Vyacheslav Volodin
Vyacheslav Viktorovich Volodin (bahasa Rusia: Вячеслав Викторович Володин, pengucapan bahasa Rusia: [vʲɪt͡ɕɪsˈɫaf ˈvʲiktərəvit͡ɕ vɐˈɫodʲin]; lahir 4 Februari 1964) adalah seorang politisi Rusia yang saat ini menjabat sebagai Ketua Duma Negara sejak 5 Oktober 2016. Volodin adalah mantan pembantu Presiden Vladimir Putin. Volodin juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Rusia Bersatu. Ia juga pernah menjadi anggota Duma Negara dari 1999 sampai dengan 2011 dan dari 2016 sampai dengan sekarang. Pada tahun 2010, Volodin pernah ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri Rusia. Selain itu ia juga merupakan mantan Wakil Kepala Staf Presiden Rusia[1]. Didalam dunia pelayanan sipil Rusia, ia dianugerahi pangkat sebagai Konsilor Negara Aktif Kelas Pertama Federasi Rusia[2]. Volodin pula yang menjadi mesin Putin dalam pencalonannya sebagai Presiden Rusia untuk periode ketiganya[3], sehingga ia dikenal sebagai orang dalamnya Putin[4][5]. Kehidupan AwalVyacheslav Volodin dilahirkan pada 4 Februari 1964 di Desa Alexeyevka, Distrik Khvalynsky, Oblast Saratov, Uni Soviet. Ayahnya adalah seorang kapten kapal dan meninggal di usia 51 tahun pada tahun 1969. Setelah kematian ayahnya Volodin dibesarkan oleh ayah tirinya[6][7]. Ibunya menempuh pendiidkan di Kolese Pedagogig Saratov. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ibu Volodin menolak tawaran pekerjaan di Leningrad dan tetap berada di kampung halamannya, karena ia tidak ingin meninggalkan ibunya yang sudah tua hidup sendiri. Ibu Volodin bekerja sebagai seorang guru sekolah dasar di daerah pedesaan Oblast Saratov[6][8][9]. Saudara perempuan Volodin pula adalah seorang pegawai firma konsultan dan saudara laki-lakinya adalah pensiunan tentara. Saudara-saudaranya berdasarkan penuturan Volodin tinggal di Oblast Saratov. Volodin menyelesaikan pendidikan teknik mekaniknya dari Fakultas Organisasi dan Teknologi Institut Mekanisasi Pertanian Saratov pada tahun 1986. Setelah itu ia menyelesaikan pendidikan hukum dari Akademi Pelayanan Negara Rusa dibawah Presiden Federasi Rusia pada tahun 1995. Volodin berhasil mendapatkan gelar Ph.D di bidang hukum pada tahun 1996 setelah menyelesaikan pendidikannya di Institut Kementerian Dalam Negeri St. Petersburg dengan sebuah disertasi yang berjudul " Sebuah Entitas Konstituen Rusia : Permasalahan-permasalahan Kekuasaan, Proses Legislasi dan Administrasi". Volodin kemudian bekerja sebagai seorang dosen dan asisten profesor ketika ia sedang menempuh pendidikan di St. Petersburg[10]. Karir PolitikTingkat RegionalPada tahun 1990, Volodin terpilih sebagai anggota dari Duma Kota Saratov. Sejak tahun 1992, Volodin ditunjuk sebagai Wakil Kepala Administrasi Saratov. Pada tahun 1994, Volodin dipercaya menjadi Wakil Ketua Duma Oblast Saratov. Karirnya semakin meningkat ketika ia dipercaya menjadi Wakil Gubernur Saratov pada tahun 1996[10]. Wakil Ketua Duma Negara (1999-2010)Dalam Pemilihan Umum Rusia 1999, Volodin merupakan salah satu calon anggota Duma dari blok politik Tanah Air- Semua Rusia. Setelah terpilih menjadi anggota Duma Negara, Volodin kemudian ditunjuk menjadi Wakil Ketua Duma Negara dan pada tahun 2001 ia ditunjuk sebagai Ketua Fraksi Tanah Air - Semua Rusia[10]. Pada tahun 2003 ia kembali mencalonkan diri sebagai anggota Duma dan terpilih mewakili daerah pemilihan Balakovo, Oblast Saratov. Dalam Duma