Yersinia enterocolitica
Yersinia enterocolitica adalah spesies bakteri gram-negatif, tidak menghasilkan spora, fakultatif anaeobik, yang termasuk ke dalam golongan Enterobacteriacea.[1] Pada suhu 20-25 °C, bakteri ini dapat bergerak (motil), tetapi pada suhu 37 °C tidak terjadi pergerakan.[2] Sebagian galur (strain) dari bakteri ini merupakan patogen penyebab penyakit yang penyebarannya terjadi melalui makanan, seperti daging babi dan susu.[1] Selain melalui makanan, bakteri ini juga menyebar melalui minuman dan dapat ditemukan pada permukaan air dan sistem pembuangan air.[2] Y. enterocolitica dapat beradaptasi dengan suhu dingin dan bahkan tetap bermultiplikasi (memperbanyak diri) pada suhu 4 °C.[2] Infeksi Y. enterocolitica pada sistem gastrointestinal dapat menyebabkan enterokolitis, limfadenitis, serta gastroenteritis. Gejala yang timbul akibat infeksi Y. enterocolitica adalah diare yang diikuti demam, muntah, dan sakit perut (abdominal).[2] EtiologiGenus Yersinia mencakup 20 spesies dan 3 di antaranya terkenal dapat menjadi sumber penyakit pada manusia, yaitu Y. pestis, Y. enterocolitica, dan Y. pseudotuberculosis. Yersiniosis adalah infeksi zoonosis dengan manusia sebagai inang insidental yang tidak berkontribusi pada siklus hidup patogen.[3] Bentuk dominan (65% dari semua pasien) yersiniosis adalah adenitis mesenterika yang mengakibatkan enteritis, sindrom pseudo-appendicular, ileitis atau kolitis. Tingkat keparahan bentuk ini tergantung pada usia tertentu. Sedangkan untuk bentuk ekstra-mesenterika (pada 20-25%), infeksi fokal melalui penyebaran, bentuk septik dan sindrom limfadenopati dapat terjadi setelah atau tanpa enteritis sebelumnya.[4] Kemungkinan munculnya yersiniosis juga diduga terkait dengan perubahan yang terjadi di peternakan, teknologi pangan, dan industri pangan. Hal terpenting adalah adanya perubahan dalam industri daging, di mana produksi daging telah bergeser dari rumah pemotongan hewan skala kecil, dengan pola distribusi terbatas, ke fasilitas besar yang memproses ribuan babi setiap hari dan mendistribusikan produknya secara nasional dan internasional. Saat ini, ukuran peternakan juga telah meningkat, dan metode peternakan juga menjadi lebih intensif.[5] Selain itu, dengan semakin banyaknya kemajuan dalam hal pengemasan dan pendinginan pada produk pangan memungkinkan industri dan konsumen untuk menyimpan makanan untuk waktu yang lebih lama, faktor penting yang berkaitan dengan patogen yang beradaptasi dengan dingin seperti Y. enterocolitica. Dalam mempelajari daging babi mentah, tingkat deteksi yang lebih tinggi telah diperoleh dengan PCR yang menargetkan beberapa gen virulensi yang dikodekan secara kromosom daripada dengan metode kultur. Dalam beberapa studi kasus terkontrol, peningkatan risiko yersiniosis telah ditunjukkan ketika daging babi mentah atau setengah matang dikonsumsi. Namun, epidemiologi infeksi Y. enterocolitica ini sifatnya kompleks dan masih kurang dipahami.[5][6] EpidemiologiY. enterocolitica adalah sekelompok strain heterogen, yang diklasifikasikan berdasarkan 6 biotipe yang dibedakan oleh uji fisiokimia dan biokimia (1A, 1B, 2, 3, 4, dan 5), dan dengan serotipe menjadi lebih dari 57 O serogrup, yang dibedakan oleh variasi antigenik di dinding sel lipopolisakarida.