Zico
Arthur Antunes Coimbra (pengucapan bahasa Portugis: [aʁˈtuʁ ɐ̃ˈtũnis koˈĩbɾɐ], lahir 3 Maret 1953 di Rio de Janeiro), lebih dikenal sebagai Zico ([ˈziku]), adalah pelatih serta mantan pemain sepak bola berkebangsaan Brasil yang bermain sebagai gelandang serang. Sering disebut "Pelé Putih",[2] Zico adalah seorang playmaker kreatif, dengan keterampilan teknis yang sangat baik, visi, serta pandangan yang baik, ia dianggap sebagai salah satu finisher paling klinis dan pengumpan terbaik yang pernah ada, serta dianggap sebagai salah satu pemain terhebat sepanjang masa.[3][4][5][6] Sebagai salah satu pemain terbaik dunia pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, ia dianggap sebagai salah satu playmaker terbaik dan spesialis tendangan bebas dalam sejarah, ia mampu menekuk bola ke segala arah.[7] Seperti yang disebutkan di goal.com, Zico adalah pemain yang paling banyak mencetak gol dari tendangan bebas langsung, dengan 101 gol.[8] Pada tahun 1999, Zico menempati peringakt kedelapan di FIFA Player of the Century grand juri voting, dan pada tahun 2004 ia disebutkan dalam daftar FIFA 100.[9][10] Seperti yang dinyatakan oleh Pelé sendiri, ia dianggap sebagai salah satu pemain terhebat sepanjang masa, "selama bertahun-tahun, satu-satunya pemain yang paling dekat dengan saya adalah Zico".[11] Dengan 48 gol dari 71 penampilan resmi untuk Brasil, Zico adalah pencetak gol terbanyak kelima untuk tim nasional Brasil.[12] Dia mewakili Brasil di Piala Dunia 1978, 1982 dan 1986. Namun sayang sekali, mereka tidak dapat memenangkan turnamen tersebut, meskipun skuad tahun 1982 dianggap sebagai salah satu tim nasional Brasil terhebat yang pernah ada.[13] Zico sering dianggap sebagai salah satu pemain terbaik dalam sejarah sepak bola yang tidak pernah masuk dalam skuad pemenang Piala Dunia. Dia terpilih sebagai Pemain Terbaik pada tahun 1981 dan 1983.[14] Zico telah melatih tim nasional Jepang, dan tampil di Piala Dunia FIFA 2006 serta memenangkan Piala Asia 2004, selanjutnya ia menjadi pelatih di Fenerbahçe, di bawah komandonya mereka mampu lolos hingga perempat final Liga Champions pada musim 2007–08. Setelah itu, Zico diumumkan sebagai pelatih kepala CSKA Moskow pada Januari 2009. Pada 16 September 2009, Zico menandatangani kontrak dengan klub Yunani Olympiacos untuk kontrak dua tahun setelah pelatih klub sebelumnya, Temuri Ketsbaia dipecat. Dia dipecat empat bulan kemudian, pada 19 Januari 2010.[15] Pada 29 Agustus 2011, Zico ditunjuk sebagai pelatih Irak untuk memimpin tim nasional Irak dalam kualifikasi Piala Dunia FIFA 2014. Lalu ia mengundurkan diri pada 29 November 2012.[16] Saat ini Zico bekerja sebagai direktur teknis di Kashima Antlers. Kehidupan awalLahir pada tahun 1953, Zico berasal dari keluarga kalangan menengah kebawah asal Portugis, di lingkungan Quintino Bocaiúva, Rio de Janeiro. Sama dengan banyak anak muda Brasil lainya, ia menghabiskan sebagian besar masa mudanya untuk bermimpi menjadi pesepakbola profesional hingga ia bolos sekolah untuk dapat bermain sepak bola di jalanan. Kecintaannya pada olahraga tersebut membuatnya terkenal di lingkungan itu, di mana orang-orang akan berkumpul untuk melihat penampilan brilian bocah itu melawan anak-anak dan remaja yang lebih besar darinya. Saat itu ia bermain untuk Juventude, tim futsal jalanan lokal yang dijalankan oleh kakak beserta teman-temannya, dan juga ia mulai bermain untuk klub futsal River Futebol Clube pada hari Minggu. Nama panggilannya berasal dari keluarga Zico sendiri, pada awalnya ia dipanggil Arthurzinho, yang berarti "Arthur Kecil". Arthurzinho kemudian menjadi Arthurzico, lalu Tuzico dan akhirnya menjadi Zico, versi yang dibuat oleh sepupunya sendiri yaitu Ermelinda "Linda" Rolim.