Wira Tanu I
Raden Aria Wira Tanu I adalah seorang dalem (kepala nagari) yang mendirikan kabupaten Cianjur di abad ke-17. Ia bernama asli Jayasasana atau Jayalalana. Wira Tanu I juga dijuluki sebagai Dalem Cikundul dikarenakan pernah menjadi dalem di daerah Cikundul (sekarang Cikalongkulon). Kehidupan AwalRaden Jayasasana adalah putra dari Raden Aria Wangsa Goparana yang berasal dari Sagalaherang, Subang. Berdasarkan silsilah, Raden Aria Wangsa Goparana merupakan anak dari Sunan Wanaperih (Raden Aria Kikis) yang merupakan raja dari Kerajaan Talaga Manggung (sekarang Majalengka), anak dari Raden Ragamantri alias Sunan Parung Gangsa/Prabu Pucuk Umum, anak dari Munding Sari Ageung. Munding Sari merupakan salah satu cicit dari Prabu Siliwangi yang ketika runtuhnya Kerajaan Sunda pada tahun 1579 memilih untuk kabur ke daerah Talaga tepatnya di kaki Gunung Ceremai. Di masa mudanya, Raden Aria Wangsa Goparana berkelana dan sampai di kampung Nangkabeurit yang sekarang masuk wilayah kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang. Di sana ia mendirikan sebuah desa dan menjadi dalem (kepala nagari). Raden Aria Wangsa Goparana memiliki delapan orang anak yaitu:
Jayasasana sebagai putra pertama Raden Aria Wangsa Goparana terkenal sebagai seorang yang ahli ibadah dan menuntut ilmu. Jayasasana pun disebutkan sering berkhalwat (bertapa) untuk merenung dan bertafakur di tempat-tempat sunyi. Menurut legenda, suatu waktu ketika Jayasasana sedang bertapa, ia kedatangan jin muslim yang berwujud gadis cantik. Jin ini tertarik dengan Jayasasana dan kemudian mereka menikah serta memiliki tiga orang anak, yaitu Suryakancana, Indang Kancana atau Indang Sukaesih dan Andaka Wirasujagat.[1] Pendirian Nagari CikundulKepala MasyarakatSetelah dewasa, Jayasasana diberikan tanggungjawab oleh ayahnya Dalem Sagalaherang berupa 100 orang rakyat (cacah). Menurut sistem feodalisme saat itu, kekuasaan seorang bangsawan ditentukan oleh banyaknya rakyat yang dipimpin (populasi) bukan berdasarkan tanah (luas wilayah). Karena semakin banyak rakyat, maka akan semakin banyak pula wilayah yang ditempati oleh rakyatnya itu. Bersama keseratus orang itu, Jayasasana kemudian mencari tempat bermukim baru ke daerah pedalaman Jawa Barat saat ini dan sampailah ke daerah sungai Cikundul yang sekarang berada di wilayah kecamatan Cikalongkulon. Di sana mereka mulai bermukim dan membuka lahan baru. Rakyat Jayasasana hidup secara berpencar, tidak bermukim di satu tempat tetapi kebanyakan bermukim di daerah Cijagang karena disanalah Jayasasana berada. Beberapa tempat yang dihuni oleh rakyat Jayasasana diantaranya terletak di tepian sungai seperti di Cibalagung dan Cirata.[2] Meskipun tempat tinggalnya terpencar, mereka masih berada dalam satu kesatuan masyarakat (Belanda: Volksgemeenschap) di bawah pimpinan Jayasasana. Berdasarkan hukum sosiologi mengenai pembentukan masyarakat, dalam kesatuan rakyat Jayasasana akhirnya lahir tata cara dan aturan bermasyarakat yang harus dipatuhi oleh semua rakyat Jayasasana. Tata cara di setiap masyarakat memiliki sifat bersatu sehingga dalam setiap kesatuan masyarakat juga ditemukan suatu kesatuan hukum (Rechtsgemenschap). Tugas utama seorang kepala masyarakat seperti Jayasasana adalah mengatur