Vibrio cholerae
Vibrio cholerae adalah bakteri gram negatif, berbentuk koma (batang yang melengkung) dan bersifat motil (dapat bergerak), memiliki struktur antogenik dari antigen flagelar H dan antigen somatik O, gamma-proteobacteria, mesofilik dan kemoorganotrof.[1] Bakteri ini secara alami hidup di payau atau air asin di mana mereka menempel dengan mudah pada cangkang kepiting, udang, dan kerang lainnya yang mengandung kitin. Spesies Vibrio kerap dikaitkan dengan sifat patogenisitasnya pada manusia, terutama V. cholerae penyebab penyakit kolera di negara berkembang yang memiliki keterbatasan akan air bersih dan memiliki sanitasi yang buruk. Penyakit kolera juga dapat berasal dari konsumsi spesies biota laut yang kurang matang atau mentah.[2][3] SifatVibrio cholerae adalah bakteri gram negatif, berbentuk koma, memiliki diameter 0,5 μm dan panjang 1,5–3,0 μm, tidak berspora, anaerob fakultatif, bergerak melalui flagel yang monotrik dan pada biakan tua dapat menjadi berbentuk batang lurus.[4] Bakteri ini membentuk koloni yang konveks, halus, bulat dan bergranula pada sinar cahaya serta tidak tahan dengan suasana asam dan tumbuh baik pada suasana basa (pH 8,0- 9,5).[5] V. cholerae bersifat oksidasi positif serta dapat meragikan sukrosa dan glukosa menjadi asam tanpa menghasilkan gas, sedangkan laktosa dapat diragikan tetapi lambat. Bila tumbuh pada perbenihan pepton yang mengandung triptofan dan nitrit dalam jumlah yang cukup, bakteri ini menghasilkan indol dan mereduksi nitrat.[6][7] SejarahV. cholerae pertama kali dijelaskan oleh Félix Archimède Pouchet pada tahun 1849 sebagai sejenis protozoa. Filippo Pacini dengan tepat mengidentifikasikannya sebagai bakteri dan darinyalah, nama ilmiah diadopsi. Bakteri penyebab kolera ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1884. Sambhu Nath De mengisolasi toksin kolera dan menunjukkan toksin tersebut sebagai penyebab kolera pada tahun 1959. Pengamatan AwalSelama pandemi global kolera ketiga (1852-1859), ada beberapa penelitian ilmiah untuk memahami etiologi penyakit.[8] Teori racun, yang menyatakan bahwa infeksi menyebar melalui udara yang terkontaminasi, tidak lagi menjadi penjelasan yang memuaskan. Seorang dokter Inggris John Snow adalah orang pertama yang memberikan bukti yang meyakinkan di London pada tahun 1854 bahwa kolera disebarkan dari penularan air minum, bukan racun. Namun dia tidak bisa mengidentifikasi patogen, yang membuat kebanyakan orang masih percaya pada asal muasal racun.[9] V. cholerae pertama kali diamati dan dikenali di bawah mikroskop oleh ahli zoologi Prancis Félix-Archimède Pouchet. Pada tahun 1849, Pouchet memeriksa sampel tinja dari empat orang yang menderita kolera.[10] Kemudian Pouchet mempresentasikannya di hadapan French Academy of Sciences pada tanggal 23 April dimana ia memverifikasi bahwa pada pasien kolera terdapat sejumlah besar infusoria mikroskopis. Tetapi ia membuat kesalahan dengan meyakini bahwa organisme itu adalah infusoria.[11] IdentifikasiSeorang dokter Italia, Filippo Pacini, saat menyelidiki wabah kolera di Florence pada akhir 1854, mengidentifikasi patogen penyebab kolera sebagai jenis bakteri baru. Ia melakukan otopsi pada mayat dan melakukan pemeriksaan mikroskopis yang cermat pada jaringan dan cairan tubuh. Dari kotoran dan mukosa usus, ia mengidentifikasi banyak basil berbentuk koma.[12][13] Pacini melaporkan penemuannya di hadapan Società Medico-Fisica Fiorentina (Medico Physician Society of Florence) pada 10 Desember dan diterbitkan dalam Gazzetta Medica Italiana (Medical Gazette of Italy) pada 12 Desember, Pacini menyatakan bahwa ia menemukan massa butiran halus, mirip dengan yang terbentuk di permukaan air kotor.[14] Pacini kemudian memperkenalkan nama vibrioni (Latin vībro berarti "bergerak cepat ke sana kemari, mengguncang, menggerakkan"). Penemuan KembaliKepentingan medis dan hubungan bakteri dengan kolera ditemukan oleh seorang dokter Jerman Robert Koch. Pada Agustus 1883, Koch, dengan tim dokter Jerman, pergi ke Alexandria, Mesir, untuk menyelidiki epidemi kolera di sana.