Epoché

Epoché adalah salah satu prinsip netral dalam penelitian fenomena keagamaan dengan cara menangguhkan terlebih dahulu persepsi awal, penilaian normatif agama dan sudut pandang peneliti sebagai pemeluk agama, guna memperoleh hasil penelitian yang objektif.[1] Secara etimologi, epoché berasal dari bahasa Yunani (ἐποχή dibaca epoché) yang berarti pembatalan, pengurungan (bracketing), dalam konteks ini diartikan sebagai suspension of judgement atau penangguhan keputusan dalam arti Bahasa Indonesia.[2]

Sejarah

Epoché pada mulanya digunakan oleh aliran Pyrrhonisme, yaitu aliran filsafat Yunani sekitar abad 272 SM yang dibangun oleh seorang filsuf yang bernama Pyrrhon untuk mengungkapkan keraguan dalam ilmu pengetahuan, maka ia pun dianggap sebagai pendiri skeptisisme kuno Yunani.[3] Ia juga dikenal sebagai pria bijak yang selalu berusaha menghindari perselisihan dalam ilmu pengetahuan tertentu dengan cara menangguhkan penilaian (praktik epoché) untuk diteliti terlebih dahulu.[3] Pyrrhonism sangat memengaruhi pemikiran para filsuf Eropa abad ke-17,[3] terbukti dengan adanya istilah ini dalam tulisan-tulisan Kant pada tahun 1765.[4] Kemudian dipopulerkan oleh Edmund Husserl seorang filsuf Jerman dalam metode penelitian fenomena keagamaan sebagai respon terhadap penilaian-penilaian subjektif umat sekaligus kritik sistematis terhadap modernisme.[5]

Epoché dan Fenomenologi Agama

Epoché digagaskan pertama kali dalam kajian fenomenologi agama oleh Husserl pada abad ke-19,[6] di antara karyanya adalah "Phenomenology and the Foundations of the Sciences",[6] "Logische Untersuchungen (Logical Investigations) (1901, 1913) dan "Meditations Cartésiennes (Cartesian Meditations)" (1931).[7]

Menurut Husserl, fenomenologi merupakan sebuah studi tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek di luar dirinya.[4] Namun, semua itu tetap membutuhkan refleksi dari peneliti mengenai fenomena tersebut dengan mengenyampingkan segalanya.[4] Husserl menyebut tipe refleksi ini dengan "reduksi fenomenologis", ia mencoba menghapus konsep dan konstruk pandangan seseorang dalam penelitiannya.[4]

Epoché menjadi ciri khas dalam fenomenologi Husserl, khususnya dalam kecermatannya memperlihatkan dua hal penting:[5]

  • Kecermatan Melihat Masalah

Kecermatan dalam menunjukkan akar permasalahan mendasar yang ada pada zaman modern, yaitu kesalahpahaman dalam memahami sifat dasar dunia dan sifat dasar manusia.[5]

  • Kecermatan Melihat Solusi

Kecermatannya dalam menunjukkan jalan keluar dari permasalahan modern tersebut, yaitu melalui sikap fenomenologis, khususnya epoché.[5]

Dalam karyanya, "Logische Untersuchungen" (Penyelidikan-penyelidikan Logika), dan "Philsophie als Strenge Wissenschaft", (Filsafat sebagai Ilmu yang Kuat), Husserl memperlihatkan bahwa filsafat modern terjebak ke dalam perbedaan kategori yang salah antara oubjek dan objek.[5] Menurutnya, seluruh gerak pemikiran modern sejak Descartes, Hegel, dan John Stuart Mill hanya merupakan gerak psikologis yang bersifat subjektif terhadap seluruh realitas, kemudian mendudukkan manusia sebagai pusat seluruh pengetahuan.[5] Pandangan Husserl ini menjadi dasar baginya untuk menyebut filsafat modern sebagai psikologisme.[5] Sedangkan psikologisme menjadikan manusia yang sadar itu sebagai awal dari segala sesuatu, dan kemudian seluruh realitas itu, akhirnya akan kembali kepada kesadaran manusia sendiri.[5] Inilah semangat optimisme modern yang pada awalnya bertujuan menegakkan kedudukan manusia sebagai manusia seutuhnya, tetapi terjebak ke dalam pemutlakkan atas manusia dan rasionya.[5]

Karakteristik

Epoché memiliki sifat netral dalam penelitian keagamaan, terhindar dari penilaian yang dikonsepkan sebelumnya oleh seorang pemeluk agama yang meneliti fenomena keagamaan.[8] Sehingga seorang fenomenolog dituntut untuk mendeskripsikan dan menjelaskan secara empiris suatu fenomena keagamaan, tanpa sudut pandang subjektif fenomenolog sebagai pemeluk agama.[8] Epoché berada pada wilayah filsafat sekaligus teologi,[8] namun fakta bahwa manusia religius dapat memengaruhi tindakan-tindakan dan tingkah lakunya, sehingga ketika ungkapan keagamaan tersebut muncul maka akan memasuki wilayah yang faktual.[8] Artinya seorang fenomenolog tetap perlu mempertanyakan hakikat sebenarnya sebuah fenomena keagamaan melalui prinsip epoché tanpa harus terlibat untuk merumuskan baik-buruknya religius atau moral suatu kasus.[8]

Rujukan

  1. ^ Editor: Burhanuddin Daya, H. L. Beck. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda: Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS. 1992. Hlm 54.
  2. ^ (Inggris)ἐποχή in Liddell and Scott's Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon.
  3. ^ a b c (Inggris)Encyclopædia Britannica Online "Pyrrhonism." Diakses 3 April 2014.
  4. ^ a b c d Rusli. Pendekatan Fenomenologi di dalam Studi Agama Diarsipkan 2014-04-07 di Wayback Machine.. Surabaya: UIN Sunan Ampel. 2008. Hlm 3.
  5. ^ a b c d e f g h i Ito Prajna-Nugroho. FENOMENOLOGI SEBAGAI SUATU SIKAP HIDUP: Selayang Pandang mengenai Fenomenologi Edmund Husserl dan Martin Heidegger Diarsipkan 2014-04-07 di Wayback Machine.
  6. ^ a b (Inggris) Edmund Husserl. Phenomenology and the Foundations of the Sciences. Belanda: Martinus Nijhoff. 1980. Hlm 65. Diakses 3 April 2014.
  7. ^ Yuliana Rakhmawati. Membaca Pengalaman dan Kesadaran: Konstruksi dalam Perspektif Fenomenologi. Diarsipkan 2014-08-01 di Wayback Machine. Madura: Jurnal Universitas Trunijoyo. Hlm 3.
  8. ^ a b c d e Mariasusai Dhavamony. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. 1995. Hlm 34.
Kembali kehalaman sebelumnya