Zahir al-Umar
Zahir al-Umar al-Zaydani (ejaan alternatif Dhaher al-Omar atau Dahir al-Umar) (bahasa Arab: ظاهر آل عمر الزيداني; Ẓāhir āl-ʿUmar az-Zaydānī, 1689/90 – 21 Agustus 1775) adalah penguasa wilayah Palestina utara pada abad ke-18.[1] Secara resmi ia merupakan bawahan Kesultanan Utsmaniyah, tetapi ialah penguasa sebenarnya secara de facto. Masa kekuasaannya yang dimulai pada tahun 1730-an. Wilayah yang ia kuasai adalah Galilea, sementara pemerintahannya beberapa kali berpindah tempat di Tiberias, Arraba, Nazareth, Deir Hanna dan akhirnya di Akko. Ia membentengi kota Akko dan kota tersebut menjadi pusat perdagangan kapas antara Palestina dengan Eropa. Pada pertengahan tahun 1760-an, ia mendirikan kota pelabuhan Haifa di dekatnya. Zahir berhasil menghalau serangan-serangan gubernur Utsmaniyah dari Eyalet Sidon dan Damaskus. Ia sering kali didukung oleh klan Islam Syiah yang bernama Jabal Amil. Pada tahun 1771, ia bersekutu dengan Ali Bey al-Kabir dari Mesir dan mereka berdua dibantu oleh armada Kekaisaran Rusia. Ia lalu merebut kota Sidon, sementara pasukan Ali Bey menaklukkan kota Damaskus. Pada puncak kejayaannya pada tahun 1774, wilayah otonom Zahir terbentang dari Beirut hingga Gaza dan menguasai wilayah Jabal Amil dan Jabal Ajlun. Namun, pada masa itu Ali Bey sudah tewas. Utsmaniyah juga telah menyepakati gencatan senjata dengan Rusia dan kali ini merasa siap untuk menghadapi Zahir. Armada Utsmaniyah menyerang bentengnya di Akko pada musim panas tahun 1775 dan ia tewas di luar tembok kota tersebut tidak lama kemudian. Kekayaan yang diperoleh Zahir dari monopoli atas perdagangan kapas dan minyak zaitun di Palestina telah mendanai perluasan wilayahnya. Pada masa kekuasaannya, ia memiliki pemerintahan yang relatif efisien dan mampu menjaga keamanan domesstik, walaupun ia harus memadamkan beberapa pemberontakan yang dilancarkan oleh anak-anaknya. Selain itu, kebijakan perpajakan Zahir yang fleksibel dan reputasinya di medan perang menjadikannya sebagai tokoh yang populer di mata petani. Toleransi Zahir terhadap kelompok minoritas juga mendorong kedatangan orang Kristen dan Yahudi ke wilayahnya. Imigran-imigran ini juga datang karena ekonomi wilayahnya yang kuat, sehingga komunitas Kristen mengalami pertumbuhan di Akko dan Nazareth dan komunitas Yahudi juga bertambah jumlahnya di Tiberias. Ia dan keluarganya juga mendanai pembangunan gedung-gedung komersial, rumah ibadah, dan perbentengan di Galilea. Berkat pencapaian-pencapaiannya ini, kini ia dianggap sebagai pahlawan oleh rakyat Palestina.[2] Catatan kaki
|