Hegemoni budayaDalam filsafat Marxis, hegemoni budaya adalah dominasi terhadap masyarakat ragam-budaya oleh kelas penguasa yang membentuk (atau memanipulasi) budaya masyarakat tersebut —dari sisi keyakinan, persepsi, nilai-nilai, dan adat istiadat— sehingga pandangan kelompok tertentu menjadi norma budaya umum tanpa paksaan. Norma umum yang terbentuk ini kemudian menjadi ideologi dominan yang sah secara universal dan membenarkan status quo di bidang sosial, politik, dan ekonomi sebagai sesuatu yang alami, tak terelakkan, abadi, dan memiliki kesan bermanfaat bagi semua orang, walaupun terkadang manfaatnya lebih banyak menguntungkan kelompok penguasa yang dominan.[1][2] Dalam filsafat dan sosiologi, istilah hegemoni budaya memiliki denotasi dan konotasi yang berasal dari kata Yunani Kuno ἡγεμονία (hegemoni) yang berarti aturan dan kepemimpinan. Dalam politik, hegemoni adalah metode geopolitik imperial dominasi tidak-langsung dimana hegemon (pemimpin negara) mengatur serikat di bawahnya dengan intervensi dan bukan dengan kekuatan militer (invasi, penjajahan, atau aneksasi).[3] Antonio Gramsci mencetuskan teori Perang Manuver, yaitu, perebutan hegemoni budaya secara frontal (biasanya melalui aksi militer), dan teori Perang Posisi dimana perebutan hegemoni budaya dilakukan secara bertahap dan melalui proses panjang. EtimologiEvolusi etimologi dan historis dari kata Yunani ἡγεμονία berlangsung demikian:
Latar BelakangPada tahun 1848, Karl Marx berteori bahwa resesi ekonomi dan kontradiksi praktis di masyarakat kapitalis akan memprovokasi kelas pekerja untuk melakukan revolusi untuk menggulingkan kapitalisme dan merestrukturisasi lembaga-lembaga sosial (ekonomi, politik, sosial) sesuai faham sosialisme. Semua ini akan membawa masyarakat tersebut menuju komunisme. Dalam istilah Marxisme, perubahan dialektika pada fungsi ekonomi masyarakat menentukan budaya dan politik sosial dan ekonomi. Proses ini terjadi seakan seperti sesuatu hal yang wajar dan sudah seharusnya terjadi. Antonio Gramsci mengambil teori hegemoni Marxisme tersebut, namun mengusulkan bahwa hegemoni budaya akan sosialisme bukanlah sesuatu hal yang niscaya tetapi merupakan bagian dari dialektik kritis masyarakat dimana ada kemungkinan lahirnya filsafat dari akal sehat rakyat sendiri.[8] Perang Posisi merupakan aksi perebutan atau pengambil alihan hegemoni yang ada melalui manuver panjang dari berbagai lini sosial politik. Gramsci percaya bahwa perjuangan masyarakat umum untuk menciptakan budaya proletar yang sistem nilai aslinya melawan hegemoni budaya kaum borjuis harus melalui perang budaya dan pengetahuan tentang antikapitalisme. Budaya ini kemudian akan meningkatkan kesadaran kelas, mengajarkan tentang teori revolusi dan analisis sejarah, serta menyebarkan organisasi revolusi ke kelas-kelas sosial. Kemudian, pemimpin sosialis biasanya akan berusaha memegang kekuasaan politik dan mendapatkan dukungan untuk memulai manuver kesejahteraan yang dikumandangkan sistem sosialisme. Karena itulah, Gramsci menekankan bahwa revolusi proletariat baru dapat terjadi jika masyarakat kelas bawah siap secara intelektual, budaya, dan politik karena semua ini diperlukan agar kaum proletar dapat berhasil merebut hegemoni budaya, atau dalam kata lain memenangkan Perang Posisi. Gramsci menggunakan strategi Perang Posisi untuk mematahkan hegemoni borjuis melalui kepemimpinan intelektual, budaya, dan ideologis dalam lembaga-lembaga swasta, sekolah-sekolah, gereja, industri, dan asosiasi kota dan pedesaan.[8] Di lain sisi, Perang Manuver adalah konflik frontal terbuka antar kelas sosial yang hasilnya akan terlihat dari hasil revolusi tersebut. Contoh Perang Manuver adalah revolusi Lenin di Rusia, represi berdarah gerakan Spartan di Jerman (1918), dan pelucutan dewan pekerja di Italia oleh Bienno Rosso (1919-20).[9] Dominasi budaya awalnya diterapkan sebagai sebuah analisis Marxisme mengenai "kelas ekonomi" (basis dan suprastruktur). Antonio Gramsci kemudian mengembangkannya untuk memahami kelas sosial; oleh karena itu, hegemoni budaya mengusulkan bahwa norma-norma budaya yang berlaku di suatu masyarakat dan diterapkan oleh kelas penguasa (hegemoni budaya borjuis), tidak seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang alami dan tak terhindarkan. Sebaliknya, harus dianggap sebagai konstruksi sosial (oleh lembaga, praktek, keyakinan, dan sebagainya) yang harus diselidiki lebih lanjut tentang akar filosofisnya hingga dapat menjadi universal. Pengetahuan praksis seperti ini sangat diperlukan untuk pembebasan intelektual dan politik dari kaum proletariat, sehingga pekerja dan petani, orang-orang perkotaan, dan bangsa suatu negara dapat membuat budaya kelas pekerja mereka sendiri yang membahas kebutuhan sosial dan ekonomi kelas sosial mereka masing-masing. Dalam suatu masyarakat, hegemoni budaya bukanlah praksis intelektual monolitik maupun