[17] Pada tahun 1967, pada usia 14 tahun, ia menjalani uji coba terjadwal di klub América, di mana saudara-saudaranya Antunes[18] dan Edu adalah pemain profesional di klub tersebut. Namun pada hari Minggu, saat bertanding bersama River, Zico mencetak 9 gol dan menarik perhatian reporter radio Celso Garcia, yang kemudian meminta ayah Zico untuk membawanya ke percobaan di Flamengo. Karena ia merupakan penggemar Flamengo, Zico mendapat persetujuan ayahnya, ia memulai jalannya untuk menjadi salah satu pemain yang paling dikagumi dalam sejarah olahraga. Karir mudaZico merupakan anak yang memiliki fisik yang tidak kuat, namun kisah tekad dan kedisiplinanya dimulai dengan program pengembangan otot dan tubuh yang dilakukan oleh guru pendidikan jasmaninya yang bernama José Roberto Francalacci. Kombinasi dari kerja keras dan juga diet khusus yang disponsori oleh timnya memungkinkan Zico untuk dapat mengembangkan tubuh yang kuat dan menjadi seorang atlet. Hal ini kemudian terbukti penting untuk kesuksesannya.[19] Selama tahun 1971 dan 1972, ia beralih dari tim muda ke tim profesional dan kembali lagi ke tim muda lagi. Saat itu, pelatih Fleitas Solich percaya diri dengan kemampuan Zico dan mempromosikannya ke tim senior, tetapi situasi berubah ketika pelatih berkebangsaan Paraguay itu pergi dan Zagallo mengambil alih posisi kepelatihan. Dia berkata bahwa Zico terlalu muda dan ia mengirimkanya kembali ke tim junior. Segalanya mulai membaik untuk Zico ketika Joubert, pelatih pertamanya di tim muda, ditunjuk sebagai pelatih baru untuk tim senior dan ia sepenuhnya mempromosikan Zico setelah 116 pertandingan dan 81 gol di tim junior. Karir klubFlamengo (1971-1983)Saat di Flamengo, Zico adalah pemain kunci selama periode paling gemilang dalam sejarah tim tersebut. Dalam periode pertamanya di Flamengo ia mampu memimpin tim tersebut meraih gelar di Copa Libertadores 1981, Piala Interkontinental 1981, dan empat gelar nasional (1980, 1982, 1983, dan 1987). Di dalam lapangan, Zico mampu membuat gol dengan segala cara yang bisa dibayangkan, dan ia juga merupakan asisten dan pengatur tim yang hebat, selain itu, Zico juga dikenal karena visinya yang luar biasa di lapangan. Dia adalah pemain yang ahli menggunakan dua kaki dan ahli dalam tendangan bebas.[13] Udinese (1983-1985)Setelah menerima tawaran dari A.S. Roma dan A.C. Milan, kepindahanya ke Italia sepertinya akan benar terjadi dan proposal senilai empat juta dolar dari Udinese telah ada di meja. Jumlah uang sebesar itu membuat klub-klub besar menekan FIGC (Federasi Sepak Bola Italia) untuk memblokir transfer tersebut dengan mengharapkan jaminan finansial. Hal ini menyebabkan keributan di Udine dan sebagian orang di Friuli marah hingga berbondong-bondong ke jalan-jalan memprotes federasi Italia dan pemerintah federal. Alasan sejarah membuat mereka