Wira Tanu II
Raden Aria Wira Tanu II (wafat 1707) adalah bupati Cianjur kedua. Pada masa pemerintahannya VOC secara aktif sudah mulai menjajah & berkuasa di wilayahnya, dimana Wira Tanu II diakui sebagai bupati oleh VOC secara resmi. Kehidupan AwalRaden Aria Wira Tanu II bernama lahir Wiramanggala. Setelah menggantikan ayahnya menjadi Dalem Cianjur ia memakai gelar Wira Tanu II. Sebelum menjadi Dalem, ia diangkat oleh ayahnya Wira Tanu I menjadi umbul (kepala daerah) dengan gelar ngabehi. Tempat tinggal Wiramanggala awalnya di Cibalagung (sekarang Kec. Mande) yang kemudian pindah ke Cikalong. Keadaan ibu kota Cikundul saat itu sudah mulai mundur secara ekonomi, hal ini terjadi karena Wira Tanu I sudah mulai meninggalkan urusan duniawi serta keadaan Cikalong yang sedang mengalami kemajuan.[1] Sebab utama pindahnya Wiramanggala adalah karena ia harus menggantikan ayahnya Wira Tanu I sebagai bupati dengan gelar Wira Tanu II. Pada masa ini VOC sudah mulai mengutus pejabatnya untuk mendata wilayah-wilayah yang menurut perjanjian tanggal 25 Januari 1677 diserahkan oleh Mataram. Pejabat yang diutus adalah Kapten Winkler. Saat kedatangan Winkler ini Wira Tanu II sudah menjadi Dalem. Kedatangan Winckler pun akhirnya berakhir menjadi pengakuan VOC atas kepemimpinan Wira Tanu II dan mengangkatnya menjadi bupati (regent) Cianjur. Wira Tanu II kemudian memindahkan ibu kota dari Cikundul ke Pamoyanan.[1] Berdasarkan pembahasan tersebut bisa disebutkan bahwa Wira Tanu II menjadi Bupati Cianjur dikarenakan dua sebab yaitu:
Rangkaian Peristiwa di Masa Pemerintahan Wira Tanu IIPerjanjian antara Cirebon dan VOCPada 7 Januari 1681 terjadi perjanjian antara VOC dan Cirebon yang disebabkan keinginan Cirebon untuk merdeka dari Mataram. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Mataram dan Cirebon masing-masing adalah sama-sama sebagai negara merdeka dan mandiri serta Cirebon bukan lagi dianggap sebagai vasal Mataram. VOC bertindak sebagai pelindung bagi mereka yang tak berdaya.[1] Hal ini mengakibatkan diserangnya Cianjur oleh Banten karena Cianjur yang merupakan wilayah Mataram saat itu dianggap sebagai bawahan Cirebon. Banten pada awalnya memang sudah sejak dahulu ingin menarik wilayah Cirebon dari Mataram karena faktor pertalian keluarga.[1] Perjanjian antara Banten dan VOCDi tahun 1682, terjadi perang saudara di Banten antara Sultan Haji Abu an-Nasr dan ayahnya Sultan Ageng Tirtayasa atau dikenal juga sebagai Sultan Sepuh Banten. Sultan Haji kemudian meminta bantuan VOC. VOC kemudian memerangi Sultan Sepuh dan para pengikutnya yang diantaranya adalah Syekh Yusuf dan Pangeran Kidul. Syekh Yusuf bersama Pangeran Kidul kabur melalui Cianjur untuk menuju muara Citanduy. Malang bagi mereka, di daerah Banjar Pangeran Kidul gugur. Syekh Yusuf meskipun berhasil selamat namun kemudian menyerahkan diri dan dibuang oleh VOC ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan.[1] Pemberontakan Raden Alit PrawatasariRaden Alit Prawatasari dari Jampang Manggung yang masih adik seayah dari Wira Tanu II melakukan pemberontakan di tahun 1703 pada VOC karena penindasan terhadap rakyat yang sudah keterlaluan. Awalnya pemberontakan Prawatasari berhasil memukul VOC. Namun akhirnya dapat ditaklukan oleh VOC. Pada waktu itu rakyat Jampang Manggung yang berjumlah sekitar 1354 orang dibawa menuju Batavia melalui Cianjur. Dari 1354 orang yang dibawa hanya selamat 582 orang di tujuan.[1] Masa PaceklikPada tahun 1706 terjadi paceklik parah yang menyebabkan berkurangnya rakyat Cianjur dari 5000 orang menjadi 880 orang. Paceklik ini diperparah dengan aksi VOC yang ingin menutup kerugian karena perang dengan melakukan tanam paksa kopi, lada dan nila.[1] Perjanjian Mataram dan VOCTanggal 5 Oktober 1705 terjadi perjanjian antara Mataram dan VOC yang menyebabkan perluasan wilayah VOC di Jawa Barat menjadi:[1]
Pembentukan Hindia BelandaSejak tahun 1705 VOC telah menguasai seluruh wilayah yang sekarang menjadi wilayah Jawa Barat, Jakarta dan Banten. Wilayah yang cukup luas itu kemudian dijadikan satu wilayah baru yang mulai tahun 1800 disebut sebagai Hindia Belanda.[1] Pengangkatan Gubernur daerah ParahyanganUntuk mengatur wilayah Parahyangan yang terdiri dari beberapa kabupaten (regentschap). VOC di tahun 1705 kemudian mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai gubernur (opzigter) Parahyangan dengan tugas mengatur para bupati, menetapkan hak-hak dan kewajiban bupati dan sebagainya. Sistem pemerintahan ini kemudian masih bertahan sampai tahun 1870an.[1] Masa tua dan kematianDi masa tuanya Wira Tanu II semakin mendekatkan diri dengan rakyatnya. Kegemarannya adalah bertani di kebun. Tahun 1707 Wira Tanu II meninggal dengan meninggalkan 14 orang anak, yaitu:
Ia kemudian dimakamkan di Pamoyanan. Setelah kematiannya, Pamoyanan seolah-olah ikut bersedih serta kemudian mengalami kemunduran kalah oleh Kampung Cianjur yang bersebelahan. Raden Aria Wira Tanu II setelah meninggal sering dijuluki sebagai Dalem Tarikolot yang artinya Dalem yang tinggal di ibu kota yang narikolot (narikolot = mengalami kemunduran).[1] Rujukan
|