kesatuan sistem nilai-nilai, namun merupakan struktur strata sosial yang kompleks dimana masing-masing kelas sosial dan ekonomi memiliki tujuan sosialnya masing-masing. Setiap kelas juga memiliki logikanya masing-masing yang memungkinkan anggotanya untuk berperilaku secara unik dan berbeda dari perilaku anggota kelas-kelas sosial lainnya, namun semuanya hidup berdampingan sebagai satu kesatuan masyarakat. Karena memiliki tujuan sosial yang berbeda-beda, kelas-kelas dapat bersatu menjadi satu masyarakat dengan misi sosial yang lebih besar. Ketika seorang pria, seorang wanita, atau anak-anak melihat struktur sosial hegemoni budaya borjuis, akal sehat setiap pribadi akan melakukan peran ganda struktural (peran pribadi dan peran masyarakat). Individu akan menggunakan akal sehat untuk mengatasi kehidupan sehari-hari sesuai pemahamannya menurut status quo yang dimiliki masing-masing kelas sosial. Di dalam masyarakat, keterbatasan persepsi pribadi tersebut menghambat individu untuk memahami eksploitasi sosio-ekonomi sistematis yang dimungkinkan oleh hegemoni budaya. Karena adanya perbedaan dalam memahami status quo —hierarki sosio-ekonomi dari budaya borjuis— kebanyakan orang menyibukkan diri dengan masalah pribadinya masing-masing daripada memikirkan tentang masalah yang tidak langsung berhubungan dengan mereka (masalah publik), sehingga mereka pun tidak memikirkan atau mempertanyakan asal-muasal terjadinya ketidak adilan sosio-ekonomi di bidang sosial, politik, maupun pribadi mereka.[10] Efek dari hegemoni budaya terasa jelas di tingkat pribadi. Walaupun setiap orang menjalani hidup penuh makna dalam kelas sosialnya masing-masing, tetapi pembagian kelas-kelas sosial terasa bedanya ketika dilihat per kehidupan pribadi setiap individu. Namun, ketika dilihat secara keseluruhan masyarakat, setiap orang memberikan kontribusi yang besar terhadap hegemoni sosial. Meskipun keragaman sosial, ekonomi, dan kebebasan politik muncul karena kebanyakan orang melihat kehidupan yang berbeda-keadaan, mereka tidak mampu memahami pola besar hegemoni yang terbuat ketika kehidupan yang mereka saksikan menyatu dalam satu masyarakat. Hegemoni budaya diwujudkan dan dipertahankan oleh keberadaan kondisi-kondisi satuan yang berbeda-beda, sebuah perbedaan yang tidak selalu sepenuhnya dirasakan oleh anggota masyarakat.[11] Pengaruh GramsciPada tahun 1967, pemimpin gerakan mahasiswa Jerman Rudi Dutschke merumuskan ulang filosofi hegemoni budaya Antonio Gramsci dengan kalimat long march melalui kelembagaan (Bahasa Jerman: Marsch durch die Institutionen) untuk mengidentifikasi politik Perang Posisi, sebuah kiasan untuk Long March (1934-35) dari Tentara Pembebasan Masyarakat Komunis Tiongkok, dimana kelas pekerja membuat sendiri intelektual dan budayanya (ideologi dominan) untuk menggantikan paham yang dibentuk oleh kaum borjuis.[13][14][15][16][17] Kritik terhadap GramsciAparatur Negara yang IdealDalam lingkup kritik konseptual hegemoni budaya, filsuf strukturalis Louis Althusser mempresentasikan teori aparatur negara yang ideal untuk menjelaskan struktur hubungan kompleks antar banyak anggota badan dalam sebuah administrasi negara. Dalam situasi tersebut, ideologi disebarkan ke masyarakat. Althusser menggambarkan adanya konsep hegemoni pada hegemoni budaya tetapi ia menolak historisisme absolut yang diusulkan oleh Gramsci. Bahwa aparatur negara yang ideal (ISA) merupakan tempat dimana terjadinya konflik antar idealisme berbeda-beda yang datang dari kelas sosial masyarakat yang berbeda-beda pula. Bahwa, bertolak belakang dengan aparatur negara yang represif (RSA) seperti yang berlaku di militer dan kepolisian, ISA dapat hadir secara majemuk. Jika kelas berkuasa dapat mengendalikan RSA, dalam kasus ISA semua kelas masyarakat saling berebut kuasa. Lagipula, ISA bukanlah badan-badan sosial monolitik, dan tersebar di seluruh lapisan masyarakat, baik di ranah publik maupun swasta, sehingga persaingan di dalam dan antar kelas masyarakat akan terus terjadi. Di On the Reproduction of Capitalism (1968), Louis Althusser mengatakan bahwa aparatus negara yang ideal merupakan zona masyarakat yang berlebihan karena mencakup elemen rumit dari produk ideologi-ideologi di masa lalu, dan dengan demikian akan terus menjadi alat politik. ISA ini diantaranya adalah:
Althusser mengatakan bahwa struktur parlemen negara dimana “kemauan masyarakat” diwakilkan melalui perwakilan delegasi merupakan terapan dari aparatur negara yang ideal. Bahwa sistem politik itu sendiri merupakan aparatur ideal karena menyertakan “fiksi, menimpali realitas 'tertentu' yang bagian komponen sistem politiknya serta prinsip fungsinya berdasarkan pada ideologi 'kebebasan' dan 'persamaan hak' dari para individu pemberi suara dan ‘pilihan bebas’ dari perwakilan rakyat, yang mewakili keseluruhan masyarakat.”[18] Lihat juga
Referensi
Bacaan lebih lanjut
Pranala luar
|