[5][7] Biotipe 1A adalah yang paling heterogen dan mencakup berbagai serotipe, diantaranya serotipe O:5, O:6,30, O:6,31, O:7,8, O: 10, serta strain O-nontypable diisolasi paling sering. Sedangkan virulensi dari biotipe patogen, yaitu 1B dan 2-5, dikaitkan dengan adanya plasmid virulensi 70-kb yang sangat terkonservasi, disebut pYV/pCD dan gen kromosom tertentu.[5][8] Adapun sumber utama infeksi Y. enterocolitica pada manusia diasumsikan berasal dari daging babi dan produk babi. Hal ini terjadi karena babi diyakini merupakan reservoir utama patogen Y. enterocolitica. Namun perlu diingat, bahwa belum cukup bukti jelas yang menunjukkan bahwa jalur transmisi seperti itu ada. Dengan menggunakan metode PCR, diketahui bahwa tingkat deteksi terhadap patogen Y. enterocolitica dalam produk daging babi mentah tergolong tinggi, dan hal ini memperkuat asumsi bahwa produk daging babi mentah ini merupakan mata rantai penularan antara babi dengan manusia. Selain itu, ditemukannya pola DNA serupa yang diperoleh di antara manusia dan babi strain patogen Y. enterocolitica, menguatkan pandangan bahwa babi merupakan sumber penting yersiniosis manusia.[6] Infeksi Y. enterocoliticaMenurut Bottone (1997) dalam Maria Fredriksson-Ahomaa et al. (2006), Y. enterocolitica dapat menyebabkan gejala gastrointestinal, mulai dari diare ringan yang dapat sembuh dengan sendirinya, hingga limfadenitis mesenterika akut yang dapat menyebabkan radang usus buntu.[6] Adapun gejala klinis yang ditimbulkan akibat dari infeksi Y. enterocolitica ini umumnya tergantung pada usia, keadaan fisik pasien, adanya kondisi medis yang mendasarinya, dan bioserotipe organisme.[5] Gastroenteritis, penyakit yang disebabkan oleh Y. enterocolitica adalah bentuk yersiniosis yang paling sering terjadi dan biasanya menyerang bayi dan anak kecil dibawah 5 tahun.[5] Anak-anak yang terinfeksi Y. enterocolitica dapat mengalami diare akut yang berhubungan dengan demam dan faringitis, diare kronis atau berulang, atau nyeri pada fossa iliaca kanan yang berhubungan dengan adenitis mesenterika. Gejala gastrointestinal ini biasanya dapat sembuh secara spontan dalam waktu dua minggu. Namun, pada beberapa anak ada yang berhasil diobati dengan pemberian kotrimoksazol.[9] Sedangkan, pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda, yersiniosis akut dapat muncul sebagai sindrom pseudoappendicular, yang dapat menyerupai apendisitis. Dilaporkan bahwa terkadang beberapa gejala dapat terjadi seperti gejala sisa jangka panjang ekstra-usus, termasuk artritis reaktif (ReA), eritema nodosum (EN), uveitis, glomerulonefritis, konjugtivitis dan miokarditis. Sepsis adalah salah satu komplikasi yang jarang terjadi dari infeksi Y. enterocolitica, kecuali pada pasien yang memiliki penyakit yang mendasari predisposisi atau berada dalam keadaan kelebihan zat besi. Sepsis ini dapat terjadi selama transfusi darah. Dalam kebanyakan kasus, infeksi dapat sembuh dengan sendirinya dan tidak memerlukan terapi antimikroba. Namun, dalam kasus yang parah, kemungkinan terapi antimikroba ini diperlukan.