berteriak "O Zico, o Austria!" ("Baik Zico atau Austria"). Di akhir kontroversi ini, kesepakatan berhasil dicapai meskipun meninggalkan fans Flamengo dalam kesedihan, Zico membuat fans di Friulis akhirnya memimpikan hari yang lebih baik. Di Serie A musim 1983-84, yang merupakan musim pertamanya di Italia, kemitraannya dengan Franco Causio, ia berjanji untuk membawa Udinese ke tingkat yang lebih tinggi, serta mendapatkan rasa hormat dari raksasa seperti Juventus dan Roma. Tendangan bebasnya menimbulkan dampak sedemikian rupa sehingga program olahraga TV akan memperdebatkan cara untuk menghentikannya. Terlepas dari penampilannya yang luar biasa, tetapi di akhir musim, klub tersebut harus berakhir dengan kekecewaan bagi Udinese, meskipun mencetak hampir dua kali lebih banyak gol dari musim sebelumnya, Udinese hanya mengumpulkan 32 poin dan berada di urutan kesembilan di klasemen akhir, turun tiga peringkat dibandingkan dengan musim 1982-83. Zico mampu mencetak 19 gol,[20] satu gol lebih sedikit dari pencetak gol terbanyak musim itu yaitu Michel Platini, setelah ia memainkan 4 pertandingan lebih sedikit dari pesepakbola Prancis tersebut karena cedera. Namun Zico terpilih sebagai Pemain Terbaik Tahun 1983 oleh Majalah World Soccer. Musim berikutnya ia banyak absen karena cedera dan juga skorsing karena menyerang wasit secara terbuka. Dia juga sering mengeluh tentang kurangnya ambisi dewan untuk tidak merekrut pemain kompetitif, yang membuat tim terlalu bergantung padanya. Selanjutnya, pejabat pajak Italia mengajukan tuntutan terhadapnya karena penggelapan pajak. Meskipun tertekan, Zico tetap mampu menampilkan penampilan luar biasa saat melawan Napoli asuhan Diego Maradona, di pertandingan terakhirnya sebagai pemain Udinese, lalu ia kembali ke Brasil dan Flamengo, kepindahanya disponsori oleh sekelompok perusahaan. Ia menjadi favorit penggemar dengan gol-golnya yang spektakuler dan masih dipuja sampai sekarang oleh semua penggemar Udinese.[21] Kembali ke Flamengo (1985–1989)Hanya satu bulan setelah kembali ke Flamengo, ia mengalami cedera lutut parah setelah tekel keras dari bek Bangu, Marcio Nunes, yang akhirnya mengganggu karirnya selama beberapa bulan, bahkan mempengaruhi penampilannya di Piala Dunia FIFA 1986. Sembuh dari cedera, hal-hal mulai membaik untuk Zico, pada tahun 1987 ia memimpin Flamengo untuk meraih gelar Copa União.[22][23] Desember 1989 menandai penampilan resmi terakhir Zico untuk Flamengo dalam pertandingan Kejuaraan Nasional Brasil melawan klub rivalnya Fluminense. Zico mencetak gol pertama dan Flamengo memenangkan pertandingan 5-0.[24] Dua bulan kemudian, di Maracanã, ia memainkan pertandingan terakhirnya sebagai pemain Flamengo menghadapi tim Piala Dunia Masters yang terdiri dari Eric Gerets, Claudio Gentile, Franco Causio, Alberto Tarantini, Jorge Valdano, Mario Kempes, Paul Breitner, Karl-Heinz Rummenigge dan Paulo Roberto Falcão.[25] Dengan 731 pertandingan untuk Flamengo, Zico menjadi pemain dengan penampilan terbanyak ke-2 untuk klub. 508 golnya membuatnya menjadi pencetak gol terbanyak klub.