Ke-4 ini ia kembali ditunjuk sebagai Wakil Ketua Duma Negara dan ditunjuk menjadi Wakil Kepala Fraksi Rusia Bersatu yang didirikan pada tahun 2001. Pada tahun 2005 ia juga ditunjuk menjadi Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Rusia Bersatu[10]. Pada tahun 2007 ia kembali terpilih menjadi anggota Duma Negara Rusia dan berhasil mempertahankan jabatannya sebagai Wakil Ketua Duma Negara hingga bulan Oktober 2010. Wakil Perdana Menteri Rusia (2010-2012)Pada 21 Oktober 2010, Volodin ditunjuk menjadi Wakil Perdana Menteri Rusia dibawah kepemimpinan Presiden Dmitry Medvedev, setelah Sergey Sobyanin diberhentikan karena diangkat menjadi Walikota Moskwa dan sebagai Kepala Staf Kantor Eksekutif Presiden Rusia. Wakil Kepala Staf I Kantor Eksekutif Presiden Rusia (2012-2016)Bapak Perangkat Lunak Mata-MataSetelah Revolusi Salju yang menentang hasil dari pemilihan umum legislatif Rusia tahun 2011 yang diorganisir oleh beberapa pihak termasuk Alexei Navalny yang menggunakan Facebook, Twitter dan Blog LiveJournal, Volodin yang merupakan Wakil Perdana Menteri pada saat itu ditunjuk menjadi Wakil Kepala Staf I Kantor Eksekutif Presiden Rusia yang bertanggung jawab untuk urusan dalam negeri, ditugasi untuk melawan langkah-langkah Revolusi tersebut dan mulai mengendalikan internet menggunakan Prisma (bahasa Rusia: «Призма»)yang secara aktif melacak aktivitas media sosial yang diperkirakan akan meningkatkan ketegangan sosial, memicu huru-hara, sentimen unjuk rasa dan ekstrimis dengan melakukan monitoring secara real time diskusi-diskusi dalam media blog dan jaringan sosial dan melakukan pelacakan media sosial yang kemudian menjadi pemicu Badan Penelitian Internet Rusia[11][12]. Walaupun pada kenyataannya Volodin secara aktif mendukung Vladimir Putin (sebagai contoh, Volodin sering mengatakan "No Putin, No Russia")[13] dimana banyak ahli berbicara tentang ambisinya menjadi Presiden Rusia. Sehingga pada 2012, salah satu dari temannya dalam sebuah wawancara dengan Reuters mengatakan bahwa mereka mempertimbangkan Volodin sebagai Presiden masa depan Rusia, karena ia "berkeinginan untuk terbang lebih tinggi". Sedangkan teman Volodin lainnya mengatakan bahwa "seorang pribadi luar biasa yang disiang harinya merencanakan hal-hal untuk sore harinya. Volodin tidak pernah berpikir rencana untuk sore hari – karena ia punya rencana untuk hidupnya. Saat ia menjadi Wakil Walikota Saratov, ia sering mengatakan kepada teman-temannya bahwa kelak ia akan menjadi Presiden Rusia"[14]. Sebagai tambahan di tahun 2015, agamawan Vsevolod Chaplin, berkomentar dalam sebuah artikel di Izvestia tentang kehidupan pribadi sejumlah figur politik Rusia, juga mengatakan tentang ambisi Volodin untuk menjadi presiden[15]. Sanksi-sanksiPada 28 April 2013, setelah Referendum Status Krimea, Menteri Keuangan Amerika Serikat menempatkan Volodin sebagai Specially Designated Nationals List (SDN), yaitu daftar individu yang disanksi karena Volodin adalah "anggota ring dalam kepemimpinan Rusia"[16][17][18][19][20]. Sanksi-sanksi ini juga membekukan aset-aset Volodin di Amerika Serikat dan melarangnya untuk memasuki wilayah Amerika Serikat[19][21]. Pada 12 Mei 2013, Volodin juga ditambahkan kedalam daftar sanksi Uni Eropa karena perannya dalam Krisis Krimea 2014[22]. Volodin dilarang masuk ke negara-negara anggota Uni Eropa dan segala asetnya di Uni Eropa dibekukan. Sanksi kepada