Zhang Xueliang
Zhang Xueliang atau Chang Hsüeh-liang (3 Juni 1901 – 4 Oktober 2001) merupakan seorang panglima perang nasionalis Tiongkok Kuomintang. Pada tanggal 12 Desember 1936, dia menculik Chiang Kai-shek di Xi’an yang terkenal sebagai Insiden Xi'an. Tujuan penculikan ini adalah memaksa Chiang menghentikan perang saudara terhadap komunis dan bekerja sama dengan mereka untuk melawan invasi Jepang. Setelah insiden itu, Zhang dikenakan tahanan rumah di Taiwan sampai dibebaskan oleh Lee Teng-hui pada tahun 1990. Pada 15 Oktober 2001, Zhang Xueliang tutup usia akibat kanker paru-paru yang dideritanya. BiografiKehidupan awalLahir di Haicheng, Liaoning pada tahun 1901, Zhang mengenyam pendidikan sekolah rumah Ia tidak seperti ayahnya yang merasa nyaman bekerja di perusahaan orang Barat. Ia lulus dari Akademi Militer Fengtian[a], kemudian diangkat menjadi Kolonel di Angkatan Bersenjata Fengtian, dan ditunjuk sebagai komandan pengawal ayahnya pada tahun 1919. Pada 1921 ia dikirim ke Jepang untuk belajar di bidang pergerakan militer, di sana ia mengembangkan minat khususnya terhadap pesawat terbang. Setelah itu ia turut membesarkan korps angkatan udara di Angkatan Bersenjata Fengtian, yang kemudian banyak digunakan dalam pertempuran yang terjadi di dalam Tembok Besar selama tahun 1920-an. Pada 1922, ia dipromosikan menjadi Mayor Jenderal dan memimpin tentara dalam skala besar seukuran Angkatan Bersenjata. Dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi komandan unit udara. Setelah kematian ayahnya pada tahun 1928, ia menggantikannya sebagai pemimpin Pasukan Pemelihara Perdamaian Timur Laut (populer disebut "Tentara Timur Laut", (东北军) Dōngběi Jūn), yang menguasai wilayah timur laut Tiongkok di provinsi Heilongjiang, Liaoning, dan Jilin.[1] Pada bulan Desember tahun yang sama ia menyatakan kesetiaannya kepada Kuomintang (KMT), Partai Nasionalis Tiongkok. Panglima perang menjadi jenderal republikOrang Jepang meyakini bahwa Zhang Xueliang, yang dikenal sebagai seorang penakluk wanita dan pecandu opium, akan jauh lebih tunduk pada pengaruh Jepang daripada ayahnya. Atas dasar pemikiran ini, seorang perwira Jepang Tentara Kwantung membunuh ayahnya yang bernama Zhang Zuolin ("Si Marsekal Tua") dengan cara meledakkan sebuah bom yang ditaruh di atas gerbong kereta api yang ditumpanginya ketika sedang melintasi rel kereta api yang ada di bawah sebuah jembatan. Zhang muda secara mengejutkan ternyata lebih mandiri dan terampil daripada yang diperkirakan oleh siapa pun. Dengan bantuan dari William Henry Donald seorang wartawan Australia, ia berhasil mengatasi kecanduan opiumnya dan menyatakan dukungannya kepada Chiang Kai-shek, yang kemudian mengarah kepada pembentukan Reunifikasi Tiongkok pada tahun 1928. Dia diberi julukan "Pahlawan Sejarah" (千古功臣) oleh sejarawan RRT karena keinginannya yang besar untuk menyatukan kembali Tiongkok dan mengusir penjajah Jepang, serta bersedia membayar harga untuk menjadi "wakil" pemimpin Tiongkok (bukan semata-mata hanya karena jasanya yang telah mendukung Kuomintang). Untuk membuktikan bahwa komandonya bukan karena pengaruh atau tekanan dari Jepang, ia mengeksekusi mati dua pejabat pro-Tokyo yang terkemuka di hadapan para tamu yang sedang berkumpul di sebuah pesta makan malam pada bulan Januari 1929. Itu adalah sebuah keputusan yang sangat sulit yang harus ia ambil pada saat itu, karena kedua belah pihak memiliki kekuasaan atas nyawa orang lain. Zhang adalah seorang kritikus yang tajam terhadap banyak kebijakan Uni Soviet yang melemahkan posisi kedaulatan Tiongkok selama era Konflik Tiongkok-Soviet (1929), termasuk campur tangan Soviet dalam urusan Mongolia Luar. Ketika era konflik Tiongkok-Soviet (1929) ia berusaha merebut sebagian kendali Jalur Kereta Api Timur Jauh Tiongkok di Heilongjiang dari Soviet tetapi gagal karena dipukul mundur oleh Tentara Merah.[2] Pada saat yang sama, ia menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Amerika Serikat. Pada tahun 1930, ketika panglima perang Feng Yuxiang dan Yan Xishan mencoba untuk menggulingkan pemerintahan Nasionalis Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek dalam Perang Zhongyuan, Zhang yang mendukung pembentukan pemerintahan Nanjing, berperang melawan panglima perang Utara agar dapat mengendalikan jalur kereta api utama di Hebei dan memperoleh keuntungan dari pungutan bea cukai di kota pelabuhan Tianjin. Setahun kemudian, dalam Insiden Mukden[b] 18 September, Jepang menyerang pasukan Zhang di kota Shenyang, Liaoning untuk memprovokasi perang total dengan Tiongkok, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi oleh Chiang karena pada saat itu pasukannya masih belum terlalu kuat.