[26] Pencapaian terbesar dalam sejarah Flamengo[27][28] mengilhami penyanyi Brasil Jorge Ben Jor untuk menulis lagu untuk menghormatinya yang berjudul Camisa 10 da Gávea yang berarti membantu menciptakan mistik klub nomor 10. Pensiun singkatZico mewakili Brasil di Piala Dunia Masters, ia mencetak gol di final edisi 1990 dan 1991. Setelah pemilihan presiden pertama Brasil dalam beberapa tahun, presiden baru Fernando Collor de Mello menunjuk Zico sebagai Menteri Olahraganya. Zico tinggal di tugas politik ini selama sekitar satu tahun dan kontribusi terpentingnya adalah undang-undang yang berhubungan dengan sisi bisnis tim olahraga. Kashima Antlers (1991–1994)Pada tahun 1991, Zico berhenti dari tugas politiknya ketika ia menerima tawaran untuk bergabung dengan klub Sumitomo Metals di Kashima, Prefektur Ibaraki, pada saat itu klub tersebut berada di kasta kedua liga di Jepang, untuk membantu klub tersebut mengamankan tempat di liga sepak bola profesional kasta pertama Jepang yang ditetapkan untuk resmi diluncurkan pada tahun 1993 yang bernama J1 League. Zico bermain untuk Sumitomo pada 1991–92, musim terakhir sebelum Liga Sepak Bola Jepang lama dibubarkan, dan ia menjadi pencetak gol terbanyak di divisi kedua tersebut. Ketika liga baru diluncurkan, dalam pertandingan pembukaan J.League dia mencetak hat-trick dalam kemenangan 5-0 atas Nagoya Grampus.[29] Klub di kota kecil tersebut lalu promosi ke liga teratas dan diganti namanya menjadi Kashima Antlers, klub tersebut tidak diharapkan untuk dapat bersaing dengan klub yang lebih kaya dan lebih glamor seperti Yokohama Marinos dan Verdy Kawasaki. Namun Zico bagaimanapun dapat membantu Antlers untuk memenangkan J.League Suntory Series dan menjadi runner-up di musim perdananya, memimpin klub tersebut untuk memperkuat tempatnya di antara klub-klub elit liga tersebut. Pada tanggal 15 Juni 1994, ia mencetak gol terakhir dalam karirnya dalam kemenangan 2-1 atas Júbilo Iwata.[30] Disiplin, bakat, dan profesionalismenya sangat cocok dengan budaya Jepang dan pengaruhnya membuatnya mendapat julukan サッカーの神様 ([sakkā no kamisama] Error: {{nihongo}}: text has italic markup (help)) dari penggemar sepak bola Jepang.[31] Dia menjadi legenda lokal di Jepang karena telah membangun pesaing dari hampir nol dan menempatkan kota Kashima di peta persaingan. Sebuah patung untuk menghormatinya didirikan di luar Stadion Sepak Bola Kashima.[32] Karir InternasionalAda sebuah fase di hidunya yang berkaitan dengan tim nasional sepak bola Brasil yang hampir membuat Zico menyerah pada karirnya. Dia melakukan debut internasionalnya di Kualifikasi ke Olimpiade Musim Panas 1972 zona Amerika Selatan dengan memainkan 5 pertandingan dan mencetak gol saat melawan Argentina. Terlepas dari kenyataan ini, dia tidak dipanggil ke pertandingan Olimpiade di Munich. Dia merasa sangat frustrasi dan mengatakan kepada ayahnya bahwa dia ingin berhenti bermain sepak bola. Dia bahkan absen dari latihan di Flamengo selama 10 hari, kemudian diyakinkan sebaliknya oleh saudara-saudaranya. Dalam pertandingan pembuka babak grub Piala Dunia 1978 melawan Swedia, Zico mencetak gol melalui sundulan dari tendangan sudut ke gawang Swedia di menit akhir pertandingan, yang tampaknya mematahkan skor 1-1. Namun, wasit berkebangsaan Wales, Clive Thomas menganulir gol tersebut, ia mengatakan bahwa ia telah meniup peluit untuk mengakhiri pertandingan saat bola masih di udara.