Volodin juga dikeluarkan oleh Pemerintah Britania Raya pada tahun 2014 karena keterkaitan Volodin dalam Perang Rusia-Ukraina[23]. Ketua Duma Negara RusiaPemilihan2016Untuk pertama kalinya rumor yang menyatakan Volodin akan menjadi Ketua Duma Negara baru setelah Pemilihan Legislatif Rusia 2016 muncul sebelum pelaksanaan pemilu. Bagaimanapun rumor itu tidak pernah dikonfirmasi oleh Volodin[25]. Setelah Pemilihan Umum Legislatif Rusia 2016, Ketua Duma Negara Sergey Naryshkin ditunjuk menjadi Direktur Dinas Intelijen Asing (Rusia). Pada 23 September 2016, Presiden Putin mengajukan pencalonan Vyacheslav Volodin sebagai Ketua Duma Negara Rusia kepada Partai Rusia Bersatu. Pemimpin Mayoritas di Duma Negara, Vladimir Vasilyev mengatakan bahwa Fraksi Rusia Bersatu akan mendukung penuh pencalonan Volodin[26][27]. Pencalonan Volodin juga didukung Fraksi Partai Demokratik Liberal Rusia dan Partai A Just Rusia. Pada 5 Oktober Vyacheslav Volodin terpilih menjadi Ketua Duma Negara dengan perolehan suara sebanyak 404 suara. Sedangkan calon lainnya dari komunis, Dmitry Novikov menerima 40 suara[28]. 2021Pada tahun 2021, Volodin kembali dicalonkan sebagai Ketua Duma Negara[29]. Pencalonannya kembali dideklarasikan oleh Partai Demokratik Liberal dan Partai A Just Russia[30][31]. Pada 12 Oktober Volodin kembali terpilih sebagai Ketua Duma Negara dengan perolehan suara 360 suara[32]. Masa JabatanPada Bulan Oktober 2016, Volodin menjadi salah satu dari tiga orang politisi paling berpengaruh di Rusia (setelah Presiden Putin dan Perdana Menteri Dmitry Medvedev) berdasarkan survei yang dilakukan oleh Center for Political Technologies[33]. Berdasarkan survei dari Pusat Analisis-Ahli RANEPA, tingkat pengakuan Vyacheslav Volodin berada ditingkat yang tinggi. 83% dari responden survei mengetahui bahwa Volodin memegang jabatan sebagai Ketua Duma Negara. Sebagai tambahan, 78% dari orang-orang Rusia mempunyai pandangan yang positif atau netral terhadap aktivitas Volodin sebagai Ketua Duma Negara Rusia[34][35]. Pada 24 November 2016, Volodin terpilih sebagai Ketua Majelis Parlementer Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif dan pada 26 Desember 2016 Volodin terpilih sebagai Ketua Majelis Parlemen Uni Rusia-Belarusia[36][37]. Sebagai Ketua, Volodin secara aktif memulai perjanjian dengan mendisiplinkan para deputi. Awalnya dia melarang deputi untuk memilih dengan wakil untuk deputi lain. Sehubungan dengan itu, para deputi harus menghadiri pertemuan secara langsung. Denda untuk pertemuan yang hilang tanpa alasan yang sah juga diberlakukan[38] Pada 6 Maret 2019, Volodin selama pertemuan Duma Negara, menginterupsi laporan Menteri Pengembangan Ekonomi Maxim Oreshkin dan tidak memberikan kesempatan kepada Oreshkin untuk menyelesaikan laporannya. Volodin menuduh Oreshkin tidak siap dan menawarkan kepadanya untuk memberikan laporan kembali dalam sebulan (biasanya laporan seperti ini hanya diloloskan sekali dalam setahun). Berdasarkan dari penuturan beberapa deputi, kasus ini adalah kasus yang pertama terjadi dalam sejarah pasca-Soviet Rusia[39][40][41]. Pada 6 April 2019, Volodin mengajukan amandemen Konstitusi Rusia yang bertujuan untuk mengizinkan Duma Negara untuk lebih aktif berpartisipasi dalam pembentukan pemerintahan. Menurutnya, Duma Negara setidak-tidaknya harus dilibatkan dalam konsultasi pengangkatan anggota pemerintahan (saat ini, partisipasi