kehidupan dan menegakkan hukum yang berlaku. Selain daripada itu, ia juga bertugas untuk melindungi rakyatnya jika ada keributan, perampokan atau serangan dari wilayah lain. Sehingga kepala masyarakat saat itu lebih tepat disebut sebagai panglima atau senapati dan bukan disebut sebagai dalem. Begitu pun masyarakat Jayasasana yang saat itu masih berada dalam tahap kesenapatian. Secara de jure karena runtuhnya Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pakuan Pajajaran, sebenarnya wilayah yang saat itu ditempati oleh rakyat Jayasasana berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten,[3] Namun secara de facto berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram setelah raja Kusumadinata III dari Sumedang Larang menyatakan bergabung dengan Mataram di tahun 1620.[4] Dikarenakan rakyat Jayasasana yang para leluhurnya berasal dari Talaga yang saat itu menjadi bagian Cirebon, maka dalam beberapa catatan-catatan VOC rakyat Jayasasana sering disebut sebagai rakyat Cirebon.[1] Menjadi Dalem dan Mendapat Gelar Wira TanuRuntuhnya Kerajaan Sunda menyebabkan beberapa daerah merdeka dan menyebabkan beberapa kerajaan berusaha mengklaim bekas wilayahnya termasuk Kesultanan Banten di bawah Sultan Tirtayasa yang mengklaim seluruh bekas wilayah Sunda sebagai wilayah Banten.[5] Dalam rangka menegakkan klaimnya, Sultan Tirtayasa kemudian menyelenggarakan serangkaian kampanye militer untuk menaklukan wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada klaimnya. Untuk mengatasi kampanye militer Banten, Mataram dibawah sultan Amangkurat I kemudian memperkuat pertahanan, diantaranya adalah di wilayah Cimapag yang saat itu termasuk ke dalam wilayah tanggungjawab Jayasasana. Maka Mataram kemudian mengangkat Jayasasana sebagai senapati atau panglima dengan gelar Wira Tanu (Wira Tanu artinya panglima atau senapati). Dalam masa genting seperti itu, beberapa kesatuan masyarakat yaitu:
Bersepakat untuk menyatakan bahwa wilayahnya bersatu menjadi satu negeri dan sepakat untuk mengangkat Jayasasana (yang sudah mendapat gelar Wira Tanu) untuk menjadi dalem. Karena sudah diangkat sebagai dalem (tidak lagi hanya senapati) Wira Tanu kemudian menggunakan gelar Aria, sehingga nama lengkapnya menjadi Raden Aria Wira Tanu.[5] Berbeda dengan Bandung atau Sumedang, Cianjur merupakan kabupaten yang pernah berdiri sendiri (merdeka) meskipun secara de jure masih di bawah Mataram. Ini terjadi karena adanya Pemberontakan Trunajaya di tahun 1674 yang menyebabkan Mataram kehilangan kendali atas wilayah-wilayahnya yang jauh seperti wilayah yang dipimpin oleh Wira Tanu. Cianjur lalu secara de jure menjadi bagian dari wilayah VOC setelah adanya perjanjian antara VOC dengan Mataram yang menyatakan pengakuan Mataram terhadap wilayah VOC yang meliputi tepian timur sungai Cisadane dan tepian barat sungai Citarum di tanggal 19-20 Oktober 1677, dengan imbalan bantuan tentara dan persenjataan dari VOC untuk menaklukan Trunajaya.[1][6] Penentuan Hari Jadi CianjurSeperti telah diketahui, Cianjur pada awalnya adalah wilayah Mataram setelah Sumedang Larang bergabung dengan Mataram. Pada tahun 1674-1677 bisa disebutkan sebagai 3 tahun kemerdekaan dari kekuasaan Mataram, dikarenakan pada tahun 1674 kendali Mataram atas wilayah-wilayahnya sudah melemah karena fokus berperang dengan Trunajaya, sedangkan pada tahun 1677 Mataram secara yuridis telah mengakui wilayah di antara sungai Cisadane-Citarum sebagai wilayah VOC.