[2] Setelah itu, ia mencetak gol dari penalti dalam kemenangan 3-0 atas Peru. Zico akhirnya memenangkan medali perunggu untuk timnas Brasil di turnamen tersebut setelah mengalahkan Italia di perebutan tempat ke-3.[33] Zico juga memenangkan medali perunggu lainnya bersama Brasil di Copa América 1979. Pada Piala Dunia 1982 Zico tergabung kedalam bagian dari skuad tim nasional Brasil yang saat itu bisa dibilang fantastis, bersama dengan Falcão, Sócrates, Éder, Cerezo dan Júnior. Terlepas dari 4 golnya dan juga terlibat dalam delapan gol berturut-turut yang dicetak oleh Brasil, tim tersebut dikalahkan 3-2 oleh Paolo Rossi dan tim nasional Italia di pertandingan terakhir babak penyisihan grup babak kedua (perempat final untuk saat itu).[2] Dia bermain di Piala Dunia FIFA 1986 saat kondisinya saat itu masih cedera dan hanya tampil sebagai pemain pengganti pada babak kedua sepanjang turnamen tersebut berlangsung[2] dalam pertandingan perempat final melawan Prancis selama waktu normal, dia membantu Brasil untuk mendapatkan penalti, tetapi kemudian tendangan gagal.[34] Pertandingan berakhir seri yang kemudian berujung adu penalti untuk kedua tim. Zico kemudian mencetak golnya, tetapi penalti yang gagal oleh Sócrates dan Júlio César membuat Brasil tersingkir dari turnamen tersebut.[2] Setelah dibebaskan dari semua tuduhan penghindaran pajak oleh pejabat Italia pada tahun 1988,[35] Zico memutuskan untuk memberikan penghormatan kepada Udine, kota yang telah menyambutnya dengan gila-gilaan enam tahun sebelumnya, dan memainkan pertandingan perpisahannya untuk timnas brazil pada Maret 1989, namun kalah 1-2 melawan tim World All-Stars di Stadion Friuli. Gaya bermainClassic number 10, Zico biasanya bermain sebagai gelandang serang, meskipun ia juga mampu bermain di beberapa posisi penyerang ataupun lini tengah lainnya, ia mampu ditempatkan sebagai gelandang tengah, penyerang sayap ataupun penyerang tengah, sehingga ia dianggap sebagai salah satu pesepakbola terhebat sepanjang masa.[5][35][36][37] Seorang playmaker bertubuh kecil, dengan fisik yang kecil dan ramping, meskipun secara alami adalah seorang pengguna kaki kanan, namun ia dapat memaksimalkan kedua kakinya, yang dikenal karena bakat, kecepatan, teknik yang luar biasa, kontrol bola dan keterampilan menggiring bola, serta kemampuannya dalam menggunakan trik dan tipuan untuk mengalahkan lawan dengan bola.[3][4][13][36][38][39][40][41][42] Mantan pemain internasional Belanda, Ruud Gullit menilai Zico sebagai "salah satu dribbler terbaik dalam sejarah permainan", menggambarkannya sebagai seseorang yang "sangat gesit".[43] Meskipun secara fisik ia tidak mengesankan, namun Zico adalah seorang pemain yang cepat, lengkap, dan sangat kreatif, dengan visi yang sangat baik, dan dianggap sebagai salah satu pengumpan terbaik sepanjang masa dan dikenal dengan umpan tanpa melihat yang menjadi ciri khasnya.[4][36][38][39][40][44][45] Selain menjadi pencipta peluang gol yang elit, Zico juga seorang pencetak gol yang produktif dan seorang finisher yang sangat baik, karena kemampuan menyerangnya yang kuat dan akurat, yang membuatnya sangat klinis di depan gawang, karena itu ia juga dianggap oleh para pakar sebagai salah satu pencetak gol terbesar dalam sejarah permainan.