Bantargebang, Bekasi
Bantargebang adalah sebuah kecamatan di Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kecamatan ini dimekarkan dari Kecamatan Setu pada tanggal 24 Desember 1981 melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 53 tahun 1981. [4]. SejarahBantargebang awalnya merupakan sebuah perkampungan kecil yang terletak di tepi Kali Bekasi. Kampung ini termasuk dalam Tanah Partikelir Tjileungsi (Land Tjileungsi) dan termasuk dalam District Tjibaroesa, Karesidenan Bogor (Buitenzorg) pada masa kolonial Hindia Belanda. Salah satu bukti tertua mengenai keberadaan Bantargebang dapat ditemukan dalam peta yang dibuat oleh François Valentijn, seorang misionaris dan penulis sejarah Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC), dalam karyanya Oud en Nieuw Oost-Indiën (Hindia Timur Lama dan Baru), yang dibuat antara tahun 1724-1726. [5] [6] [7] Peta ini menandai dua situs penting di aliran sungai Bekasi, yaitu benteng Fort Bacassie (Bekasi) di muara dan Bantengombang (Bantargebang) di hulu, yang terletak di pinggir Kali Bekasi. [5] Penanda ini menegaskan pentingnya posisi strategis Bantargebang bagi aktivitas VOC, terutama sebagai bagian dari jaringan transportasi sungai yang mendukung perdagangan. Benteng Fort Bacassie, yang dibangun pada tahun 1695, adalah bagian dari jaringan pertahanan VOC di wilayah Batavia dan sekitarnya, yang dikembangkan bersamaan dengan ekspansi ekonomi mereka [5]. Bantargebang pada masa itu berfungsi sebagai kampung terjauh di pedalaman aliran Kali Bekasi, tepat terletak di hilir pertemuan Sungai Cileungsi dan Sungai Cikeas. Sungai Cileungsi sendiri dikenal sebagai West Djonggol Rivier pada masa Hindia Belanda. [5] Pada tahun 1775, Tanah Partikelir Bekasi (Land Bekasi) dan Tanah Partikelir Tjileungsi (Land Tjileungsi) terbentuk, dengan Land Bekasi dimiliki oleh Jeremis van Riemsdijk pada tahun 1776. Letaknya yang strategis sebagai penghubung antara daratan dan wilayah rawa menjadikan Bantargebang sebagai batas antara Land Bekasi dan Land Tjileungsi. [5] Berdasarkan administrasi Pemerintah Hindia Belanda, Bantargebang tercatat sebagai bagian dari Land Tjileungsi, District Tjibaroesa, Afdeeling Buitenzorg (Bogor). Sementara itu, wilayah hilir termasuk Bekasi, masuk ke dalam Afdeeling Bekasi. Pada tahun 1938, setelah Pemerintah Hindia Belanda mengakuisisi tanah-tanah partikelir, status wilayah Bantargebang berubah menjadi bagian dari Kawedanan Jonggol, sebuah unit pemerintahan di bawah afdeeling. Pada masa Pendudukan Jepang, tahun 1942, struktur pemerintahan di Bantargebang diubah. Desa Bantargebang dibentuk dengan menggabungkan dua kampung, yakni Kampung Bantargebang dan Kampung Cikiwul, di bawah kendali seorang Kumico (mandor), sesuai dengan sistem pemerintahan Jepang yang memusatkan kontrol di desa-desa [8] [9]. Setelah kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1950, wilayah Bantargebang bersama daerah utara Kawedanan Jonggol lainnya seperti Cibarusah, Lemah Abang, Serang, dan Kranggan dimasukkan ke dalam Kabupaten Jatinegara, tepatnya Kawedanan Tambun. Namun, pada tahun yang sama, wilayah ini kemudian dimekarkan menjadi bagian dari Kabupaten Bekasi [8]. Pada tahun 1981, Bantargebang diresmikan sebagai kecamatan tersendiri setelah dimekarkan dari Kecamatan Setu [4]. Selanjutnya, pada tahun 1997, Bantargebang secara resmi dimasukkan ke dalam wilayah administratif Kota Bekasi [10]. Asal Usul Nama BantargebangNama "Bantargebang" berasal dari kata "Bantar", yang berarti bantaran atau pinggiran, dan "Gebang", yang merujuk pada pohon sejenis palem atau nipah. Nama ini kemungkinan mencerminkan peran Bantargebang sebagai batas wilayah pedalaman di sekitar aliran sungai [5]. Ada pula legenda lokal yang menyebutkan bahwa nama "Bantargebang" berasal dari peran Syarif Hidayat, menantu dari Raja Fatah, pendiri Kesultanan Demak, yang dikatakan tiba di Bantargebang sekitar abad ke-16 [11] [8] [9]. Kedatangan Syarif Hidayat ke Bantargebang bertujuan menyebarluaskan ajaran Islam serta mengurus pemerintahan sebagai utusan Raja Demak. Setelah menyelesaikan tugasnya di Cirebon, Tasikmalaya, dan Banten, ia tiba di Bantargebang. Menurut cerita, terjadi peristiwa luar biasa ketika Syarif Hidayat berada di sebuah acara hajatan. Seorang anak yang baru menjalani proses sunat tidak berhenti menangis, meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh penduduk setempat [11] [8] [9]. Di tengah kebingungan, anak