Abdussamad Al-Banjari (Datu Sanggul)
Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abu Bakar bin Abd Rasyid, lahir di Martapura Kalimantan Selatan tahun 1122 H (17 Maret 1710-1812 M). Al-Banjari kemudian hidup se zaman dengan Muh Navis al-Banjari yang merupakan seorang ulama Sufi terkenal penulis kitab tasawuf Durr al-Navis (1200H). Al-Banjari lahir dalam keluarga yang taat beragama dan waktu kecil dia diasuh dan dibesarkan oleh Sultan Tahmidullah yang merupakan Raja ke XV di Kerajaan Banjar tahun (1700 -1745 M). Al-Banjari kemudian belajar ke Haramayn selama 32 tahun. Pengirimannya tersebut membuat Raja berharap kelak akan menjadi ulama di istana kerajaan Banjar untuk membenahi keagamaan di kerajaan Banjar. Al-Banjari merupakan penulis kitab Fiqih Madhdhhab Shafi‘iyah bernama Sabil alMuhtadin. Karya Al-Banjari tersebut dicetak di beberapa negara dan tersebar di berbagai penjuru dunia Melayu. Dari klaryanya tersebut ia dikenal sebagai ulama Fiqih Mazhab Shafi‘iyah.[1] PendidikanSelama 32 tahun belajar di Haramayn, Al-Banjari kemudian bergabung dengan para pelajar Melayu yang dikenal dengan kelompok Jawiyyin. Dari sinilah beliau belajar berbagai macam ilmu, di antara yaitu ilmu tauhid, tasawuf, ilmu hadith, ilmu tafsir, ilmu pendidikan, bahasa Arab dan ilmu falak. Sehingga sepulang dari Haramayn, al-Banjari banyak menguasai berbagai bidang ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Al-Banjari menghasilkan banyak karya dan beberapa pendapat meyakini ada 17 karya yang dihasilkan. Karya Al-Banjari di bidang tasawuf dapat dilihat dari karyanya bernama Risalah Fath, karya ini berupa terjemahan bahasa Jawi Melayu dari kitab bernama Fath, karya Zakariyya al-Ansari seorang ulama Mesir (w.1520 M). Kitab tersebut juga disyarh dan diberi beberapa catatan penting dalam sharahannya. Isi Risalah tersebut menjelaskan mengenai tauhid yang h}aqiqi dan ajaran tasawuf. Selain itu al-Banjari juga menulis Kanz al-Ma‘rifah, karya kecil berbahasa Jawi Melayu ini mengandung ikhtisar dari kitab Fath al-Rah } man } n karya Zakariyya al-Ansari. Isi Kanzul Ma‘rifah bertema tentang ungkapan para Sufi yang menyatakan: Man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah. Dari kedua karya inilah pemikiran tasawuf al-Banjari didapatkan.[2] Di Madinah al-Banjari belajar bidang tasawuf dan tarikat kepada guru bernama Shaykh ’Abd al-Karim al-Samma n al-Madani dari Madinah (1132 H/ 1718 M). Di bidang ilmu tauhid, al-Banjari belajar kepada Shaykh Abd al-Rahman al Mubin alFattani (ulama Asia Tenggara yang menetap di Haramayn). Kemudian kepada Shaykh Muhammad Murtaji bin Muhammad al-Zubaidi dengan Kitab Tawhid fi Haqq Alla h ‘ala al-‘A bid. Guru Tauhid dan tasawuf itu ternyata juga menguasai bidang fiqih. Penguasaan kedua bidang ini ternyata juga menjadi karakteristik guru-guru Shaykh Samman seperti antara lain Ali al-Kurdi, Abd Wahhab al-Uantawi (di Makkah), dan Said Hilal al-Makki. Dari kelompok Jawiyyi n selain al-Banjari murid-murid shaykh ‘Abd al-Karim al-Samman adalah Abd al-Samad al Palimbani, Abd Wahab al-Mis}ri, Abd al-Rah}man al-Fat}ani, Tuan Haji Ahmad dan Muhyi al-Din bin Shihab al-Din. Dari sekian banyak murid al-Madani dari kelompok Jawiyyin dan dari berbagai negeri hanya al-Banjari dan Abd al-Samad al-Palembangi yang memperolehi ijazah dan bergelar khalifah (maknanya dapat mengajar Ilmu Tarekat dan Tasawuf).[3] Di bidang hukum shari‘ah ia belajar kepada Shaykh Sulayman Kurdi al-Shafi‘i (1713 -1780) Shaykh al-Islam dari Mesir yang pakar dalam fiqih Shafi‘i yah. Al-Banjari memilih belajar mazhab Shaf‘i yah di bawah bimbingan Shaykh Ibn Ata} ’ Allah al-Mis }ri dan Sulayman al-Kurdi al-Shafi‘i . Kemudian ia berguru kepada Murtada al-Zubaydi, dan At}a’ Allah al-Mis}ri. Karena kecerdasannya maka Shaykh Sulayman al-Kurdi mengangkat al-Banjari menjadi maha guru atau Shaykh al-Islam. Artinya ia dapat mengajar dan memberi fatwa dalam bidang hukum Shafi‘iyah di Masjid al-Karim. Ini adalah penghormatan luar biasa bagi ulama Nusantara yang belajar di Haramayn. Hal serupa juga dialami oleh Shaykh Yusuf al-Makasari (w.1669 M) yang pernah diangkat menjadi Shaykh dan mengajar di Makkah. Shaykh