[3][4][5][6][36][41] Dia juga seorang spesialis bola mati, yang terkenal karena kemampuannya membelokkan bola dan mencetak gol dari situasi bola mati dan dianggap sebagai salah satu pengambil tendangan bebas terbaik sepanjang masa.[3][5][7][13][36] Selain itu, karena teknik, mentalitas, ketidakpastian dan akurasinya dalam situasi bola mati, ia mampu menempatkan bola di sudut atas atau bawah di kedua sisi gawang, yang menyulitkan penjaga gawang untuk membaca tendangan bebasnya.[36][46][47] Kemampuannya dari situasi bola mati mampu menginspirasi beberapa spesialis lain, seperti Roberto Baggio dan Andrea Pirlo.[48][49] Selain keterampilan sepak bolanya, Zico juga dikenal karena kepemimpinan, kekuatan mental, tekad, stamina, dedikasi, serta etos kerjanya yang luar biasa.[2][38][46] Dia sering tinggal di area latihan untuk berlatih dan menyempurnakan tendangan bebasnya.[46] Sepanjang karirnya, Zico dijuluki O Galinho ("Si Ayam Kecil", dalam bahasa Portugis).[50] Meskipun kemampuannya menakjubkan, namun karirnya terganggu oleh cedera yang sering ia alami.[51] PensiunZico pensiun dari sepak bola profesional pada musim 1994 tetapi ia menerima undangan untuk bermain sepak bola pantai. Ia memenangkan Piala Dunia Sepak Bola Pantai 1995. Mencetak 12 gol, ia adalah pencetak gol terbanyak dan dinobatkan sebagai pemain terbaik pada turnamen tersebut. Ia kembali ke Kashima untuk menjadi penasihat teknis Kashima Antlers pada tahun 1995. Satu tahun kemudian, pada tahun 1996, ia mendirikan CFZ (Centro de Futebol Zico Sociedade Esportiva atau Zico Football Centre) di Rio de Janeiro. Zico juga mendirikan klub lain, bernama CFZ de Brasília pada tahun 1999. Karir kepelatihanJepangSetelah Piala Dunia FIFA 2002, Asosiasi Sepak Bola Jepang mencari pengganti Philippe Troussier, dan memilih Zico sebagai penggantinya. Terlepas dari kurangnya pengalaman melatih selain tugasnya sebagai koordinator teknis Brasil selama Piala Dunia 1998, Zico memiliki pemahaman yang baik tentang sepak bola Jepang dari hari-harinya bermain dan perannya sebagai direktur teknis Kashima Antlers. Selain itu, JFA sudah bosan dengan bentrokan Troussier dengan media sementara para pemain juga frustrasi dengan mikromanajemennya. Sebaliknya, Zico menuntut rasa hormat dari wartawan dan mendesak para pemain untuk mengekspresikan diri mereka di lapangan.[52] Meskipun Zico berusaha untuk menanamkan mentalitas menyerang ke timnya, namun ia memulai eranya dengan awal yang tidak begitu baik, termasuk kekalahan 4-1 dari Argentina pada tahun 2003. Jepang menampilkan permainan yang baik di Piala Konfederasi tahun itu kembali struggle lagi pada awal tahun 2004, mereka hanya mengalahkan Oman di tahap pertama kualifikasi Piala Dunia FIFA 2006 dan beberapa pemain diskors setelah insiden minum-minum.[53] Meskipun Jepang tidak kalah dalam sembilan pertandingan sebelumnya, namun ia dikabarkan akan mengundurkan diri dan sekelompok kecil penggemar berbaris di jalan-jalan Tokyo menuntut pemecatannya.[54] Dia akhirnya tetap bertahan dan memenangkan Piala Asia 2004 meskipun ada intimidasi dari fans Cina. Timnya hanya menampilkan satu pemain yang bermain di Eropa, yaitu Shunsuke Nakamura.