Alexandra Pavlovna dari Rusia
Adipatni Utama Alexandra Pavlovna dari Russia (bahasa Rusia: Александра Павловна: 9 Agustus 1783 – 16 Maret 1801) adalah seorang putri dari Rusia. Ia merupakan putri dari kaisar Pavel I dari Rusia dan saudari dari Aleksandr I dan Nicholas I. Alexandra menikah dengan Joseph dari Austria, Nádor untuk Hungaria. Pernikahannya adalah satu-satunya aliansi perkawinan Romanov-Habsburg hingga saat ini. Masa kecilAdipati Agung Alexandra Pavlovna lahir di Tsarskoye Selo sebagai anak ketiga dan putri sulung dari Tsesarevich Paul dan istri keduanya, Sophie Dorothea dari Württemberg, yang setelah menikah berganti nama menjadi Maria Feodorovna. Sayangnya, kelahiran Alexandra mengecewakan nenek dari pihak ayahnya, Yekaterina yang Agung. Dalam suratnya, Yekaterina menulis:
Sekretaris Permaisuri, Alexander Khrapovitsky, mencatat bahwa Yekaterina menganggap Alexandra yang baru lahir sangat jelek, terutama jika dibandingkan dengan kakak-kakaknya. Bahkan, ketika Alexandra dibandingkan dengan adik perempuannya, Elena, Yekaterina merasa Alexandra kalah cerdas dan menawan. Yekaterina pernah mengatakan bahwa Elena yang baru enam bulan jauh lebih pintar dan memikat dibandingkan Alexandra yang sudah berusia dua tahun. Namun, meski sempat kecewa, Yekaterina tetap memberikan hadiah berupa Istana Gatchina kepada putranya sebagai perayaan kelahiran Alexandra.[2] Lambat laun, pandangan Yekaterina terhadap cucunya mulai berubah. Pada 12 Maret 1787, Yekaterina menulis surat kepada Alexandra:
Di sisi lain, Alexandra sangat dekat dengan neneknya. Yekaterina mencatat:
PendidikanAlexandra mendapatkan pendidikan yang umum bagi putri-putri kerajaan Rusia. Ia diajari bahasa Prancis dan Jerman, serta seni musik dan menggambar. Alexandra sangat dekat dengan adik perempuannya, Elena, dan mereka sering digambarkan bersama dalam lukisan. Pola asuh Alexandra, begitu pula Elena, dipercayakan kepada Charlotte von Lieven, yang bertugas sebagai pengasuh mereka. Sebagai putri tertua, Alexandra dikenal sebagai murid yang sangat rajin. Pada tahun 1787, ibunya dengan bangga menulis tentang putrinya yang baru berusia empat tahun:
Alexandra juga memiliki minat besar pada menggambar. Ibunya menambahkan,
Selain itu, Alexandra berbakat dalam musik dan bernyanyi. Ibunya mengatakan bahwa kedua seni ini memperlihatkan kemampuan luar biasa dari dirinya. Pada tahun 1790, Catherine yang Agung menulis surat kepada Baron von Grimm, menggambarkan cucunya itu:
PertunanganPada tahun 1794, sang Permaisuri mulai memikirkan masa depan Alexandra Pavlovna. Saat itu, Alexandra baru berusia sebelas tahun, tapi menurut Yekaterina yang Agung, "di musim panas ini, seorang gadis harus dianggap dewasa." Dalam surat-suratnya, Yekaterina mengungkapkan ide untuk membawa "pangeran-pangeran tanpa tanah" ke Rusia. Para pangeran ini, setelah menikahi cucu-cucunya, akan mendapatkan posisi dan penghidupan di tanah baru mereka.[1]