[5][10] Infeksi Y. enterocolitica ini biasanya dimulai dengan menelan makanan atau air yang sebelumnya telah terkontaminasi Y. enterocolitica, setelah memasuki perut, patogen ini kemudian melintasi dinding usus, dan terlokalisasi di jaringan limfoid dan kelenjar getah bening mesenterika dan pada akhirnya dapat menyebabkan penyakit diare. Bakteri ini memiliki plasmid virulen 70 kilodalton yang dikenal sebagai pYV yang terdapat pada spesies patogen Yersinia termasuk enterocolitica, pestis, dan pseudotuberculosis. Yersinia dapat melintasi epitel usus terutama melalui FAE, di patch Peyer dari ileum (A Grützkau et al. 1990). Dari sini, organisme dapat menyebar ke organ lain.[3][5] PengobatanPada umumnya, infeksi dapat sembuh dengan sendirinya dan tidak memerlukan pengobatan antibiotik. Namun pada beberapa infeksi yang parah, penggunaan antibiotik mungkin diperlukan. Y. enterocolitica biasanya rentan secara in vitro terhadap aminoglikosida, kloramfenikol, tetrasiklin, trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMZ), piperasilin, siprofloksasin, dan sefalosporin generasi ketiga. Selain itu, Y. enterocolitica juga resisten terhadap penisilin, ampisilin, dan sefalosporin generasi pertama, karena organisme sering menghasilkan beta-laktamase.[11] PencegahanBeberapa langkah pencegahan untuk menghindari kemungkinan terinfeksi Y. enterocolitica adalah dengan mencuci tangan setelah terpapar hewan yang terpapar, memastikan pengolahan makanan yang aman, menghindari konsumsi daging babi dan produk mentah, pengolahan air secara rutin dan desinfeksi, dan penyaringan patogen dalam darah dan produk darah.[3] Y. enterocolitica Terhadap Pencemaran PanganSumber utama yang sering dikaitkan dengan infeksi Y. enterocolitica adalah makanan, meskipun isolat patogen jarang ditemukan dari sampel makanan. Salah satu contoh adalah produk daging babi mentah yang telah banyak diteliti karena diyakini ada kaitannya dengan infeksi Y. enterocolitica. Namun, tingkat isolasi bioserotipe patogen Y. enterocolitica ini rendah pada daging babi mentah, kecuali jeroan babi yang dapat dimakan, dengan jenis yang paling umum diisolasi adalah bioserotipe 4/O:3. Dengan rendahnya tingkat isolasi patogen Y. enterocolitica dalam sampel makanan kemungkinan dikarenakan sensitivitas metode kultur yang terbatas.[5] Stern (1982) dalam Md. Latiful Bari et al. (2011) melaporkan bahwa Y. enterocolitica dapat tumbuh pada susu murni pada suhu 3. Selain itu, pengurangan bakteri psychrotrophic dalam susu setelah pasteurisasi juga memungkinkan pesaing yang buruk dan patogen oportunistik seperti Y. enterocolitica untuk tumbuh lebih baik dalam susu pasteurisasi daripada di susu mentah. Maka dari itu, keberadaan patogen Y. enterocolitica dalam susu pasteurisasi harus menjadi perhatian.[5] Y. enterocolitica umumnya terdeteksi pada daging dan produk unggas. Menurut B. Swaminathan et al. (1982) dalam Md. Latiful Bari et al. (2011), tingkat patogen ini ditemukan secara konsisten dalam jumlah tinggi pada daging kemasan vakum dengan pH di atas 6 yang dipertahankan pada suhu rendah. Pertumbuhan patogen ini dapat meningkat pada daging yang dimasak atau pada suhu rendah sedangkan mikroorganisme kompetitif dinonaktifkan.[5] Rute Penularan Y. enterocoliticaDiperkirakan bahwa rute penularan yang paling umum dari patogen Y. enterocolitica adalah secara fecal-oral yaitu melalui makanan yang telah terkontaminasi. Sedangkan dari segi kontak langsung dari orang ke orang jarang terjadi. Menurut E. J. Bottone (1999) dalam Md. Latiful Bari et al. (2011), penularan tidak langsung dari orang ke orang tampaknya terjadi dalam beberapa kasus melalui transfusi darah yang terkontaminasi. Satu mata rantai penularan yang mungkin terjadi adalah adanya kontak langsung dengan babi, dan hal ini menjadi risiko umum bagi peternak babi dan pekerja rumah jagal. Namun, penularan patogen Y. enterocolitica dari babi ke manusia ini belum terbukti secara jelas.