[55] Dia kemudian membantu Jepang lolos ke Piala Dunia FIFA 2006 dengan hanya satu kekalahan. Meskipun menemui awal yang sulit, cedera pada pemain kunci dan bahkan tawaran aneh dari Garforth Town,[56] Zico tetap mampu memimpin Jepang ke penampilan final Piala Dunia ketiga dan gelar Piala Asia ketiga. Permainan timnya sangat dipengaruhi oleh gaya passing pendek ala Brasil dan cukup fleksibel untuk beralih antara formasi 4–4–2 dan 3-5-2. Selain itu, ia memiliki rekor baik di tanah Eropa, mereka mampu mengalahkan Republik Ceko dan Yunani serta mampu menahan imbang Inggris, Brasil, dan Jerman. Namun, Jepang gagal memenangkan satu pertandingan pun di piala dunia 2006, kalah dua kali (dari Australia dan Brasil) dan seri sekali (dari Kroasia), dan hanya mencetak dua gol sementara kebobolan tujuh. Zico akhirnya mengundurkan diri dari kursi kepelatihan timnas Jepang pada akhir Piala Dunia edisi tersebut. FenerbahçePada Juli 2006, Zico menandatangani kontrak dua tahun dengan Fenerbahçe.[57] Dia memenangkan gelar liga pada tahun 2007 dan memenangkan Piala Super Turki pada tahun pertama pekerjaannya di klub tersebut. Di bawah komandonya juga, Fenerbahçe mampu lolos dari fase grup Liga Champions 2007–08 untuk pertama kalinya dalam sejarah klub tersebut dan mengalahkan Sevilla FC untuk menjadi perempat finalis pada musim 2007–08. Sejauh ini, dia juga merupakan manajer tersukses di kancah Eropa dalam sejarah klub tersebut. Zico diberi julukan baru oleh penggemar Fenerbahe: Kral Arthur (berarti "Raja Arthur" dalam bahasa Turki). Sedangkan timnya mendapat julukan King Arthur and his Knights. Dalam obrolan yang dipandu oleh uefa.com dia mengatakan bahwa kecil kemungkinan dia akan menandatangani perpanjangan kontrak dengan Fenerbahçe. Hal ini dikonfirmasi pada 10 Juni 2008 ketika ia mengundurkan diri sebagai manajer Fenerbahçe. Pada 8 September 2008, Zico mengungkapkan bahwa dia tertarik untuk mengambil alih posisi manajer yang kosong di Newcastle United menyusul pengunduran diri Kevin Keegan. Dia pernah mengatakan "Pekerjaan di Newcastle adalah salah satu yang saya akan sangat tertarik untuk mengambilnya. Ini akan menjadi hak istimewa dan kehormatan, saya selalu ingin merasakan Liga Premier karena saya percaya saya bisa menikmati banyak keberhasilan di Inggris." Dia juga berkomentar bahwa dia tidak peduli dengan struktur dewan di Newcastle United, "Saya terbiasa bekerja bersama direktur teknis jadi ini bukan masalah bagi saya. Itu normal bagi saya untuk bekerja dalam kondisi seperti itu." Bunyodkor, CSKA Moskow dan OlympiakosPada tahun 2008, ia melatih FC Bunyodkor di Uzbekistan, disana ia mampu memenangkan Piala Uzbekistan dan Liga Uzbekistan. Dia kemudian mengambil alih kursi kepelatihan klub Rusia CSKA Moskow tetapi dipecat pada 10 September 2009. Kurang dari seminggu kemudian Zico menandatangani kontrak 2 tahun dengan Olympiacos F.C..[58][59] Meskipun tidak ada banyak pemain tim dari tim utama karena cedera, namun ia mampu memimpin klub Yunani itu nyaman di posisi ke-2 di Grup H Liga Champions dan mampu lolos ke babak gugur Liga Champions. Di Liga Super Yunani, hasil pertamanya juga mengesankan, tetapi kesuksesan itu hanya bertahan hingga awal musim dingin dan para penggemar mulai mengeluh tentang hasil dan gaya permainan tim. Pada 19 Januari 2010, setelah seri negatif dari 4 pertandingan dengan hanya satu kemenangan, meskipun timnya hanya kalah dua kali (dua belas kali menang dan empat kali seri) di Liga Super Yunani, namun Zico dipecat.