Waryo
Ki Waryo (ejaan lama: Warjo) atau dikenal juga dengan nama Ki Waryo Sela merupakan seorang seniman multitalenta dari Cirebon yang lahir di Bongas, Sumberajaya, Majalengka, ayahnya merupakan Ki Miskat (Ki Empek) yang juga dikenal sebagai seniman serba bisa pada masanya. Ki Waryo berasal dari keluarga seniman legendaris Cirebon yang dekat dengan kalangan masyarakat biasa bernama Ki Koncar (nama aslinya Ki Konya) yang turut mempengaruhi kesenian tari wilayah Priangan pada sekitar periode akhir 1800-an hingga awal 1900-an, hasil karya seni leluhur Ki Waryo ini bahkan dikagumi oleh Bupati Sumedang, Pangeran Arya Soerjakoesoemahadinata (1882-1919). Ki Koncar bersama dengan seniman Cirebon lainnya yakni Ki Wentar kemudian diminta oleh Pangeran Aria Soerjakoesoemahadinata untuk melatih para penari di lingkungan keraton Sumedang Larang[1] Riwayat HidupKi Waryo dilahirkan dari keluarga besar seniman (keluarga besar ayahnya), mereka dahulu pernah berjaya dan memiliki beberapa bidang tanah di sekitar Bongas, Sumberjaya dan Jatiwangi, kabupaten Majalengka namun sampai kemudian jatuh miskin. Ki Miskat ayah Ki Waryo sebelum menikah dengan ibu Junah (ibunda Ki Waryo) beliau pernah menikah dengan perempuan lainnya, dari istri pertamanya beliau dikaruniai dua orang anak perempuan, pada sekitar awal tahun 1965 rumah tangga Ki Miskat mengalami cobaan dan akhirnya harus bercerai dengan istri pertamanya, beliau kemudiam menikah dengan ibu Junah (ibunda Ki Waryo) dalam keadaan yang serba kekurangan. Pernikahan Ki Miskat dengan ibu Junah dikaruniai lima orang anak, dua anak lelaki dan tiga orang anak perempuan semuanya dilahirkan dan dididik atas dasar kasih sayang namun karena kondisi ekonomi pas-pasan yang bersekolah hingga tamat Perguruan Tinggi hanya Ki Waryo seorang. Pada masa itu Waryo kecil yang sedang bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Negeri Bongas 2 harus terseok-seok membagi waktu antara kehidupan di panggung sebagai seniman cilik dan sebagai seorang pelajar, beruntung para guru memahami kondisi Waryo kecil pada saat itu yang berasal dari keluarga seniman, Waryo kecil selalu mendapat perhatian dan apresiasi guru-gurunya jika berkenaan dengan persoalan kesenian sehingga jika Waryo kecil ijin dalam jangka waktu lama para guru mengetahui bahwa Waryo kecil sedang berkeliling daerah untuk manggung, kehidupan berat membagi waktu antara manggung keliling, sekolah dan rumah yang dijalani oleh Waryo kecil pernah mencapai puncaknya ketika dia sangat merindukan sekolah dan ibunya karena tidak berjumpa selama kurang lebih satu minggu, Waryo kecil yang pada saat itu sedang manggung di daerah Bojong Banteng (kini masuk wilayah desa Randegan Kulon) sekitar Jatitujuh, Majalengka memutuskan kabur dari panggung untuk pulang menemui ibu, pada saat istirahat dzuhur dengan membawa uang receh hasil saweran menari di panggung yang dibungkus dengan topi kupluk, Waryo kecil kabur berjalan kaki melewati sawah, sungai besar dan kebun kosong, menelusuri rute panjang yang telah dia ingat pada saat berkeliling manggung, sementara Waryo kecil sedang dalam usaha pelariannya untuk pulang bertemu dengan ibunda, kondisi panggung di Bojong Banteng geger karena diketahui Waryo kecil sudah tidak ada, salah satu Nayaga (penabuh gamelan) yang mencari Waryo kecil dengan sepeda ontel berhasil menemukannya, Waryo kecil pada saat itu hanya bisa menangis meminta untuk diantarkan pulang bertemu ibu. Pada saat kelas empat Sekolah Dasar (SD) Waryo kecil paling suka jika ditunjuk menjadi petugas upacara terutama pemimpin upacara, dia sangat bangga jika dirinya bisa tampil di depan kawan dan guru-gurunya, selain itu Waryo kecil juga menyukai kegiatan Pramuka, dia sering mendapat prestasi dari berbagai tingkat dan keterampilan, kegiatan Pramuka itu berlanjut sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) dari kegiatan tingkat ranting hingga nasional. Pada tahun 1978 (pada usia 11 tahun) Waryo kecil bersama dengan bapaknya dan Ki Sana (paman) berkempatan untuk mengikuti festival seni tradisional bertaraf internasional di Jakarta, mereka pentas mewakili seniman Cirebon dipimpin oleh bapak Endo Suanda, festival seni inilah