[15] Koch menemukan bahwa mukosa usus orang yang meninggal karena kolera selalu memiliki bakteri, namun tidak dapat memastikan apakah itu agen penyebabnya. Dia pindah ke Calcutta (sekarang Kolkata) India, di mana epideminya lebih parah. Dari sinilah ia mengisolasi bakteri dalam kultur murni pada tanggal 7 Januari 1884. Ia kemudian menegaskan bahwa bakteri tersebut adalah spesies baru, dan digambarkan "sedikit bengkok, seperti koma."[9] Ia melaporkan penemuannya ke Sekretaris Jerman pada tanggal 2 Februari, dan diterbitkan di Deutsche Medizinische Wochenschrift (Mingguan Medis Jerman).[16] Meskipun Koch yakin bahwa bakteri tersebut adalah patogen kolera, ia tidak dapat sepenuhnya membuktikan bahwa bakteri tersebut menghasilkan gejala pada subjek yang sehat. Eksperimennya pada hewan menggunakan kultur bakteri murni tidak menyebabkan penyakit, dan dengan tepat menjelaskan bahwa hewan kebal terhadap patogen manusia. Bakteri itu kemudian dikenal sebagai "basil koma."[17] Barulah pada tahun 1959 ketika seorang dokter India Sambhu Nath De di Calcutta mengisolasi racun kolera dan menunjukkan bahwa hal itu menyebabkan kolera pada subjek yang sehat sehingga hubungan bakteri-kolera terjadi terbukti sepenuhnya.[18][19] JenisV. cholerae memiliki lebih dari 200 macam serogroup, namun hanya terdapat dua serogroup yang dianggap sangat patogen dan menjadi penyebab wabah kolera di dunia yaitu serogroup O1 dan O139.[20] V. cholerae O1 diklasifikasikan menjadi dua biotipe, klasik dan El Tor dan masing-masing biotipe memiliki dua serotipe utama, Inaba dan Ogawa.[21] Biotype Klasikal adalah penyebab penyakit kolera atau asiatik kolera. Biotype El-Tor selain menghasilkan toksin juga menghasilkan hemolisin. Hemolisin yang dihasilkan merupakan suatu protein yang dapat menyebabkan hemolisis darah sehingga pada pasien penderita diare mengalami diare yang berdarah.[22] Infeksi yang disebabkan oleh bakteri V. cholerae grup non O1 dianggap tidak begitu berbahaya karena bakteri V. cholerae grup non O1 ini hanya menyebabkan diare yang ringan pada penderita.[22] Akan tetapi, pada tahun 1991 dunia dikejutkan dengan adanya wabah kolera di Bangladesh dan India yang disebabkan oleh bakteri V. cholerae grup non O1 yang memproduksi toksin seperti grup O1. Strain baru ini selanjutnya diberi nama V. cholerae O139 Bengal.[21] V. cholerae O139 diisolasi selama wabah pada bulan November 2000 di India[23] dan Maret-April 2002 di Bangladesh[24] V. cholerae O1 menyebabkan sebagian besar wabah, sedangkan V. cholerae O139 terbatas hanya di Asia Tenggara. Banyak serogrup lain dari V. cholerae, dengan atau tanpa gen toksin kolera (termasuk galur nontoksigenik dari serogrup O1 dan O139), dapat menyebabkan penyakit mirip kolera. Namun hanya strain toksigenik dari serogrup O1 dan O139 yang menyebabkan epidemi luas. IsolasiUntuk melakukan isolasi dan pemeliharaan vibrio, dapat menggunakan media Thiosulfate-citrate-bile salts agar (TCBS) yang merupakan media selektif untuk isolasi dan pemurnian Vibrio. Vibrio mampu menggunakan sukrosa sebagai sumber karbon akan berwarna kuning, sedangkan yang lainnya berwarna hijau. Akan tetapi terdapat beberapa mikrob yang juga dapat tumbuh pada media ini, seperti Staphylococcus, Flavobacterium, Pseudoalteromonas, and Shewanella. Sedangkan untuk perbanyakan Vibrio, dapat digunakan media Alkaline Peptone Water (APW) yang memiliki pH relatif tinggi, yaitu berkisar 8.4 dan mengandung NaCl sebesar 1-2%. Adapun pertumbuhan optimum vibrio adalah pada suhu berkisar antara 20- 35oC.[3] Uji BiokimiaUji biokimia bakteri merupakan cara yang dilakukan untuk mengidentifikasi suatu biakan murni hasil isolasi. Teknik yang digunakan dalam identifikasi V. cholerae adalah uji lisin dekarboksilase dan ornitin dekarboksilase, oksidase, Kliger Iron Agar (KIA), Triple Sugar Iron agar (TSIA), voges-proskauer (VP), Methyl Red (MR), dan uji indol. V. cholerae akan menunjukkan hasil positif pada uji biokimia tersebut. Uji Lisin DekarboksilaseUji lisin dekarboksilase digunakan untuk mengetahui kemampuan bakteri melakukan dekarboksilasi lisin melalui produksi enzim dekarboksilase. Proses dekarboksilase lisin sering digunakan bakteri untuk menetralisasikan lingkungan asam menjadi basa.