Namun, takdir Alexandra ternyata berbeda. Pada tahun 1792, kabar datang ke istana Rusia tentang pembunuhan Raja Gustav III dari Swedia (sepupu pertama Yekaterina) dan naiknya putranya yang berusia 14 tahun, Gustav IV Adolf, ke takhta. Konon, Raja Gustav III ingin membentuk aliansi dengan keluarga Kekaisaran Rusia melalui pernikahan putranya dengan salah satu cucu Yekaterina. Tapi menurut versi lain, ide pernikahan itu justru datang dari Yekaterina sendiri, bahkan menjadi salah satu syarat rahasia dalam Perjanjian Värälä. Ide ini juga didukung oleh Pangeran Karl, pamannya Gustav IV.[1] Pada Oktober 1793, ketika Alexander Pavlovich (kakak Alexandra) menikahi Putri Louise dari Baden, utusan Swedia, Count Stenbock, datang ke St. Petersburg. Ia membawa ucapan selamat dan memulai pembicaraan resmi tentang pernikahan. Alexandra mulai belajar bahasa Swedia dan mempersiapkan diri untuk memikirkan calon suaminya.[1] Negosiasi berlangsung naik turun. Pada Januari 1794, Yekaterina menulis surat kepada Pangeran Karl:
Namun, ada dua masalah besar yang membuat kesepakatan sulit tercapai: agama ratu masa depan dan nasib Count Gustaf Mauritz Armfelt, seorang konspirator yang melarikan diri ke Rusia. Untuk membalas dendam, Karl mulai merencanakan pernikahan antara Gustav IV dengan Duchess Louise Charlotte dari Mecklenburg-Schwerin. Sambil berpura-pura tidak peduli, Yekaterina menulis pada April 1795:
Namun, pada 1 November 1795, istana Swedia justru mengumumkan pertunangan resmi antara Gustav IV dan Louise Charlotte. Yekaterina marah besar. Ia menolak menerima utusan Swedia yang membawa berita itu dan bahkan mengirim Count Alexander Suvorov ke perbatasan Swedia untuk "meninjau benteng." Alexandra yang patah hati mengurung diri di kamarnya.Pada April 1796, Gustav IV akhirnya setuju untuk melanjutkan pembicaraan dengan Yekaterina. Dia datang ke St. Petersburg secara diam-diam untuk bertemu Alexandra. Dalam pesta-pesta mewah yang diadakan untuk menghormatinya, Gustav dan Alexandra jatuh cinta pada pandangan pertama.
Pada 25 Agustus 1796, Gustav IV meminta izin Yekaterina untuk menikahi Alexandra. Namun, di hari pertunangan resmi yang dijadwalkan pada 11 September, Gustav tiba-tiba membatalkan perjanjian. Ia menolak mencantumkan kebebasan agama Alexandra dalam kontrak pernikahan. Alexandra, yang sudah mengenakan gaun pengantin, menangis dan kembali mengurung diri di kamarnya. Yekaterina sangat marah hingga mengalami serangan apopleksi ringan. Negosiasi pernikahan akhirnya benar-benar gagal. Beberapa bulan kemudian, Gustav IV menikahi Putri Frederica dari Baden, yang tak lain adalah adik ipar Alexandra. Keluarga Kekaisaran Rusia merasa dikhianati. Ibu Alexandra, Maria Feodorovna, menyalahkan menantu perempuannya karena mendukung pernikahan adiknya dan juga menyalahkan suaminya, Pavel I, karena membiarkan hal ini terjadi. Pernikahan impian Alexandra pun kandas, meninggalkan luka mendalam di hati sang Grand Duchess.[1] PernikahanPada tahun 1799, tiga tahun setelah pertunangannya dengan Raja Swedia gagal, muncul rencana pernikahan baru untuk Alexandra. Sebelumnya, pada tahun 1798, dua paman dari pihak ibunya, Adipati Ferdinand Augustus dan Alexander Frederick dari Württemberg, tiba di St. Petersburg untuk bergabung dengan Angkatan Darat Kekaisaran Rusia. Mereka membawa pesan bahwa Austria ingin bergabung dengan Rusia dalam koalisi melawan kekuatan Republik Prancis dan Napoleon I yang terus meningkat. Untuk memperkuat aliansi ini, diputuskan bahwa Alexandra akan menikah dengan Adipati Agung Joseph dari Austria, Nador Hungaria sekaligus adik dari Kaisar Romawi Suci Franz II.[3] Adipati Agung Joseph sendiri datang ke Rusia untuk bertemu calon istrinya. Pertemuan mereka berjalan dengan baik dan berhasil. Pada pertengahan Februari 1799, pesta pertunangan mereka digelar. Tak lama kemudian, kontrak pernikahan ditandatangani, dengan syarat Alexandra diizinkan tetap memeluk agama Ortodoks Rusia. Pada bulan Oktober, Count Fyodor Rostopchin menulis:
Pada 25 September 1799, sebuah dekret diterbitkan mengenai gelar kerajaan Alexandra. Di Rusia, dia disebut sebagai "Yang Mulia Kekaisaran Adipatni Agung, Archduchess dari Austria" dengan tambahan gelar Prancis "Palatine d'Hongrie." Pernikahannya berlangsung pada 30 Oktober 1799 di Istana Gatchina, hanya seminggu setelah pernikahan adiknya, Elena. Untuk merayakan kedua acara tersebut, penyair Gavrila Derzhavin menulis ode berjudul Pesta Pernikahan 1799.[2] Pada 21 November, Alexandra berangkat ke Austria. Countess Varvara Golovina mengenang bahwa Alexandra tampak sedih meninggalkan Rusia, sementara ayahnya, Kaisar Paul I, terus-menerus berkata bahwa dia "tidak akan melihatnya lagi setelah pengorbanan ini." Menurut pengakuan pastor Alexandra, Andrei Samborski, Alexandra mendapat sambutan dingin di Wina. Namun, ada sumber lain yang menceritakan kisah berbeda. Ratu Maria Carolina dari Napoli (ibu mertua Kaisar) dan putrinya tiba di Wina pada Agustus 1800 untuk tinggal dalam waktu lama. Putri Maria Amalia menulis dalam jurnalnya bahwa pada 15 Agustus, sang Ratu dan putri-putrinya diperkenalkan kepada Alexandra, yang dia gambarkan sebagai "sangat cantik." Maria Amalia bahkan menjadi teman Alexandra selama waktu itu.[4] Dalam jurnalnya, dia menulis bahwa Alexandra dan suaminya memiliki hubungan baik dengan keluarga kekaisaran lainnya serta menghadiri pertemuan keluarga, pesta, dan bal di Wina—sebuah cerita yang bertolak belakang dengan versi Samborski.[5] Misalnya, pada Januari 1801, Maria Amalia mencatat bahwa keluarga kekaisaran sering menghadiri pesta dansa di kediaman Archduke Joseph di Wina, di mana dia menggambarkan "Alexandra yang cantik, selalu serius dan murung, tapi memiliki rumah tangga yang megah."[6] Saat diperkenalkan kepada Kaisar Franz II, Alexandra mengingatkannya pada istri pertamanya, Elisabeth dari Württemberg, yang merupakan bibi Alexandra dari pihak ibu. Hal ini memicu kecemburuan Permaisuri Maria Theresa, istri kedua Francis II, yang juga iri pada kecantikan Alexandra serta perhiasannya yang mewah. Pastor kekaisaran, Andrei Samborski, menulis:
Suatu ketika, Alexandra datang ke sebuah pesta dansa dengan gaun yang sangat indah dan perhiasan yang memukau. Penampilannya yang mempesona membuat Permaisuri merasa tersaingi. Dengan marah, Permaisuri memerintahkannya untuk melepas semua perhiasannya dan melarangnya memakainya lagi. Alexandra mematuhi perintah itu. Ketika menghadiri pertunjukan teater beberapa waktu kemudian, ia hanya menghiasi rambutnya dengan bunga. Namun, justru bunga-bunga itu semakin menonjolkan kecantikannya. Penonton terpukau, memberi tepuk tangan meriah, bahkan berdiri untuk menghormatinya. Hal ini membuat Maria Theresa semakin geram.