Warih Wisatsana
Latar belakangSaat duduk di bangku SMP dan SMA, ia sudah menulis puisi. Pergaulannya dengan puisi terus berjalan seiring dengan dihabiskannya masa remaja di beberapa kota, Pontianak dan Klaten. Ketika memasuki Bali awal tahun 1980-an, kecintaannya pada puisi makin bertumbuh. Sebagai penyair yang lahir di Cimahi, tapi kepenyairannya lahir di Bali. saat ia bergabung bersama Komunitas Sanggar Minum Kopi yang membuatnya lebih dekat dengan dunia sastra. Di sanggar itulah ia bergaul dengan para seniman. Dari merekalah ia memperoleh pengalaman mengeksplorasi diri, sekaligus menjadikan sebagai kesadaran bersama. Spirit tradisi dan seni di Bali yang pada saat bersamaan harus berhadapan dengan tawaran modernisasi disadari Warih menjadi kekuatan baginya untuk menempa kepekaannya terhadap dunia, sekaligus mempertegas keinginannya untuk memberikan diri sepenuhnya menjadi seorang penyair.[4][5] Sekitar tahun 1983-1984, Warih menentukan pilihan hidupnya sebagai penyair. Pertemuannya dengan penyair senior Umbu Landu Paranggi ketika masih bekerja sebagai wartawan di Bali Post semakin memantapkan pilihannya pada puisi yang menjadi bekal pada penciptaan karya-karyanya. Puisi-puisi Warih memiliki kekuatan diksi dan rima pada tiap-tiap bagiannya. Ia mempublikasikan karya-karyanya ke berbagai massa, jurnal, serta beberapa antologi.[6] Kiprah KepenyairanSebagai penyair, Warih meraih Taraju Award, Borobudur Award, Bung Hatta Award, Kelautan Award, SIH Award, dan pada tahun 2020 menerima Anugerah Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali. Diundang sebagai pembicara dan membaca karya pada festival nasional dan internasional, semisal; Istiqlal International Poetry Reading (1995), Pesta Sastra Utan Kayu Internasional Literary Biennale (2003 dan 2009), Winternachten Den Haag (1997), Inalco Paris (1998), Ubud Writers and Readers Festival, Printemps des Poetes (Indonesia-Perancis), Surabaya Festival Internasional, Poetry and Sincerity (Festival Puisi Internasional Dewan Kesenian Jakarta), Jakarta International Literary Festival (JILF), Bersama Joko Pinurbo di Utan Kayu (2002), Tegal Mas Island International Poetry Festival (2020), Puisi Cinta untuk Indonesia persembahan Balai Pustaka dan Titimangsa Foundation (2020),Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) 2020 di Tanjungpinang, Bintan, dll. Memberi opening speech pada gala opening KEMBALI 2020: A Rebuild Bali Festival, sebuah festival virtual yang menyatukan elemen-elemen terbaik dari Ubud Writers & Readers Festival dan Ubud Food Festival. Puisinya diterjemahkan dalam bahasa Belanda, Italia, Inggris, Jerman, Portugal, dan Perancis. Buku kumpulan puisi tunggalnya; Ikan Terbang Tak Berkawan (Kompas, 2003), May Fire and Other Poems (Tiga Bahasa, Lontar, 2015), Batu Ibu (KPG, 2019) meraih Lima Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 dan Buku Puisi Rekomendasi Tempo 2018, Kota Kita (Sahaja Sehati, 2018) merupakan Lima Besar Buku Puisi Pilihan Anugerah Hari Puisi 2018. Kelananya di Paris dibukukan dalam Rantau dan Renung II (KPG dan Forum Jakarta – Paris, 2002) bersama 20 seniman dan budayawan lainnya, antara lain: Toeti Heraty, Sitor Situmorang, Rahayu Supanggah, Slamet Abdul Syukur, dll. Pada tahun 2016, tergabung sebagai Anggota Pleno Tim Kerja Kongres Kesenian Indonesia (KKI) III. Ia juga editor buku, semisal: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (Michel Picard), Waktu Tuhan - Made Wianta (2008), Buna: Suka Duka Sang Kelana, dan lainnya. Tim penulis buku pelukis Srihadi Soedarsono, pelukis Van Oel, pelukis Affandi, perupa Agus Budiyanto dan pelukis Koempoel, pelukis Paul Husner, pelukis Hanafi, biografi Ristra Cosmetics, Museum Pasifika, Biografi pelukis Tedja Suminar, Kumpulan Tulisan BBM 2019 (Kemendikbud RI), penulis liputan Europalia Indonesia 2018 (Belgia, Belanda, Prancis) dll. Pernah berkolaborasi dengan perupa seperti Made Wianta, Nyoman Erawan, koreografer Nyoman Sura, koreografer Miroto dan lainnya, serta sebagai sutradara pertunjukan, antara lain: Odipus Sang Raja bersama koreografer Nyoman Cerita dan Nyoman Wenten. Sempat menjadi koordinator budaya Lembaga Kebudayaan Perancis, Alliance Francaise (AF) Denpasar, kini sebagai kurator Bentara Budaya. Sebagai Kurator dan Penulis Seni Rupa
Puisi, cerpen, dan tinjauan seninya dimuat di Kompas, Majalah Horizon, Kalam, Tempo, Bali Post, Tribun Bali, Le Banian, Jentayu, majalah ESENSI terbitan Badan Bahasa, juga Majalah KULTUR (Kemendikbud), dll. Bersama Jean Couteau menulis buku biografi Agung Rai (Museum ARMA). Sebagian esainya hadir pada laman: www.wisatsana.wordpress.com. Menekuni dunia jurnalistik sedini tahun 2003, mendirikan jurnal sastra budaya CAK, sempat mengelola ruang sastra sebuah koran di Bali, serta kini aktif pada laman seni Katarupa.Id. Ia pernah bergabung dalam Sanggar Minum Kopi (SMK) di Denpasar, aktif menyelenggarakan apresiasi sastra keliling Bali termasuk lomba menulis dan baca puisi. Warih juga selama puluhan tahun mengabdi sebagai guru ekstrakurikuler sastra dan jurnalistik di SMP Negeri 2 Denpasar. Serta sempat pula menjadi dosen luar biasa pengampu matakuliah Sanggar Sastra di IKIP PGRI Bali, dan sebagai dosen tamu di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Sebagai penggagas dan menyelenggarakan program Festival Film Internasional Bentara Budaya Bali (2013), kerja sama antara Bentara Budaya Bali, Udayana Scince Club dan pusat-pusat kebudayaan negara sahabat, semisal Goethe Institut, IFI, Erasmus Huis, Japan Foundation, dll. Karya
Penghargaan
Referensi
|