yang kemudian memicu Waryo untuk tetap konsisten dalam berkesenian dan ingin bersekolah setinggi-tingginya, hal tersebut dikarenakan Waryo bisa melihat para maestro seni tradisional berkelas dunia. Pada saat tamat dari Sekolah Dasar (SD) Negeri Bongas 2, Waryo kecil nyaris putus sekolah karena tidak ada biaya, dia sempat membantu adik ibunya (paman) yang bernama Rasa dan ibunya hampir menjadi tukang kayu, tidak lama kemudian Waryo kecil mendapat kesempatan bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) PGRI dan berhasil lulus, ketika Waryo kecil bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) PGRI dia berusaha mencari cara agar dirinya bisa diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri, dengan usahanya akhirnya dia bisa masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Jatiwangi. Pada saat baru masuk kelas satu di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Jatiwangi, Majalengka, dia sudah dikenal oleh teman-temannya bisa bermain kesenian, dari situlah yang mengantarkan Waryo bertemu dengan para sahabat yang hebat dan mendukung langkahnya, mereka aktif di gamelan dan seni lawak, bahkan teman semejanya yang bernama Deni Mardiana (Deni Oncel) sangat terinspirasi dengan apa yang Waryo lakukan dalam berkesenian, Deni Mardiana merupakan seorang kristiani yang taat dari kalangan keluarga guru, sekarang Deni Mardiana disamping menjadi guru dia juga konsisten menjadi seniman di Bandung hingga saat ini. Deni Mardiana inilah yang terus menyemangati seorang Waryo kecil untuk kuliah, karena pada saat Waryo kecil lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Jatiwangi dia tidak berniat untuk melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi seperti mimpi sebelumnya saat dia terlibat dalam festival seni tradisional bertaraf internasional pada tahun 1978 di Jakarta, semua itu dikarenakan faktor biaya, akan tetapi teman-temannya termasuk teman semejanya yaitu Deni Mardiana terus menyemangatinya. Deni Mardiana juga turut membantu Waryo dalam usahanya masuk ke Perguruan Tinggi dengan mmembelikan blangko pendaftarannya, akhirnya Waryo ikut mencoba dan diterima di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta jurusan seni rupa yang merupakan cita-citanya sejak dia masih dibangku Sekolah Dasar (SD) Bongas 2, Sumberjaya, Majalengka, tetapi karena faktor ekonomi Waryo tidak mengambil kesempatan itu, kemudian atas saran teman yang lain sesama aktifis Pramuka Waryo disarankan untuk mencoba masuk kuliah di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung, dia mencoba test dengan Deni Mardiana sahabatnya, saat itu Waryo mencoba untuk mengambil jurusan Karawitan sementara Deni Mardiana mengambil jurusan Teater. Mereka akhirnya lulus tes dan diterima, akan tetapi akhirnya mereka berpisah karena Deni Mardiana lebih memilih saran orang tuanya untuk mengambil kuliah di Institut Kesenian dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung. Pada masa awal perkuliahan Waryo sempat frustasi hingga Indek Prestasinya (IP) buruk, selain itu Waryo juga berusaha bertahan dengan kondisi keuangan yang pas-pasan, di semester berikutnya Waryo mampu bangkit dan dipercaya menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa (HIMA) jurusan Karawitan tahun 1989, setelah lulus program Diploma 3 (D3) di ASTI Bandung, Waryo melanjutkan ke program Sarjana (S1) pada tahun 1991 di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Program Sarjana (S1) Waryo sempat terseok-seok karena dia harus membagi waktunya antara manggung dan kuliah, hingga akhirnya dia berhasil menyelseikan skripsinya pada akhir 1995 dan diwisuda awal 1996. Ki Waryo menikah dengan seorang wanita yang berasal dari Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang bernama Sri Hartati pada tahun 1996 dan telah dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Ratih Wulandari Pramudya Wardani yang juga menggeluti bidang kesenian. Topeng CirebonKi Waryo berpendapat bahwa Topeng Cirebon memiliki peranan penting dalam membentuk sejarah Cirebon terutama pada masa kesultanan Cirebon dipegang oleh Syarief Hidayatullah sebagai Sultan dan Raden Mas Said sebagai wakilnya[2] Referensi |