tersebut terus menyebutkan permintaan yang tidak dimengerti oleh siapapun. Syarif Hidayat kemudian menyadari bahwa anak itu meminta "Ban" (sabuk) yang harus diambil dari Pohon Gebang, sejenis pohon palem yang tumbuh di halaman. Setelah sabuk tersebut diberikan, tangisan anak itu segera berhenti. Peristiwa ini mengesankan penduduk setempat, dan sejak saat itu, wilayah tersebut dinamakan Kampung Bantargebang [11] [8] [9]. Menurut legenda tersebut nama Bantargebang ditelusuri dari tiga kata: "Ban", yang berarti sabuk atau amben, "Latar", yang berarti tempat atau pelataran, dan "Gebang", yang merujuk pada pohon Gebang. Syarif Hidayat kemudian menetap di Bantargebang hingga akhir hayatnya, dan dikenal dengan nama lain, yaitu Mbah Kyai Wali Husein atau Mbah Husein. [11] [8] [9] Demografi dan MasyarakatMayoritas penduduk Bantargebang bekerja sebagai buruh, terutama di sektor informal. Namun, di Kelurahan Sumur Batu, profesi masyarakat lebih bervariasi, dengan banyak penduduk yang berprofesi sebagai petani karena adanya lahan pertanian, terutama sawah, yang masih mendominasi kawasan ini. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bekasi tahun 2023, Kecamatan Bantargebang memiliki total penduduk sebanyak 113.988 jiwa. Jumlah tersebut terdiri atas 58.047 penduduk laki-laki dan 55.941 penduduk perempuan, dengan rasio jenis kelamin sebesar 103, yang menunjukkan bahwa terdapat 103 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. [3] Kepadatan penduduk di kecamatan ini mencapai 5.925 jiwa/km². Di antara empat kelurahan yang ada, Kelurahan Bantargebang mencatat kepadatan tertinggi, yaitu 7.792 jiwa/km², disusul Kecamatan Ciketing Udik dengan kepadatan 5.824 jiwa/km², lalu Kecamatan Cikiwul dengan kepadatan 5.227 jiwa/km², sedangkan Kelurahan Sumur Batu memiliki kepadatan terendah dengan 5.140 jiwa/km². [3] TPST BantargebangDi kecamatan Bantargebang, terdapat fasilitas penampungan sampah akhir yang dikenal sebagai Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. TPST ini berfungsi untuk menampung limbah padat dari seluruh wilayah DKI Jakarta dan telah beroperasi sejak tahun 1989 [12]. Berlokasi di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Cikiwul, dan Kelurahan Sumur Batu, TPST Bantargebang mencakup area seluas 110,3 hektar. Dari total luas tersebut, 81,91% digunakan sebagai area efektif untuk penampungan sampah, sedangkan 18,09% sisanya dimanfaatkan untuk infrastruktur pendukung, seperti jalan akses, kantor pengelolaan, dan instalasi pengolahan lindi (cairan yang dihasilkan dari sampah). Kepemilikan tanah ini sepenuhnya berada di bawah wewenang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. [13] TPST Bantargebang dikelola berdasarkan kolaborasi antara Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BKLH) Provinsi DKI Jakarta dan Badan Lingkungan Hidup (BKL) Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2010, pengelolaan TPST ini diperbarui melalui penerbitan dokumen persetujuan kelayakan lingkungan yang tercantum dalam AMDAL, RKL, dan RPL No. 660.1/206.BPLH. AMDAL/III/2010. [13] Sejarah Pendirian TPST BantargebangTPST Bantargebang mulai beroperasi pada tahun 1989 sebagai solusi utama penanganan sampah dari wilayah DKI Jakarta [12]. Awalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan pembangunan fasilitas penampungan sampah di Ujungmenteng, Jakarta Timur. Namun, karena wilayah tersebut sudah padat penduduk, rencana itu dibatalkan. Pemerintah DKI kemudian mencari lokasi alternatif di luar Jakarta, dengan melibatkan pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Gubernur Jawa Barat saat itu, Yogie Suardi Memet, menawarkan tiga lokasi alternatif: Citeureup di Kabupaten Bogor, Bantargebang di Kabupaten Bekasi, dan Setu di Kabupaten Tangerang. Meskipun Citeureup sempat menjadi pilihan karena lokasinya yang dekat dengan jalan tol, tempat tersebut batal digunakan karena potensi pencemaran air di hulu sungai. Akhirnya, Bantargebang dipilih sebagai lokasi yang dianggap lebih aman. Sejak saat itu, TPST Bantargebang mulai beroperasi sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk menampung sampah dari DKI Jakarta. Sejak awal, operasional TPST Bantargebang didasarkan pada kerja sama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi. Pemprov DKI memberikan kompensasi tahunan berupa dana dan bertanggung jawab atas pembangunan infrastruktur di sekitar Bantargebang. Pada awalnya, kompensasi yang diberikan adalah