Wonopringgo, Wonopringgo, Pekalongan
SejarahDisebuah hutan yang penuh ditumbuhi pohon pring atau bambu pada masa penjajahan Belanda dijadikan tempat untuk berlindung dari serangan pasukan Belanda. Kita ketahui Belanda menjajah negeri kita selama 350 tahun termasuk daerah hutan bambu juga tidak luput dari pasukan Belanda yang berusaha menguasai daerah tersebut. Untuk menguasai daerah tersebut terjadilah peperangan antara pasukan Belanda dengan penduduk pribumi, pada masa itu pasukan Belanda dipimpin oleh seorang jenderal yang bernama jendral Baron Sekeder mendapat perlawanan dari orang pribumi yang dipimpin oleh Kanjeng Syeh Subakir peperangan berlangsung lama setelah berulang kali terjadi perang akhirnya pasukan Belanda dapat dikalahkan oleh pasukan pribumi yang dipimpin oleh kanjeng syeh Subakir. Dengan dikalahkannya pasukan Belanda oleh penduduk pribumi pasukan Belanda menyingkir menuju keselatan ke daerah Rogoselo. Berakhirnya peperangan Kanjeng Syeh Subakir beserta pengikutnya istirahat disebuah pohon pring atau pohon bamboo yang sangat besar dan Kuat pada saat istirahat disebutlah nama Wonopringgo yang artinya hutan bambu sebutan untuk hutan tempat Kanjeng Syeh Subakir dan pengikutnya. Konon di Wonopringgo merupakan tempat yang aman dari berbagai serangan pihak Belanda sehingga banyak penduduk yang datang membawa harta benda maupun ternaknya untuk berlindung yang diyakini bisa aman dari serangan pihak Belanda. Dalam keadaan alam yang masih hutan belantara yang masih banyak ditumbuhi pohon pring/bamboo belum ada sumber mata air. Kanjeng Syeh Subakir adalah seorang muslim ,suatu ketika akan mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat Tidak menemukan sumber mata air. Untuk melepaskan lelah setelah mencari mata air dan tidak ditemukan Kanjeng Syeh Subakir istirahat tanpa sengaja menancapkan tongkatnya yang dibawanya ketanah, tanpa disengaja ujung tongkat yang menancap mengeluarkan air dan tongkat dicabut lalu Kanjeng Syeh Subakir mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat. Mata air yang keluar terus menerus mengalir dan menjadi sebuah bengawan ,bengawan tersebut bernama bengawan Tunggulnogo yang dibahu rekso oleh Tunggulgunuk. Seiring berjalannya waktu daerah yang tadinya berupa hutan pring/bamboo sekarang telah menjadi sebuah Desa yang dikenal dengan sebutan Desa Wonopringgo . Bengawan Tunggulnogo saat ini berupa sebuah belik/sumber mata air yang konon bernama belik Segelap Yang artinya tanpa sengaja dibuat sumber lain ada yang menyebut Belik Sukmo. Saat ini Belik Segelap atau Sukmo ini lebih dikenal dengan sebutan “ SUMUR SEGELAM”. “SUMUR SEGELAM”ini merupakan salah satu Cagar Budaya yang ada di Desa Wonopringgo. Ada berbagai lapisan masyarakat yang percaya kalau air sumur segelam ini bisa membawa berkah, sehingga banyak orang yang datang warga desa maupun luar desa ke Sumur Segelam untuk mengambil airnya ataupun mandi. Kegiatan tersebut seringnya dilakukan pada malam dan hari Jum’at Kliwon. Untuk merawat dan menjaga Sumur Segelam ini ada juru kuncinya selain itu untuk menjaga kelestarian dan merawat dari Cagar Budaya yang ada di Desa Wonopringgo tersebut Pemerintah Desa Wonopringgo dengan Warga masyarakat setiap tanggal 12 Legeno/Dzulqadah Melaksanakan kegiatan Legenonan/Sedekah bumi dengan membuat makanan sederhana dan melaksanakan kerja bhakti untuk membersihkan lingkungan sekaligus menguras air Sumur Segelam. Disamping Belik/Sumur Segelam di Desa Wonopringgo terdapat 6 Belik lainnya yaitu:
Belik yang satu lagi menurut satu sumber konon pernah ada namanya Belik sinangka dan sekarang tidak diketahui keberadaannya, menurut sumber yang sama mengatakan bila sumur sinangka ini muncul merupakan pertanda kalau Desa Wonopringgo akan menjadi makmur. Demikian ringkasan cerita tentang asal-usul Desa Wonopringgo dan Cagar Budaya “Sumur Segelam” yang kita dapat dari berbagai sumber baik dari sesepuh maupun penjaga Cagar Budaya di Desa Wonopringgo. Kepala DesaSecara berurutan dijabat oleh :
Sumber |