[5] Pada manusia, sumber utama infeksi Y. enterocolitica ini diasumsikan berasal dari babi dan produk babi lainnya. Patogen Y. enterocolitica dapat ditularkan dari rumah pemotongan hewan ke pabrik pengolahan daging dan kemudian ke tingkat eceran melalui bangkai dan jeroan babi yang terkontaminasi. Daging babi dan jeroan yang terkontaminasi merupakan rantai transmisi penting dari toko ritel ke manusia. Kontaminasi silang jeroan dan babi akan terjadi secara langsung atau tidak langsung melalui peralatan, udara dan penjamah makanan di rumah jagal, toko eceran, dan dapur perumahan.[5] Tingkat deteksi patogen Y. enterocolitica dalam produk daging babi mentah telah terbukti tinggi. Namun, untuk konsumsi daging babi mentah hanya memainkan peran terbatas dalam perkembangan yersiniosis. Penularan mungkin lebih sering terjadi melalui daging babi yang dimasak dan produk makanan lain yang kurang matang atau tidak ditangani dengan benar. Menurut X. Wang et al, (2010) dalam Md. Latiful Bari et al. (2011), hewan peliharaan juga dicurigai sebagai sumber yersiniosis manusia karena kontak dekat dengan manusia, terutama anak kecil. Namun, penularan dari hewan peliharaan ke manusia belum terbukti secara akurat.[5] Faktor Yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Y. enterocoliticaY. enterocolitica merupakan bakteri yang tergolong pada organisme fakultatif serta memiliki kemampuan berkembang biak baik dalam kondisi aerob maupun anaerob. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan Y. enterocolitica dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti:[5] a. Suhu Kisaran pertumbuhan Y. enterocolitica yang dilaporkan C. O. Gill and M. P. Reichel (1989) adalah 2-42 °C. Sedangkan suhu optimalnya adalah 28-29 °C (H. Bercovier et al. 1984). Selain itu, Y. enterocolitica juga dapat berkembang biak dalam makanan seperti daging dan susu pada suhu mendekati 0 °C dan bahkan di bawah 0 °C (W. H. Lee et al. 1980). Hasil penelitian Md. Latiful Bari et al. (2011), menunjukkan bahwa dalam makanan dengan pH netral yang disimpan pada suhu 5 °C, jumlah Y. enterocolitica dapat meningkat dari 10/mL menjadi 2,8 × 107/mL dalam 5 hari. Produksi toksin oleh patogen Y. enterocolitica dapat dipengaruhi oleh suhu pertumbuhan serta komposisi bahan makanan. Toksigenik Y. enterocolitica mampu menghasilkan enterotoksin yang stabil terhadap panas dalam susu pada suhu 25 °C tetapi tidak pada suhu 4 °C (D. W. Francis et al. 1980). Sebagian besar sel Y. enterocolitica akan mati atau terluka jika disimpan selama penyimpanan beku pada suhu -20 °C. b. pH Kisaran pH minimum dimana pertumbuhan bakteri Y. enterocolitica dapat terjadi adalah antara 4,2 dan 4,4 (N. J. Stern et al. 1980), sedangkan dalam media di mana pH telah disesuaikan dengan HCl, pertumbuhan terjadi pada pH 4,18 dan suhu 22 °C (M. Karapinar & S. A. Gonul, 1992). Adanya keberadaan asam organik diduga mampu menurunkan kemampuan Y. enterocolitica untuk berkembang biak pada pH rendah. c. Aktivitas air Aktivitas air minimum di mana pertumbuhan Y. enterocolitica