Ahmad Nazaruddin
Ahmad Nazaruddin (Jawi:احمد نظرالدين meninggal tahun 1881) juga dikenal sebagai Panembahan Prabu,[1] adalah Sultan Jambi ke-21 dan memerintah tahun 1858 hingga 1881.[2] Ia adalah paman Sultan Thaha Saifuddin.[1] Di bawah pemerintahan Sultan Thaha, Ia menjabat sebagai Pangeran Ratu (ڤڠيرن راتو) Jambi.[3] Pemerintahan (1858-1881)Janji temuPada tanggal 2 November 1858,[4] Panembahan Prabu diangkat menjadi Sultan Ahmad Nazarudin,[5] setelah hancurnya istana kerajaan.[6] Sesuai permintaan Hindia Belanda, ia membuat dan menandatangani perjanjian baru pada hari pengangkatan Sultan. Seperti yang diminta oleh Belanda, ia membuat dan menandatangani perjanjian baru pada hari pengangkatannya. Piagam gubernur Batavia Belanda yang memuat ketentuan perjanjian tersebut memperkuat surat perjanjian baru ini.[1] Banyak publikasi Belanda menyatakan bahwa Sultan Jambi hidup dalam keadaan "miskin". Mereka mendapatkan biaya hidup minimum melalui upeti di wilayah kekuasaan masing-masing. Yang mereka miliki hanyalah rumah panggung sebagai istana. Ukurannya agak lebih besar dari rumah rakyat pada umumnya. Dusun Tengah, Tembesi, merupakan rumah bagi salah satu istana.[2] Perebutan kekuasaanSetelah Sultan Thaha Syaifuddin digantikan oleh Sultan Ahmad Nazaruddin oleh Belanda pada tahun 1858, federasi-federasi dataran tinggi Jambi menolak untuk ikut serta dalam pertukaran politik.[5] Hal ini menyebabkan terjadinya perselisihan mengenai kewenangan kesultanan di negara tersebut.[1] Jambi pecah menjadi dua kerajaan: Kabupaten Jambi Ilir dengan Sultan Ahmad Nazaruddin dan Kabupaten Jambi Ulu dengan Sultan Thaha Saifuddin. Hal ini terutama disebabkan karena ia tidak ingin mengakui kewenangan pemerintah setelah ia dinobatkan.[6][7] Seperti pendahulunya, Sultan Thaha Saifuddin mempunyai simbol-simbol kebesaran dan perkakas upacara kerajaan seperti keris siginjai yang merupakan lambang kerajaan Jambi, masyarakat Jambi mempunyai sikap yang sangat solid terhadap beliau dan akan mendukung beliau dalam peperangannya.[1] KematianSultan Ahmad Nazaruddin menulis surat kepada Sultan Thaha Syaifuddin pada tahun 1866 memohon pengampunannya. Meski surat itu telah dikirimkan kepada warga Palembang, namun tidak pernah dipublikasikan. Setelah ia wafat pada tahun 1880, Sultan Muhilluddin mengambil alih jabatan sultan.[8][9] Referensi
Tautan eksternalMedia tentang Sultan Achmad Nazaruddin di Wikimedia Commons
|