sebesar Rp 8 miliar per tahun, namun meningkat menjadi Rp 14 miliar pada tahun 2002 setelah kesepakatan baru ditandatangani [12]. Pengembangan dan Rencana Proyek PenggantiPada tahun 1996, pemerintah memperkirakan bahwa TPST Bantargebang akan mencapai kapasitas maksimum pada tahun 2008. Untuk mengatasi hal ini, direncanakan pembangunan Tempat Pengolahan Sampah (TPA) baru di Jonggol, Kabupaten Bogor. Namun, proyek tersebut menghadapi penolakan dari masyarakat setempat sehingga dibatalkan pada tahun 2004 [12]. Pada periode yang sama, pengelolaan TPST Bantargebang sempat dialihkan ke pihak swasta, yaitu PT Patriot Bekasi Bangkit (PT PBB). Sebagai bagian dari kesepakatan, 20 persen dari pembayaran tipping fee per ton sampah yang dibuang di TPST Bantargebang diberikan kepada Pemerintah Kota Bekasi. Namun, pada tahun 2007, Pemprov DKI kembali mengambil alih pengelolaan TPST, meskipun sistem pembayaran tipping fee tetap berlaku [12]. Pada tahun 2012 untuk mengurangi ketergantungan terhadap TPST Bantargebang, Pemprov DKI Jakarta, di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo, merencanakan pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF). ITF ini merupakan fasilitas pengolahan sampah modern dengan teknologi tinggi yang ramah lingkungan. Lima lokasi ITF direncanakan dibangun, yaitu di Marunda, Cakung, Cilincing, Sunter, dan Duri Kosambi [12]. Selain itu, Pemprov DKI juga mengembangkan masterplan pengelolaan sampah hingga tahun 2032. Masterplan ini berpedoman pada regulasi nasional seperti Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan peraturan-peraturan terkait lainnya [12]. Operasional dan PencapaianHingga saat ini, TPST Bantargebang masih menjadi penampungan utama sampah dari Jakarta, dengan sekitar 6.500 ton sampah dikirim setiap hari [12] [14]. Dengan volume sampah harian yang diterima tersebut, TPST Bantargebang menjadi salah satu tempat pengelolaan sampah terbesar di Indonesia. Sebagian dari sampah tersebut, sebanyak 2.000 ton, dimanfaatkan untuk pembangkit listrik dan pembuatan kompos, sementara 2.000 ton lainnya digunakan dalam proyek energi bersama Pertamina dan Solena [15]. Pada tahun 2013, TPST Bantargebang mendapatkan penghargaan plakat Adipura dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tempat pemrosesan sampah terbaik di Indonesia [16]. Pengelola TPST, PT Godang Tua Jaya, berencana untuk terus mengembangkan fasilitas ini, termasuk meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) hingga 138 megawatt, yang menjadikannya salah satu PLTSa terbesar di dunia [15]. Pembangkit Listrik Tenaga SampahPada tahun 2018, TPST Bantargebang menjadi lokasi pembangunan proyek percontohan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), yang dirancang oleh Pusat Teknologi Lingkungan (PTL) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Inisiatif ini lahir dari kesepakatan bersama yang tertuang dalam MoU antara Gubernur DKI Jakarta dan Kepala BPPT pada 20 Desember 2017, serta diikuti dengan perjanjian kerjasama antara Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan PTL pada tahun 2018 dan 2019. Tujuan utama proyek ini adalah membangun fasilitas yang menggunakan proses termal untuk mengelola sampah secara efisien dan ramah lingkungan, serta mengonversinya menjadi sumber energi listrik [17]. Teknologi termal yang digunakan dalam PLTSa ini memungkinkan pemusnahan sampah secara cepat dan signifikan. PLTSa dirancang untuk beroperasi secara kontinu selama 24 jam per hari dengan total 250-300 hari per tahun. Fasilitas ini memiliki kapasitas pengolahan sampah sebesar 100 ton per hari dan mampu menghasilkan listrik sebesar 700 kW. Energi listrik yang dihasilkan sepenuhnya digunakan untuk kebutuhan operasional internal unit PLTSa. Proyek ini diharapkan menjadi model penelitian dan percontohan bagi kota-kota besar lainnya dalam menerapkan teknologi ramah lingkungan untuk pengelolaan sampah, sesuai dengan Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik [17]. Pembangunan proyek PLTSa selesai pada Desember 2018, diikuti oleh proses pengujian dan penyempurnaan peralatan pada Januari 2019. Pada 25 Maret 2019, PLTSa TPST Bantargebang diresmikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Gubernur Provinsi DKI Jakarta, serta Kepala BPPT, dengan kehadiran sejumlah pejabat daerah lainnya [17]. Pembagian AdministrasiKecamatan Bantargebang terbagi menjadi 4 kelurahan yang meliputi:
Angkutan umum
Lihat pulaReferensi
|