[1] Archduke Joseph, suaminya, tidak mampu melindunginya dari serangan-serangan semacam itu. Selain itu, keyakinannya sebagai penganut Ortodoks Timur juga memicu permusuhan di lingkungan istana Austria yang beragama Katolik Roma. Alexandra bahkan didesak untuk berpindah agama, meski ia tetap bertahan pada keyakinannya. Namun, di mata rakyat Hungaria, Alexandra sangat disukai, baik oleh kaum bangsawan maupun rakyat biasa. Menurut legenda, Alexandra lah yang menyarankan warna hijau sebagai warna ketiga bendera Hungaria. Saat itu, bangsa Hungaria sudah lama menggunakan warna merah dan putih sebagai warna nasional mereka. Namun, di akhir abad ke-18, muncul usulan untuk menambahkan warna ketiga agar bendera mereka mirip dengan gaya tricolor Prancis. Alexandra mengusulkan warna hijau sebagai simbol harapan. Pada pertengahan abad ke-19, bendera tricolor merah-putih-hijau Hungaria mulai digunakan secara luas.[7] KematianKarena tanggung jawabnya sebagai Palatin, setelah tinggal sebentar di istana kekaisaran, Archduke Joseph dan istrinya, Alexandra, pindah ke Hungaria dan menetap di Istana Alcsút. Namun, mereka tetap sering kembali ke Wina untuk menghabiskan waktu bersama keluarga kekaisaran. Pada 7 Mei 1800, komposer terkenal Ludwig van Beethoven tampil di hadapan Archduke Joseph dan Alexandra di Istana Buda. Pertunjukan ini adalah bagian dari perayaan selama seminggu yang diorganisir oleh Archduke untuk menghormati istrinya yang cantik. Tidak lama setelah itu, Alexandra hamil anak pertamanya. Namun, kehamilan ini tidak mudah baginya. Ia sering tersiksa oleh mual yang datang berkali-kali. Dokter yang merawatnya, yang dipilih atas perintah Permaisuri Maria Theresa, lebih mahir dalam urusan intrik politik daripada pengobatan, ditambah lagi sifatnya yang kasar. Di sisi lain, masakan yang disiapkan oleh koki istana sering kali tidak bisa dimakan oleh Alexandra. Persalinannya berlangsung lama dan menyakitkan, membuat Alexandra sangat menderita. Pengakuan rohaniwan istana, Andrew Samborski, menggambarkan kondisi itu dengan jelas:
Seorang putri, Archduchess Alexandrine dari Austria, lahir pada 8 Maret 1801, tetapi meninggal dunia beberapa jam kemudian. Nama bayi itu diambil dari nama ibunya. Saat mendengar kabar tentang kematian putrinya, Alexandra Pavlovna hanya berkata:
Delapan hari setelah melahirkan, Alexandra diizinkan untuk bangun dari tempat tidurnya. Namun, pada malam harinya, ia terkena demam nifas yang akhirnya merenggut nyawanya pada 16 Maret 1801. Saat itu, usianya baru 17 tahun. Sejarawan Hungaria, Sándor Domanovszky, menceritakan kejadian itu dengan detail:
Kematian Alexandra terjadi seminggu sebelum ayahnya dibunuh pada 23 Maret 1801. Kabar tentang kepergiannya baru sampai ke ibunya dan saudara-saudaranya di Rusia di akhir bulan. Kedua peristiwa itu menjadi pukulan berat bagi keluarga Romanov, membuat duka mereka semakin dalam. Surat-surat Alexandra kepada kakeknya Friedrich Eugen, bersama dengan surat-surat dari saudara-saudaranya, ditulis antara tahun 1795 dan 1797 disimpan di Arsip Negara Stuttgart (Hauptstaatsarchiv Stuttgart) di Stuttgart, Jerman.[9] Surat Alexandra kepada saudara iparnya Maria Theresia dari Napoli dan Sisilia disimpan di Haus-, Hofound- und Staatsarchiv di Wina, Austria.[10] Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Alexandra Pavlovna of Russia.
|