Duma Negara dalam pembentukan pemerintahan hanya terbatas pada pemberian persetujuan kepada Presiden Rusia dalam mengangkat Perdana Menteri). Volodin mengatakan bahwa partisipasi Duma Negara dalam pembentukan pemerintahan "harus konsisten dengan prinsip keseimbangan kekuasaan yang tepat" dan "harus menyediakan sebuah tingkat tanggung jawab lebih tinggi" dalam pekerjaan para menteri[42]. Dibulan Juli 2019, Volodin kembali menyuarakan pengenalan amandemen tersebut dalam artikelnya di Majalah Parlemen[43]. Usulan Volodin kemudian didukung oleh para pemimpin partai oposisi di Duma Negara[44][45][46]. Pada bulan Januari 2020, Presiden Putin mengajukan amandemen yang sama pada saat pidato kenegaraannya[47]. Pada bulan November 2019, Volodin mengatakan bahwa akibat dari Nasionalisme Ukraina dan dugaan penindasan terhadap etnis minoritas, ada kemungkinan beberapa daerah (oblast) dapat terpisah dari Ukraina[48][49]. Pada tanggal 28 Januari 2022, Volodin berjanji bahwa "Rusia tidak akan berperang melawan Ukraina"[50]. Pada 18 Februari 2022, Volodin menuntut negara-negara barat untuk meminta maaf karena "disinformasi" tentang tuduhan bahwa Kremlin sedang menyiapkan rencana untuk menginvasi Ukraina[50]. Namun pada 24 Februari 2022, Volodin mengatakan bahwa tujuan dari Invasi Rusia ke Ukraina adalah untuk melindungi para warga yang tinggal di Ukraina[51]. Volodin menulis dalam akun telegramnya bahwa demiliterisasi di Ukraina adalah satu-satunya langkah yang akan mengizinkan kita untuk mencegah perang di kancah Benua Eropa. Hal ini juga merupakan satu-satunya kesempatan kita untuk menghentikan pertikaian dan bencana kemanusiaan[52]. Menurut website berita Meduza, Volodin merupakan salah satu dari politikus Rusia yang secara gamblang mendukung invasi Rusia[52]. Oleh para warga Rusia yang menentang perang, ia digelari sebagai pengkhianat[52]. Pada 11 Maret 2022, Volodin mengatakan bahwa warga Ukraina dapat dihabiskan untuk Washington dan Brussel: perang hingga Ukraina terakhir merenggut ratusan nyawa setiap hari. Rezim Kyiv membuat Ukraina benar-benar hilang"[50]. Pada 5 April 2022, Volodin mengklaim bahwa pembantaian di kota Bucha, Ukraina, adalah "provokasi" yang dipentaskan oleh Barat dan Ukraina "yang ditujukan untuk mendiskreditkan Rusia"[53]. Pada 6 Juli 2022, Volodin memperingatkan bahwa Rusia dapat menuntut kembali negara bagian Alaska, Amerika Serikat yang dijual oleh Rusia kepada Amerika Serikat pada tahun 1867 jika Amerika Serikat tetap melanjutkan penyitaan aset negara Rusia yang berada di luar negeri[55][56]. Kritik warga Rusia tentang Mobilisasi Rusia 2022 menggunakan media sosial dan perangkat elektronik lainnya (seperti Twitter) yang mempertanyakan secara massal para pejabat tinggi dan deputi Rusia, yang mendukung perang dengan Ukraina dan mobilisasi, apakah mereka sendiri atau putra mereka akan maju ke depan. Kebanyakan dari mereka menolak untuk menjawab atau membuat alasan mengapa mereka tidak mungkin berperang di Ukraina. Volodin mengatakan bahwa Duma Negara akan mendukung para deputi yang ingin mendaftar menjadi tentara dan pergi ke Ukraina[57]. Pada September 2022, Volodin bertemu dengan politisi Tiongkok Li Zhanshu, yang dulunya merupakan anggota Komite Pengurus Politbiro Partai Komunis Tiongkok dan juga salah satu orang dekat Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok Xi Jinping[58]. Tanggal 22 September 