Festival Memeden Gadhu

Festival Memeden Gadhu (F.M.G) dalam Bahasa Indonesia berarti Festival Hantu Gadhu adalah suatu tradisi lama dari petani-petani kuno di Jepara tepatnya Kecamatan Bangsri. Festival ini diadakan di Desa Kepuk kecamatan Bangsri kabupaten Jepara. Festival Memeden Gadhu rutin digelar setiap Jumat Wage bulan Apit penanggalan Jawa, atau bulan Dzulkaidah penanggalan Hijriyah.

Etimologi

Istilah memedi gadu muncul[1] karena memedi sawah ini muncul di luar musim tanam padi (yang disebut gadu). Karena musim tanam tidak bersamaan, maka pemilik sawah membuat memedi sawah gadu yang disingkat memedu. Dari sinilah muncul istilah memedi gadu atau memeden gadu. Festival Memeden Gadu merupakan acara sedekah bumi warga, sebagai ungkapan rasa syukur pada apa yang telah diberikan bumi pada para petani. Festival Memeden Gadu ini bukan hanya sebagai pegingat tradisi masa lalu tetapi juga nostalgia lomba tradisi tempo dulu. Hal ini dilatarbelakangi karena sudah banyak jenis dolanan anak zaman dulu yang sudah banyak menghilang. Anak zaman sekarang sudah tidak banyak mengenal dolanan-dolanan lawas yang pernah dimainkan kala kecil dulu seperti gobag sodor, setinan, egrang, dakonan, dan lain sebagainya.

Latar Belakang

Petani sudah kehabisan cara mengusir musuhnya. Musuh alami hama perusak tanaman lenyap diburu orang. Ular, misalnya, diburu untuk kepentingan industri dan makanan olahan. Selain itu, katak dan burung dibabat habis untuk makanan dan hiasan rumah. Sehingga wajar bila hama Tikus, Wereng, dan sejenisnya makin merajalela. Sekelompok anak muda di Jepara mengingatkan bahwa masih ada cara jitu mengusir hama perusak tanaman, seperti burung. Tidak dibunuh, tetapi dengan konsep lama, yakni membuat memedi sawah. “Cara ini ramah lingkungan,” kata Kustam Eka Jalu, Koordinator Gabungan Masyarakat Peduli Tradisi dan Budaya Jepara, kemarin. Karena itu, Kustam bersama kelompoknya menyelenggarakan Festival Memeden Gadu, Pameran Seni dan Kerajinan Tempo Doeloe, selama tiga hari sejak 9 Oktober di Desa Kepuk, Kecamatan Bangsri, Jepara. Dipilihnya desa itu karena pertaniannya sangat potensial dan sebagian besar masyarakatnya hidup dari petani atau buruh tani. Desa berpenduduk 5.400 jiwa itu memiliki area persawahan seluas sekitar 266 hektare.“Kami dukung, sekalian upacara sedekah bumi,”kata Tarno Kepala Desa. Selama ini, sebagian besar petani memang sudah meninggalkan budaya pengusir Burung yang disebut memeden gadhu. “Mereka memilih berteriak-teriak atau dengan plastik yang digerak-gerakkan,”kata Kahar.

Asal Usul

Festival ini yang melibatkan petani tersebut bertujuan menjaga kearifan lokal serta menghidupkan kembali cara-cara mengusir hama tanaman padi terutama burung dengan menggunakan orang-orangan sawah (memeden gadhu) dan tidak menggunakan pestisida. Cara ini paling mujarab[2] untuk mengusir burung yang suka makan padi yang mulai berbuah. Bupati Jepara Hendro Martojo menyambut baik usaha itu. “Menengok kembali tempo dulu, bukan berarti mundur, tetapi belajar dari masa lalu untuk memetik hikmah orang-orang dahulu yang positif,” kata Hendro Martojo.

Tujuan

Tujuan diadakannya Festival Memeden Gadhu adalah sebagai Sedekah Bumi dengan mengarak tumpeng raksasa tersendiri merupakan suatu upacara adat yang melambangkan rasa syukur[3] masyarakat terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rezeki melalui Tanah atau Bumi berupa segala bentuk hasil bumi. Sedangkan Memeden gadu atau hantu sawah yang juga diarak oleh masyarakat sekitar berkeliling kampung dengan tujuan, sawah sawah milik warga nantinya tidak diserang oleh hama yang sering merugikan petani. Di depan rumah-rumah warga juga diberi hantu sawah yang terbuat dari jerami. Tujuannya agar masyarakat tahu dan selalu ingat bahwa, peran memeden gadhu dalam menjaga produktivitas hasil panen sangat penting.

Selain bentuk wujud syukur, arak-arakan ini juga diharapkan menjadi media mencipta kerukunan antar dan sesama warga desa. Yang menjadikan arak arakan ini lebih menarik yakni ditampilkan juga sosok Dewi Sri yang juga ikut diarak, selain Tumpeng Raksasa, dan Memeden Gadhu. Sosok Dewi Sri tersendiri mempunyai simbol sebagai dewi kesuburan padi, diharapkan padi padi milik petani nantinya bisa tumbuh dengan subur.

Acara

Acara ini diadakan pada Jumat Wage bulan Apit penanggalan Jawa, sedangkan dalam penanggalan Hijriyah bulan Dzulkaidah, yang diadakan oleh petani dan warga desa setempat. Dalam festival itu, ada lebih dari 200 memeden gadu yang dibuat 100 peserta. Bentuknya beragam, mulai perempuan berbusana jilbab, berbusana kebaya Jawa, hingga berbusana petani bercaping, Bahkan ada sosok lelaki berbusana jawara, orang bersepeda, serta suami-istri bercengkerama. Alat-alat pertanian tradisional, seperti garu, lumpang, dan gilingan padi dipamerkan[4] pada Festival Memeden Gadhu. Selain itu, warga juga melakukan tradisi arak-arakan hantu sawah keliling desa. Puncak acara Festival Memeden Gadu adalah Kirab Memedi Sawah pada pukul 3 sore. Rute kirab adalah di jalan perkampungan setempat. Ada yang mengusung-mengarak memedi sawah, banyak pula peserta yang mengubah dirinya menyerupai memedi sawah dengan memanfaatkan jerami.

Referensi

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-28. Diakses tanggal 2016-09-15. 
  2. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-24. Diakses tanggal 2016-09-15. 
  3. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-03. Diakses tanggal 2016-09-15. 
  4. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-09-16. Diakses tanggal 2016-09-15. 
Kembali kehalaman sebelumnya