[3] Disesuaikan dengan strategi Chiang, pasukan Zhang ditarik mundur dari garis depan tanpa terlibat dalam peperangan yang berarti. Jepang kemudian menguasai wilayah timur laut yang sebelumnya dikuasai oleh Zhang dalam peristiwa Invasi Jepang ke Manchuria.[4] Ada spekulasi yang mengatakan bahwa Chiang Kai-Shek menulis surat kepada Zhang untuk memintanya menarik mundur pasukannya, tetapi Zhang kemudian menyatakan bahwa ia sendiri yang mengeluarkan perintah tersebut. Zhang tampaknya juga menyadari betapa lemah pasukannya dibandingkan dengan kekuatan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan ia juga berharap dapat mempertahankan kedudukannya dengan memiliki pasukan yang cukup besar. Meskipun demikian, hal ini masih sejalan dengan strategi Chiang secara keseluruhan. Zhang kemudian melakukan perjalanan ke Eropa sebelum kembali ke Tiongkok untuk mengambil alih komando Kampanye Pengepungan pertama di Hebei-Henan-Anhui dan kemudian di daerah Barat Laut. Insiden Xi'anPada 6 April 1936, Zhang bertemu dan berunding dengan Zhou Enlai, delegasi PKT untuk mengakhiri Perang Saudara Tiongkok. Pemimpin KMT Chiang Kai-shek pada waktu itu mengambil posisi non-agresif terhadap Jepang dan menganggap komunis jauh lebih berbahaya bagi Republik Tiongkok daripada Jepang, dan strategi keseluruhannya adalah memusnahkan komunis terlebih dahulu, baru setelah itu fokus melawan Jepang.[3] Dia percaya bahwa "komunisme adalah penyakit kanker sedangkan Jepang hanya merupakan luka ringan." Demam kemarahan kaum Nasionalis yang sedang meningkat terhadap Jepang pada saat itu membuat pendapat Chiang ini sangat tidak populer, sehingga menyebabkan Zhang berencana menculik Chiang yang kemudian dikenal sebagai Insiden Xi'an. Pada 12 Desember 1936, Zhang dan Jenderal Yang Hucheng berhasil menculik Chiang dan memenjarakannya sampai dia setuju untuk membentuk Front Persatuan Kedua, suatu front persatuan dengan komunis untuk bersama-sama melawan invasi Jepang. Setelah bernegosiasi, Chiang akhirnya setuju untuk bersatu dengan komunis dan mengusir Jepang dari Tiongkok. Ketika Chiang dibebaskan, Zhang memutuskan untuk kembali ke ibu kota bersamanya. Ketika mereka sudah berada jauh dari pasukan yang setia kepada Zhang, Chiang menyuruh pasukannya menjadikan Zhang sebagai tahanan rumah. Sejak saat itu, ia berada di bawah pengawasan ketat pasukan Nasionalis secara terus menerus dan selalu tinggal di dekat ibu kota Nasionalis, kemana pun ibu kota itu dipindahkan. Kehidupan selanjutnya dari tahun 1949Pada tahun 1949, Zhang dipindahkan ke Taiwan, di mana ia tetap sebagai tahanan rumah namun dengan pengawasan yang jauh lebih longgar selama 40 tahun ke depan, ia menempati sebuah villa di pinggiran utara kota Taipei di mana ia sesekali menerima tamu. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mempelajari sastra zaman Dinasti Ming, bahasa Manchu, mengoleksi kipas lukis tradisional Tiongkok, kaligrafi Tionghoa, dan karya seni dari para seniman terkenal (sebuah lelang yang digelar oleh rumah lelang Sotheby's pada 10 April 1994, bertajuk "Dingyuanzhai" (定远斋) yang diambil dari nama studionya, sukses besar melelang koleksinya yang berjumlah 200 lebih karya seni). Zhang juga rajin membaca Alkitab Perjanjian Baru. Pada tahun 1964, ia secara resmi menikahi Edith Zhao (Zhao Yidi), putri seorang pejabat senior, yang meninggalkan keluarganya di usia remaja untuk menjadi sahabat Zhang, dia juga menemani Zhang selama di pengasingan. Istri pertamanya Yu, mengatakan bahwa dia sangat tersentuh oleh kesetiaan yang telah ditunjukkan oleh Edith terhadap Zhang, sehingga dia membebaskan suaminya dari janji pernikahannya. Zhang bersama Edith menjadi orang Kristen yang taat, mereka bersama-sama dengan keluarga Chiang Kai-Shek secara teratur menghadiri kebaktian Minggu di Kapel Gereja Metodis di Shilin, pinggiran kota Taipei. Setelah kematian Chiang pada tahun 1975, kebebasannya secara resmi dipulihkan. Dia berimigrasi ke Honolulu, Hawaii, pada tahun 1993. Banyak persyaratan yang diwajibkan kepadanya oleh Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok jika dia ingin mengunjungi Tiongkok Daratan, Zhang mengklaim karena kedekatan politiknya dengan KMT yang membuatnya ditolak masuk ke Tiongkok. Dia meninggal karena radang paru-paru pada usia 100 tahun [c] di Rumah Sakit Straub Medical Center di Honolulu,[5] dan dimakamkan di Hawaii, Amerika Serikat. Dalam budaya populer
Catatan
Referensi
|