2022, dalam rangka untuk melegalkan mobilisasi militer dihadapan publik Rusia, Volodin mengklaim bahwa "bukan hanya formasi bersenjata Nazi, tapi tentara NATO juga bertempur melawan tentara dan perwira kita di Ukraina[50]. Volodin mengklaim (yang menjadi kontroversi) bahwa "Ukraina telah kehilangan kemampuannya untuk eksis sebagai sebuah negara", "Ukraina telah diduduki NATO" dan "Ukraina telah menjadi koloni Amerika Serikat"[59]. Untuk meremehkan sanksi negara-negara barat terhadap Rusia, Volodin menyatakan bahwa "sanksi-sanksi barat telah mengarahkan pembentukan kelompok lain yang terdiri dari delapan negara — China, India, Rusia, Indonesia, Brazil, Meksiko, Iran dan Turkiye — yang 24,4%-nya di depan kelompok lama negara maju dalam hal PDB dan paritas daya beli[50]. Volodin kemudian bertemu dengan Presiden Kuba Miguel Díaz-Canel pada 22 November 2022. Selama pertemuan tersebut, Volodin menyebut Kuba sebagai "sebuah simbol perjuangan kemerdekaan"[60]. Pada Januari 2023, Volodin menyebut para orang Rusia dipengasingan yang anti perang sebagai "bajingan" dan menuntut penyitaan aset mereka di Rusia[61]. Volodin juga secara berulang-ulang menyebut para warga Rusia yang meninggalkan Rusia setelah invasi ke Ukraina sebagai "pengkhianat"[50]. Volodin kemudian mengancam akan menggunakan senjata nuklir pada 22 Januari 2023 dan mengklaim bahwa Eropa dan Amerika Serikat telah mengarahkan dunia ke "bencana global" dengan memberikan bantuan ke Ukraina[62]. Pada 19-20 Maret 2023, Duma Negara menyelenggarakan Konferensi Parlemen Internasional Rusia-Afrika Kedua dan Volodin bertemu dengan lebih dari 40 delegasi parlemen dari negara-negara Afrika. Dalam sebuah pertemuan dengan perwakilan dari Afrika, Volodin mengatakan bahwa Washington dan Brussels berusaha untuk mengambil alih sumber daya alam Afrika dan Rusia dan melanjutkan kebijakan kolonial mereka dan menyatakan "mereka mengambil segala cara termasuk melakukan kerusuhan dan teroros untuk keuntungan pribadi mereka"[63][64]. Pada 3 Mei 2023, Volodin menuduh serangan drone di Kremlin sebagai sebuah serangan teroris terhadap Rusia dan membandingkan pemerintah Ukraina sebagai organisasi teroris seperti Al-Qaeda dan Negara Islam dengan menyatakan bahwa "Rezim Nazi Kiev harus diakui sebagai organisasi teroris"[65]. Volodin juga menuntut penggunaan senjata yang mampu untuk menghentikan dan menghancurkan rezim teroris Kiev[66]. Pada 18 Mei 2023, Volodin menyatakan bahwa "Operasi Militer Khusus" di Ukraina tidak dapat dihindari. Menurut Volodin, "jika tidak dimulai, perang yang akan pecah keesokan harinya atau dalam beberapa hari, akan menyeret dunia ke dalam sebuah tragedi. Tragedi itu dicegah." Dia menuduh NATO, Amerika Serikat dan Uni Eropa "melancarkan perang di Ukraina" dan mengklaim bahwa "NATO mengambil kendali atas Ukraina, membawa tentara bayarannya ke sana untuk berkuasa dan ke medan perang"[67]. Pada 3 Juni 2023, Volodin mewakili Rusia dalam acara pelantikan Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdoğan[68]. Pada 19 Juni 2023, Volodin salah mengartikan pernyataan Presiden Ceko Petr Pavel bahwa orang Rusia yang tinggal di Barat harus "dipantau" dan diawasi, dan memperingatkan bahwa orang Rusia yang tinggal di luar negeri akan dikirim ke kamp konsentrasi[69]. Selama pemberontakan Grup Wagner, Volodin menyatakan dukungannya untuk Vladimir Putin[70]. Referensi
Pranala luar |