konferensi Islam mengizinkan akses tak terbatas ke aborsi. Dengan pengecualian Turki dan Tunisia, mereka sebagian besar adalah bekas negara Blok Soviet. Bahrain, sebuah negara Muslim yang konservatif secara politik dan sosial, adalah negara ke-12 di antara negara-negara tersebut yang mengizinkan akses tak terbatas untuk aborsi. Di antara negara-negara Muslim yang konservatif secara sosial, tujuh negara mengizinkan aborsi pada usia kehamilan 4 bulan pertama untuk kelainan bentuk janin, empat negara di sub-Sahara Afrika (Benin, Burkina Faso, Chad dan Guinea) dan tiga di Timur Tengah (Kuwait, Qatar, dan sekarang, Iran).[21] Referensi
|