[60] IrakDia menandatangani kontrak dengan Asosiasi Sepak Bola Irak pada 28 Agustus 2011 dan pertama kali menangani tim nasional dalam pertandingan melawan Yordania pada 2 September 2011. Zico kemudian mengundurkan diri sebagai pelatih tim nasional Irak pada 27 November 2012 setelah lebih dari satu tahun menjabat. Ia mengatakan asosiasi sepak bola negara itu telah gagal memenuhi persyaratan kontraknya. Dia meraih 10 kemenangan dan enam hasil imbang dalam 21 pertandingan menjadi pelatih timnas Irak. Al-GharafaPada 6 Agustus 2013, ia menandatangani kontrak dua tahun untuk menjadi pelatih tim Al-Gharafa.[61] FC GoaKlub Liga Super India FC Goa mengontrak Zico sebagai pelatih mereka untuk musim debut Liga Super India pada 2014.[62] Meskipun FC Goa mengawali musim dengan lambat, namun mereka akhirnya lolos ke semifinal namun dikalahkan oleh Atlético de Kolkata.[63] Pada tahun 2015 FC Goa memainkan musimnya dengan sangat baik dan mampu mencapai final, namun akhirnya Goa kalah 3-2 dari Chennaiyin FC. Zico telah dianggap sebagai legenda baru FC Goa di antara para penggemar lokal. Pada Januari 2017, FC Goa mengkonfirmasi mengakhiri hubungan dengan Zico setelah tiga tahun melatih. Peran administratifZico adalah seorang direktur di Kashima Antlers antara 1996 dan 2002.[64] Pada tanggal 30 Mei 2010, Flamengo mengumumkan bahwa Zico akan menjadi direktur sepak bola Flamengo yang baru dengan kontrak empat tahun, kembali ke tim di mana ia memenangkan penghargaan terpentingnya setelah 25 tahun. Namun peranya hanya berlangsung lima bulan karena ia mengundurkan diri karena ketidaksepakatan dengan jajaran dewan. Pada 10 Juni 2015, Zico secara resmi mengumumkan dia akan mencalonkan diri sebagai presiden FIFA setelah pengumuman pengunduran diri Sepp Blatter menyusul dugaan korupsi seputar tawaran pemenang dari Rusia dan Qatar untuk menjadi tuan rumah turnamen 2018 dan 2022. Pada Agustus 2018, Zico kembali ke Kashima Antlers sebagai direktur teknis, 16 tahun setelah masa jabatan sebelumnya sebagai direktur klub.[65] Kehidupan pribadiZico adalah cucu dari Fernando Antunes Coimbra (kakek dari pihak ayah) dan Arthur Ferreira da Costa Silva (kakek dari pihak ibu), keduanya orang Portugis. Ayahnya, José Antunes Coimbra juga seorang berkebangsaan Portugis (lahir di Tondela, 1901; meninggal di Rio de Janeiro, 1986), keluarga mereka datang ke Brasil pada saat usia Zico 10 tahun. Ibu Zico, Matilde Ferreira da Silva Costa, lahir pada tahun 1919. Zico adalah anak bungsu dari enam bersaudara, yiatu Maria José (Zezé), Antunes, Nando, Edu dan Antônio (Tonico). Pada tahun 1969 Zico bertemu calon istrinya, Sandra Carvalho de Sá. Pada tahun 1970 pasangan itu bertunangan dan menikah pada tahun 1975.[66][67][68] Kakak Sandra, Sueli, adalah istri dari kakaknya yaitu Edu. Zico memiliki tiga putra, Arthur Jr., Bruno dan Thiago.[69] Zico juga merupakan anggota skuad legendaris Classic Eleven dari seri video game FIFA. Zico adalah seorang Katolik Roma.[70] Statistik karirPemainKlub
1Meliputi Copa do Brasil, Coppa Italia, Piala JSL, Piala J.League, dan Piala Kaisar Internasional
Statistik manajerial[72]
Gelar[73]PemainKlub
Internasional
Individual
Rekor
ManajerKlub
Internasional
Statistik
Gol Internasional [90]
Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Zico.
|