Benteng Fengguiwei
Benteng Fengguiwei (Hanzi: 風櫃尾城堡; Pinyin: Fēngguìwěi Chéngbǎo) adalah bekas benteng Belanda yang terletak di Magong, Penghu, Taiwan. Benteng itu berada di atas sebuah bukit kecil di semenanjung di seberang teluk di mana Pelabuhan Magong berada. Kini hanya sedikit dari struktur asli benteng tersebut yang tersisa.[1][2] StrukturBenteng Fengguiwei dibangun menggunakan tanah yang dipadatkan dan kemudian diletakkan pada sebuah persegi berukuran 55 m dan tinggi 7 m. Di sisi barat laut benteng yang menghadap ke semenanjung, dinding benteng dilapisi batu, sementara pada ketiga sisi lainnya hanya dilapisi kayu. Terdapat pula galian sumur di sisi barat laut tersebut. Masing-masing dari keempat sudut benteng dilengkapi dengan selekoh.[2] SejarahPada tahun 1622, Belanda, yang kala itu berbasis di Batavia, berusaha untuk membangun kehadiran yang lebih kuat di Asia Timur dengan mengirim enam kapalnya yang dipandu oleh Cornelis Reijersen untuk merebut Makau dengan tujuan mengganggu rute perdagangan menguntungkan Makau-Nagasaki yang dikuasai oleh Portugal. Meski jumlah awak Reijersen lebih banyak daripada Portugal, mereka kalah dan memutuskan mundur. Dia lantas beralih ke Pescadores (kini disebut Penghu) untuk mendirikan markas di sana dan memaksa orang Tiongkok untuk berdagang dengan mereka.[3] Reijersen membangun Benteng Fengguiwei di atas bukit yang disebut sebagai Gunung Shetou (Hanzi: 蛇頭山). Dia memaksa 1.500 penduduk setempat untuk terlibat dalam pembangunan benteng tersebut. Diduga, 1.300 pekerja tersebut tewas akibat kelaparan.[4] Dari Benteng Fengguiwei, Belanda mulai menyerbu kapal-kapal dagang Tiongkok dengan tujuan "membujuk orang Tiongkok untuk berdagang dengan Belanda, baik karena terpaksa atau karena ketakutan."[5] Namun, Belanda tidak bertahan lama di Pescadores. Tiongkok memutuskan untuk menyerang Benteng Fengguiwei pada Agustus 1624. Belanda dan Tiongkok akhirnya sepakat untuk menghancurkan benteng tersebut. Belanda kemudian pindah ke Pulau Formosa, di mana mereka kemudian membangun Benteng Zeelandia dan berhasil bertahan selama 38 tahun.[6][7][8] Pada tahun 1895, Laksamana Jepang Itō Sukeyuki memanfaatkan situs tersebut dengan baterai artileri untuk melakukan invasi ke Taiwan. Meriam-meriam tersebut baru dipindahkan pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah pada Perang Dunia II.[2] Referensi
|