WidayatWidayat merupakan salah satu seniman ternama dari Indonesia. Dia disebut sebagai salah satu pelukis Jawa yang berpengaruh di abad ke-20.[1] Namanya tak seterkenal Affandi dan Hendra Gunawan. Namun, pelukis ini melahirkan murid-murid yang kini menjadi pelukis kontemporer.[2] Kehidupan PribadiDia lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, tanggal 9 Maret 1923. Widayat wafat dalam usia 83 tahun, pada tanggal 22 Juni 2002. Ibunya adalah seorang pembatik.[3] Widayat banyak mendapat inspirasi dari pengalaman masa kecilnya. Ketika masih kecil dia sering mendengarkan kisah dari mitologi Jawa sambil memperhatikan ibunya membatik. Tidak mengherankan jika Widayat sudah akrab dengan dunia lukisan. Ia disebut sebagai pelukis serbabisa.[4] Berbagai macam gaya melukis hingga tema terhadap objek lukisannya selalu berbeda-beda. Falsafah hidupnya adalah berdoa, berkarya, dan beramal.[5]Karya lukisnya banyak menampilkan flora dan fauna karena terinspirasi dari pengalaman dia saat bekerja di bidang kehutanan. Gaya lukisannya adalah batik kontemporer. Widayat juga banyak mengekspresikan seninya melalui seni patung, kriya, dan mixed media. Pameran karya-karyanya pernah diselenggarakan, baik di dalam maupun luar negeri. Karya-karyanya pernah dipamerkan di Singapore Art Museum pada Oktober 2007.[6]Pameran yang bertajuk "Widayat Between Worlds: A Retrospective” ini menampilkan lebih dari 70 lukisan, pahatan, dan keramik. Beberapa penghargaan pun telah disandangnya dalam bidang seni rupa. Di antaranya, karya “Kali Bawang” mendapatkan penghargaan dari Pemerintah RI.[7] PendidikanSetelah tamat HIS (Hollandsche Inlandsche School, Sekolah Belanda) di Trenggalek tahun 1937, Widayat pindah dan melanjutkan ke sekolah menengah kejuruan di Bandung, Jawa Barat. Dia belajar melukis pertama kali kepada pelukis amatir yang biasa menjual suvenir lukisan di jalanan Kota Bandung. Di sana, dia bertemu dengan pelukis Mulyono. Setiap Minggu Widayat belajar melukis kepada Mulyono.[8] Dari tahun 1939 hingga 1942, Widayat bekerja di Palembang sebagai juru ukur pegawai kehutanan. Setelah itu, ia bekerja sebagai juru gambar membuat peta rel kereta api Palembang. Tahun 1945, ia bergabung dengan PMC (Penerangan Militer Chusus), dengan pangkat Letnan Satu. Selanjutnya, ia masuk ke divisi Garuda Sumatera Selatan tahun 1945-1947, sebagai pimpinan Seksi Penerangan. Seksi militer ini membuat Widayat bisa meneruskan kembali kegemarannya melukis lewat pemublikasian poster perjuangan.[9] Tahun 1950, Widayat masuk dan menjadi satu di antara 45 mahasiswa ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) pertama yang diterima di lembaga baru tersebut. Dia mendapat rekomendasi dari Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar (KUDP) yang berkaitan dengan jasanya sebagai prajurit di Sumatera Selatan (1945-1947). Tahun 1954, Widayat dapat menyelesaikan studinya. Dia bersama rekan seangkatannya, yakni Sayoga, G. Sidharta, Murtihadi, dan Suhendra mendirikan PIM (Pelukis Indonesia Muda) di Yogyakarta. [10] Belajar di JepangSambil aktif di PIM, Widayat mengajar di ASRI. Tahun 1960, Widayat belajar ke Jepang hingga tahun 1962 untuk memperdalam bidang seni keramik, ikebana, pertamanan, dan grafis. Banyak karyanya saat itu yang menampilkan kenangan terhadap negeri Jepang dan bunga sakura, seperti "Sakura in Inuyama" (1962) dan "Self-Portrait" (1962). Sepulang dari Jepang, gaya melukisnya mengalami perubahan yang cenderung menjadi abstrak. Begitu kembali ke Yogyakarta, ia ditunjuk sebagai ketua Jurusan Seni Dekorasi (kini bernama Desain Ruang Dalam) dari tahun 1962-1983. Museum PribadiDia menetap di Magelang hingga akhir masa hidupnya. Widayat mendirikan museum pribadinya tahun 1994 di Kota Mungkid Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Museum yang memajang karyanya ini terdiri atas dua galeri atas nama kedua istrinya.[11] Lokasinya tidak jauh dari Candi Borobudur. Hasil karya Widayat, antara lain,[12]
Referensi
|