dapat terjadi adalah 0,96. Bakteri Y. enterocolitica ini mampu tumbuh pada 5% garam, tetapi tidak pada 7% garam. d. Pengawet/ Disinfektan Pertumbuhan bakteri Y. entericolitica dapat dihambat oleh kalium sorbat hingga 5000 ppm pada pH 6,5 dengan cara yang bergantung pada dosis tertentu. Pada pH 5,5 konsentrasi di atas 1000 ppm hampir menghilangkan pertumbuhan atau menyebabkan inaktivasi tergantung pada dosis. Menurut María Victoria Selma et al. (2006) dalam Md. Latiful Bari et al. (2011), perawatan dengan ozon (1,4 dan 1,9 ppm) dan dengan air ozonasi (paparan 1 menit) dapat mengurangi pemuatan patogen. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Y. enterocolitica Dalam MakananDengan kemampuan Y. enterocolitica untuk menyebar pada suhu pendinginan dalam makanan kemasan vakum dengan umur simpan yang lama menjadi salah satu perhatian penting dalam upaya menjaga kebersihan makanan. Menurut D. A. Schiemann (1989) dalam Md. Latiful Bari et al. (2011), dikatakan bahwa Y. enterocolitica dapat bertahan hidup dalam makanan beku untuk waktu yang lama. Selain itu, Y. enterocolitica ini tidak dapat tumbuh pada pH < 4,2 atau > 9,0 (T. F. Brocklehurst & B. M. Lund, 1990) atau konsentrasi garam lebih besar dari 7% (Aw < 0,945) (N. J. Stern et al. 1990).[5] Y. enterocolitica tidak termasuk bakteri yang tahan terhadap panas, dimana nilai D pada 62,8 °C selama 15 kultur enterotoksigenik dan 6 kultur nonenterotoksigenik berkisar antara 0,7 hingga 17,8 detik. Selain itu, dalam susu murni steril, sel-sel yang diberi perlakuan panas dihitung pada agar kedelai trypticase dengan ekstrak ragi (D. W. Francis et al. 1980), menunjukkan bahwa Y. enterocolitica ini tidak bertahan dari proses pasteurisasi. Selain tidak bertahan pada suhu pasterurisasi atau pemasakan, Y. enterocolitica ini juga tidak bertahan terhadap perebusan, backing, dan penggorengan normal. Adanya perlakuan panas pada susu dan produk daging pada suhu 60 °C selama 1-3 menit secara efektif dapat menonaktifkan Y. enterocolitica (W. H. Lee et al. 1980). Nilai D yang ditentukan dalam air mendidih adalah 96, 27, dan 11 detik masing-masing pada 58, 60, dan 62 °C.[5] Adanya kegiatan penyimpanan daging babi yang sering dilakukan di ruang pendingin selama 2-4 hari setelah pemotongan, memungkinkan strain patogen Y. enterocolitica dapat berkembang biak secara signifikan selama periode penyimpanan yang relatif lama ini. Hal ini terjadi karena produk daging mentah yang dikemas ini sebelumnya dapat tetap berada di lemari pendingin eceran selama lebih dari seminggu, tergantung pada produk, kemasan, suasana kemasan, dan tingkat perputaran.[5] Sebagai organisme fakultatif, pertumbuhan Y. enterocolitica sangat dipengaruhi oleh atmosfer gas. Dalam kondisi anaerobik, Y. enterocolitica tidak dapat tumbuh pada daging sapi pada pH 5,4-5,8, sedangkan pertumbuhan dapat terjadi pada pH 6,0 (C. A. Conte-Junior et al. 2010). Diketahui bahwa seratus persen dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan Y. enterocolitica (C. A. Conte-Junior et al. 2010). Dalam kemasan vakum, Y. enterocolitica tumbuh pada semua suhu penyimpanan pada tingkat yang sama atau lebih cepat daripada mikroflora pembusukan. Selain itu, beberapa strain Y. enterocolitica bahkan mampu tumbuh di air pada suhu rendah 4 °C (A. K. Highsmith et al. 1977).[5] Referensi
|