Warseno Slank
Latar belakangWarseno lahir dan besar di Klaten, Jawa Tengah. pada usia ke 59 Sejak usia muda sudah belajar mendalang. Mengawali debutnya sebagai dalang ketika menginjak usia 16 tahun. Kemampuannya itu berkat didikan orang tuanya, Ki Harjadarsana yang juga merupakan dalang terkenal di Kabupaten Klaten Jawa Tengah (tahun 1950-1975). Di samping itu ia pernah belajar pedalangan selama dua semester di STSI Surakarta. Gaya pakelirannya pada awalnya mengikuti gaya kakaknya, Ki Anom Suroto. Namun kreatif dia dapat menemukan ciri khas gaya pakelirannya yang komunikatif dan selalu dekat dengan kalangan muda yang cenderung hura-hura atau slengekan. Warseno terkadang mengkolaborasikan berbagai musik etnis dan Barat dan banyak melakukan eksperimen kreatif dengan memadukan beberapa aliran musik seperti rock, punk, rap yang dipadukan dengan gamelan. Hasilnya adalah musik gamelan kolaboratif yang digandrungi kawula muda, wayang campursari.[4][5] Merasa dulunya dia yang memprakarsai pakeliran hura-hura dan kolaboratif yang memadukan berbagai alat musik barat dan etnik, pada akhirnya dia berketetapan mengembalikan pakeliran wayang pada proporsi sebagaimana aslinya. Ketetapannya untuk back to basic didorong oleh ekses pendangkalan-pendangkalan estetika karena tidak disertai dengan suatu pencarian yang mendalam, hanya sekadar ikut-ikutan. Ki Warseno mendedikasikan segala kemampaun berkeseniannya untuk menegakkan moral sebagai makhluk Tuhan. Hal ini diwujudkan tidak saja dalam berkesenian namun dia merasa pula bertanggungjawab menyeberluaskan pandangan berkeseniannya itu dengan mendirikan sebuah Stasiun Radio Suara Slank yang acaranya didominasi kesenian dan kebudayaan Jawa. Di sela kepadatan jadwal mengajar dan mendalang, setiap malam Sabtu Legi Warseno mengadakan pementasan wayang kulit di rumahnya untuk mengenang hari kelahirannya dengan tajuk Setu Legen.[6][7] PenghargaanLihat pulaReferensi
|