[6] Namun karena keterbatasan VOC, VOC belum bisa menjajah wilayah yang didapatnya dari Mataram secara intensif. Jadi meskipun secara de facto wilayah tersebut merdeka tetapi setelah tahun 1677 secara de jure status wilayah Wira Tanu adalah jajahan VOC. Pada tanggal 2 Juli 1677, Trunojaya menyerbu istana Plered dan Amangkurat I kabur bersama putranya Mas Rahmat. Peristiwa ini dijadikan titik tolak lepasnya wilayah-wilayah Mataram secara de facto. Berita penyerbuan Trunajaya ini baru sampai ke Cianjur pada tanggal 12 Juli 1677, sehingga secara de facto pada tanggal 12 Juli 1677 Cianjur merdeka dari Mataram.[7] Kemerdekaan yang dicapai sebenarnya hanya de facto karena secara de jure, daerah Parahyangan sebelah barat sungai Citarum menjadi wilayah VOC berdasarkan perjanjian tanggal 19-20 Oktober 1677. Namun karena VOC belum mampu mengelola daerah jajahannya sehingga Wira Tanu pada waktu itu berhasil menjadi dalem secara mandiri tanpa diangkat oleh VOC maupun oleh raja/sultan yang lain. Sehingga menurut catatan VOC/Belanda, bupati daerah Cianjur yang pertama bukanlah Wira Tanu I tetapi anaknya yaitu Wira Tanu II.[1][8] Masa SenjaSetelah lanjut usia Wira Tanu menetap di kampung Majalaya dan mendirikan pondok pesantren untuk menyiarkan Islam sampai ia wafat sekitar tahun 1691 Masehi dan dimakamkan di Cikalongkulon. Ia meninggalkan putra-puteri sebanyak 11 orang yaitu:[9]
Wira Tanu II pada 10 Desember 1691 memindahkan pusat pemerintahan dari Cikundul ke Pamoyanan, dimana ia membangun kediamannya di tepian sungai Ci Anjur, sehingga wilayah yang dipimpinnya dikenal dengan nama Cianjur.[5][7] Kontroversi Gelar Raja GagangBeberapa sumber menyatakan bahwa Wira Tanu I memiliki gelar Raja Gagang[10][11]. Dalam narasi legenda yang banyak dikisahkan, konon gelar itu didapatkan dari wilayah-wilayah bawahan Pajajaran yang ingin dipersatukan kembali, lalu mengangkat sosok Raja Gagang, yaitu Aria Wira Tanu I sebagai simbol pemersatu[12]. Sumber tunggal yang dirujuk terkait keberadaan Raja Gagang ini adalah catatan De Haan dalam buku Priangan yang memuat laporan Scipio berdasarkan Daag Register Kastil Batavia tertanggal tanggal 14 Januari 1666[13][14]. Namun, tafsiran terkait konteks siapa Raja Gagang yang dimaksud dalam Daagh Register itu tampaknya keliru sehingga perlu ditinjau ulang jika dianggap sebagai sejarah.[15] De Haan sendiri mengomentari dalam sebuah catatan kaki bahwa konteks percakapan isi surat yang dilaporkan oleh Scipio itu, nama "Raja Gagang" mungkin kesalahan eja dari "Ratu Agung" yang merujuk pada "Raja Belanda".[15] Bantahan terhadap pernikahan dengan jinAda versi lain yang menyatakan bahwa sebenarnya R. A. Wira Tanu I tidak menikah dengan jin tetapi menikah dengan seorang wanita yang berasal dari India. Karena kecantikannya dan langkanya orang-orang zaman itu melihat orang India, maka banyak yang berspekulasi bahwa wanita yang dinikahi oleh Wira Tanu adalah jin. Apalagi setelah anak-anaknya dibawa oleh ibunya dan diberitakan hilang.[butuh rujukan] ReferensiCatatan Kaki
|