M. Arsyad al-Banjari (w. 1810 M) adalah ulama Nusantara yang berada di Haramayn pada abad ke 18. Ia datang ke Haramayn sesudah periode ulama Nusantara abad ke 17 seperti, Nuruddin al-Raniri (w. 1658), Abdu Rauf al-Sinkel (w. 1693), dan Yusuf Makasari (w 1699). Mereka itu ulama Indonesia yang disebut al-Jawiyyin yang menjadi murid langsung Ibrahim al-Kurrani (1691 M) dan Qushassi (w.465 H/1073 M), tokoh ulama di Haramayn yang mempersatukan tasawuf dan shari‘ah. Di Makkah al-Banjari belajar kepada berbagai guru dan shaykh, dan dari guru-guru tersebut al-Banjari mengenal kitab-kitab yang harus dipelajari bagi seorang ulama.[4] Menyebarkan islamMeski Islam dinyatakan sudah masuk ke wilayah Banjar sejak abad ke-16, namun Islamisasi yang intensif baru dimulai di abad ke-18 dengan tokoh sentralnya Muhammad Arsyad al-Banjari (1712-1810 M), tepatnya setelah beliau pulang dari Mekkah, tempat beliau menuntut ilmu agama selama lebih dari 30 tahun. Selain menjabat sebagai penasihat sultan, Arsyad al-Banjari juga mengajarkan agama Islam di masyarakat, baik secara lisan ataupun tulisan. Walaupun karya-karya beliau yang dapat ditemukan semisal Tuhfah al-Raghibîn dan Sabîl al-Muhtadîn lebih menyorot pada bidang akidah dan syari’ah, bukan berarti beliau awam dengan tasawuf. Beliau adalah teman seperguruan Abd alShamad al-Palimbani, pengarang kitab tasawuf berbahasa Melayu, Hidâyat alSâlikîn dan Saîr al-Sâlikîn, serta murid dari pendiri Tarekat Sammaniyah, Muhammad Samman al-Madani (1719-1775). Tentunya keilmuan beliau di bidang tasawuf tidak perlu diragukan, walaupun pada faktanya, beliau lebih suka mengajarkan masalah akidah dan syari’ah karena beliau berdakwah untuk masyarakat awam yang baru mempelajari Islam.[5] Catatan sejarah Islam di Kalimantan Selatan merekam berbagai figur tokoh agama (ulama) yang juga merupakan pengamal ajaran tasawuf, baik yang lurus maupun yang kontroversial. Tokoh lurus misalnya Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai figur awal Islam Banjar, di samping ahli fikih juga dikenal sebagai tokoh sufi dan murid dari pendiri tarekat Samaniyyah. Keturunan beliau, K.H. Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul), tokoh ulama karismatik abad ke-20 juga pengikut tarekat Sammaniyah. Sementara figur kontroversial Banjar yang identik dengan Syek Siti Jennar dalam tradisi Islam Jawa adalah Datu Abulung yang dianggap mengajarkan tentang paham wahdatul wujud dan nûr muhammad.[6] Selain sebagai legenda masyarakat Banjar, dalam hal ini masyarakat yang berada di sekitar wilayah Martapura khususnya dan Kalimantan pada umumnya, menganggap bahwa cerita Syekh Muhammad Arsyad merupakan cerita nyata yang diwariskan sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakatnya. Hal ini karena legenda Syekh Muhammad Arsyad ada hubungannya dengan peristiwa sejarah, yaitu pembuatan Sungai Tuan yang berfungsi sebagai irigasi untuk daerah Kalampayan dan sekitarnya, peninggalan kitab-kitab yang masih tersimpan rapi seperti kitab Sabilal Muhtadin, Tuhfaturragibin, dan kitabun Nikah. Selain itu, sesuai dengan pendapat Danandjaja (2002) Legenda Syekh Muhammad Arsyad ini dianggap oleh masyarakat pemilik cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi (hlm. 66). Sebagaimana cerita Legenda para datu lainnya, legenda Datu Kabul juga mempunyai wujud berupa peninggalan, seperti kitab-kitab tulisan tangan Syekh Muhammad Arsyad alBanjari, keturunan Syekh Muhammad Arsyad yang melanjutkan dakwahnya tesebar di kawasan nusantara, mulai dari Indonesia, Brunai Darussalam, Malaysia, Thailand dan Saudi Arabi. Dan makam Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang dikeramatkan dan dikunjungi ribuan penziarah setiap harinya di daerah Kalampayan Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar.[7] WafatAl-Banjari meninggal pada tanggal 6 Syawal 1227 H dan dimakamkan di desa Pelampaian terletak di daerah Kalimantan Selatan. Sampai saat kini tahun wafatnya diperingati besar-besaran yang dihadiri oleh masyarakat di Kalimantan Selatan. Dari hal tersebut dapat menunjukkan bahwa betapa berpengaruh dan kecintaan masyarakat terhadap tokoh al-Banjari.[8] Referensi
|