Bambu tali
Bambu tali[6] atau bambu apus (Gigantochloa apus) merupakan jenis bambu yang tersebar luas di Indonesia dan Asia tropis. Bambu ini banyak diusahakan untuk bahan baku pembuatan kerajinan tangan. Nama-nama daerahnya, di antaranya, awi tali (Sd.); pring tali, pring apus, pring apĕs, dĕling apus, d. tangsul (Jw.); perrèng talè (Md.); tiying tali, tiying tlantan (Bl.), dan lain-lain.[7] Dalam bahasa Inggris ia disebut string bamboo.[8] PengenalanBambu yang merumpun, rapat dan tegak; rebungnya hijau, tertutup oleh bulu-bulu miang cokelat dan hitam. Buluhnya lurus, mencapai tinggi 22 m dengan ujung yang melengkung; mulai bercabang lk. 1,5 m di atas tanah. Panjang ruas 20-60 cm dan garis tengahnya 4–15 cm, tebal dinding buluh lk. 1,5 cm; hijau kelabu hingga hijau terang atau kekuningan; buku-bukunya sedikit menonjol.[9][10] Pelepah buluh tidak lekas rontok; bentuk trapezoid, lk. 7-35 × 8–26 cm, hijau akhirnya cokelat kekuningan; sisi luarnya tertutup oleh miang berwarna cokelat gelap, yang kemudian rontok ketika pelepah mengering. Daun pelepah buluh menyegitiga dengan dasar menyempit, 3-10(-18) × 2–5 cm, terkeluk balik. Kuping pelepah seperti bingkai, lebar 4–8 mm dan tinggi 1–3 mm, dengan bulu kejur hingga 7 mm; ligula (lidah-lidah) menggerigi, tinggi 2–4 mm, lokos.[9][10] Daun pada ranting bentuk lanset, 13-49 × 2–9 cm, sisi bawahnya agak berbulu; kuping pelepah kecil dan membulat, tinggi 1–2 mm, lokos; ligula rata, tinggi lk. 2–4 mm, lokos.[9] Perbungaan berupa malai pada ranting yang berdaun, dengan kelompok-kelompok hingga 30 spikelet pada masing masing bukunya, terpisah sejarak 1-8,5 cm. Spikelet bentuk bulat telur sempit, 13-22 × 2–3 mm, dengan 2-3 gluma hampa dan 3 floret yang sempurna.[10] Agihan dan ekologiMenyebar luas di wilayah Asia tropis: India, Indocina, dan kawasan Malesia,[11] asal usul bambu tali diperkirakan dari wilayah Burma (Tenasserim) dan Thailand selatan.[10] Bambu ini kemungkinan dibawa semasa migrasi manusia prasejarah ke Jawa, di mana kemudian ia banyak ditanam orang; akan tetapi populasi liarnya, atau yang meliar, dapat dijumpai di kawasan Gunung Salak dan Blambangan. Dari Jawa, bambu tali menyebar ke Sumatra bagian selatan, Kalimantan tengah, dan Sulawesi tengah.[10] Kini bambu tali telah tersebar jauh hingga ke Afrika selatan dan timur, serta ke wilayah Amerika Tengah dan Selatan.[3] Bambu tali menyukai wilayah dataran rendah yang panas dan lembap, namun juga dijumpai pada lereng-lereng perbukitan hingga 1.500 m dpl. Tumbuhan ini juga biasa didapati di tempat-tempat terbuka, hutan yang terganggu, dan di tepi sungai pada tanah-tanah berpasir atau berliat. Pada tempat-tempat yang kering, buluhnya menjadi kurus.[10] ManfaatBambu tali merupakan jenis bambu yang terpenting dari segi ekonomi bagi masyarakat perdesaan di Jawa,[3][7] dan juga di Indonesia.[10] Bambu ini disukai untuk membuat berbagai keranjang dan barang anyaman rumah tangga, alat masak-memasak, alat penangkap ikan, furnitur, alat musik, tali temali, dan lain-lain.[9][10] Karena kegunaannya ini, bambu tali telah dicoba diperkebunkan di Besuki semenjak tahun 1920-an.[12] Bambu ini juga dimanfaatkan sebagai bahan ramuan rumah: tiang, dinding, lantai, langit-langit, atap;[9] serta untuk konstruksi pelbagai bangunan lain termasuk jembatan.[10] Berat jenis bambu tali berkisar antara 0,50-0,67.[13] Bilah bambu yang diambil dari buluh berusia 3 tahun yang dikeringkan di udara (kadar air 15,1%) memiliki sifat-sifat mekanis, berturut-turut untuk bilah dengan buku dan tanpa buku, sbb.: keteguhan patah 87,5 N/mm² dan 74,9 N/mm²; keteguhan tekan sejajar arah serat 37,5 N/mm² dan 33,9 N/mm²; keteguhan geser 7,47 N/mm² dan 7,65 N/mm²; serta keteguhan tarik sebesar 299 N/mm².[10] Bambu tali telah dimanfaatkan sebagai bahan papan serat.[9] Kandungan pati pada buluh berfluktuasi antara 0,24-0,71%, bergantung pada musim.[10] Untuk mengurangi kadar pati dan meningkatkan keawetan bambu sebagai bahan bangunan, buluh-buluh ini direndam selama sekurang-kurangnya 30 hari dalam air yang menggenang atau yang mengalir lambat (misalnya di sawah). Sebelumnya, buluh harus dikeringkan lebih dulu dengan cara ditegakkan dan diangin-anginkan di bawah naungan, sampai menjadi kuning dan benar-benar kering.[7] Rebungnya pahit rasanya dan umumnya tidak dimakan. Sebagian orang merendamnya lebih dulu selama 3-4 hari dalam air atau dalam lumpur, sebelum dimasak.[7][10] Bambu tali tercantum dalam lontar usada, yakni kitab pengobatan kuno dari Bali. Disebutkan dalam lembar-lembar lontar tersebut, akar dan buluh bambu apus dapat digunakan untuk mengobati kencing manis dan meremajakan kulit.[14] Uji laboratorium mendapatkan bahwa ekstrak akar dan buluh bambu tali mengandung asam-asam lemak, baik asam lemak jenuh seperti asam palmitat, asam stearat dan lain-lain, maupun asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, serta pelbagai senyawa lainnya (kurkumena, limonena, toluena, dll.)[15] Sementara itu ekstrak daun bambu tali diketahui memiliki sifat menghambat aktivitas bakteria Escherichia coli penyebab diare.[16] Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Gigantochloa apus.
|