Wanita dan anak-anak dahulu"Wanita dan anak-anak dahulu" adalah sebuah perkataan yang menyatakan bahwa wanita dan anak-anak berhak diselamatkan pertama jika hidup sekelompok orang saat itu terancam. Perkataan ini sering dikaitkan dengan peristiwa tenggelamnya RMS Titanic pada tahun 1912. SejarahPraktik ini berasal dari tindakan ksatria para tentara selama tenggelamnya kapal tentara HMS Birkenhead pada tahun 1852, yang dikisahkan kembali di berbagai surat kabar pada masa itu dan dalam puisi karya Rudyard Kipling, "Soldier an' Sailor Too." Saat itu, kapten memerintahkan para istri dan anak-anak di kapal (totalnya 20 orang) memenuhi satu-satunya sekoci kecil yang ada sehingga menyelamatkan mereka, sementara kaum pria tetap di kapal sampai tenggelam. Hanya sekitar 25% pria yang selamat dari bencana tersebut dan tidak satupun awak senior kapal yang selamat. Frasa ini pertama muncul dalam sebuah novel karya William Douglas O'Connor berjudul Harrington: A True Story of Love in 1860.[1] Meski tidak pernah menjadi bagian dari hukum maritim internasional, frasa ini semakin populer setelah dipakai di RMS Titanic,[2] ketika, sebagai akibatnya, 74% wanita dan 52% anak-anak selamat, tetapi hanya 20% pria yang selamat.[3] Beberapa petugas Titanic salah menafsirkan perintah Kapten Smith, dan mencoba mencegah pria menaiki sekoci.[4][5] Seharusnya wanita dan anak-anak naik pertama, diikuti pria yang menempati ruang tersisa. Karena begitu sedikit pria yang selamat dari musibah Titanic, mereka yang selamat dicap sebagai pengecut, termasuk J. Bruce Ismay (ketua dan direktur pelaksana White Star Line).[6] KritikDr David Benatar memandang aturan "wanita dan anak-anak dahulu" (serta wajib militer) sebagai bukti apa yang Warren Farrell sebut sebagai "keterbuangan pria", ketika perlindungan nyawa seorang wanita lebih diutamakan ketimbang nyawa seorang pria.[7] Kebijakan ini, terutama pada insiden semacam tenggelamnya Titanic, telah mengakibatkan naiknya jumlah janda atau anak yatim yang menghadapi masalah ekonomi dan sosial. Banyak pria yang menjadi pewaris orang tua mereka.[butuh rujukan] Di bawah perjanjian warisan pada umumnya, ketika si pria meninggal, warisan tersebut diteruskan kepada anak pria tersebut, sementara istri yang ditinggalkan tidak berhak menerima atau mengendalikan aset warisan tersebut.[butuh rujukan] Dengan kata lain, mereka tidak bisa hidup tanpa uang. Catatan kaki
Lihat pulaPranala luar |