[25] Hasil positif untuk uji lisin dekarboksilase adalah terbentuknya warna ungu tua.[26] Uji Ornitin DekarboksilaseUji ornithin dekarboksilase bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam mengurai ornotin (asam amino) mejadi amine. Hasil positif uji ornithin jika media berwarna ungu dan hasil negative jika warna berubah menjadi kuning.[25] Uji OksidaseUji oksidase digunakan untuk menentukan apakah suatu organisme memiliki enzim sitokrom oksidase. oksidase-positif berarti bakteri mengandung sitokrom c oksidase. Uji positif (OX+) akan menghasilkan perubahan warna ungu menjadi ungu tua.[27] Uji Kliger Iron AgarUji KIA bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam memfermentasikan glukosa dan laktosa serta kemampuan memproduksi hydrogen sulfida.[28] Hasil positif pada uji KIA, tidak terbentuk gas, dengan slant (bagian permukaan media) berwarna merah (bersifat basa) dan butt (bagian dasar media) berwarna kuning (bersifat asam).[29] Uji Triple Sugar Iron AgarUji TSIA digunakan untuk melihat kemampuan mikroorganisme dalam memfermentasikan gula. Medium TSIA mengandung 3 macam gula, yaitu glukosa, laktosa, dan sukrosa. Bila mikroorganisme hanya dapat memfermentasikan glukosa, maka bagian butt media berwarna kuning (bersifat asam) dan bagian slant-nya berwarna merah (bersifat basa). Bila mikroorganisme dapat memfermentasikan laktosa atau sukrosa atau keduanya, maka bagian slant dan butt media berwarna kuning (bersifat asam).[30] Uji Voges-ProskauerUji Voges-Proskauer bertujuan untuk mengetahui apakah suatu bakteri mampu menghasilkan aceton atau tidak. Warna merah muda sampai merah tua menunjukan hasil positif, jika tidak terjadi perubahan warna maka menunjukkan hasil negatif.[31] Uji Methyl RedUji Methyl Red dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri mengoksidasi glukosa dengan memproduksi asam berkonsentrasi tinggi sebagai hasil akhirnya. asam yang terbentuk berubah menjadi merah dengan ditambahkannya reagen metil merah. warna merah menunjukkan reaksi positif sedangkan warna kuning menunjukan reaksi negative.[32] Uji IndolUji indol dikatakan positif jika terbentuk warna merah keunguan pada permukaan medium yang menunjukkan bakteri memiliki enzim triptonase yang dapat menghidrolisis asam amino triptofan yang memiliki gugus samping indol sehingga indol akan bereaksi dengan reagen uji dan membentuk indol yang berwarna merah.[29][33] Cholera ToxinCholera toxin (CTX) merupakan toksin yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kolera. CTX terdiri atas subunit A dan subunit B. Kedua subunit ini memiliki fungsi yang berbeda, subunit B memiliki fungsi untuk menempel (bind) pada reseptor Manosialosyl Ganglioside (GM1 Ganglioside) dan subunit A merupakan subunit aktif yang mengaktifkan adenilate cyclase pada sel epitel usus halus.[34] Ekspresi dari gen virulensi merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap patogenisitas V. cholerae. Beberapa faktor virulensi yang dimiliki V. cholerae antara lain ToxR regulator, cholera toxin (ctxA dan ctxB), toxin- coregulated pilus subunit (TcpA), outer membrane protein U (ompU), outer membrane protein W (ompW), accessory cholera enterotoxin (Ace), dan zonula occludens toxin (Zot).[35][36][37] Ekspresi faktor virulensi V. cholerae dikendalikan oleh ToxR regulatory cascade yang bergantung pada kondisi lingkungan.[38] Secara in vivo, sinyal yang dapat mengaktifkan gen ToxR belum diketahui, namun induksi in vitro melalui sinyal lingkungan seperti pH, osmolaritas dan temperatur. Sinyal ini akan menjadi aktivator transkripsi positif dari ToxRS dan TcpPH, yang kemudian mengaktivasi ekspresi toxT yang merupakan aktivator transkripsi positif lainnya. ToxT adalah protein yang secara langsung mengaktifkan biogenesis gen TCP serta ekspresi ctxAB yang disandi oleh dua subunit CTX.[39] Setelah toksin berhasil diekspresikan, untuk dapat menimbulkan penyakit tentunya toksin tersebut harus dapat disekresikan ke luar. V. cholera menggunakan type II secretion (T2S) pathway dalam proses translokasi cholerae toxin. Sistem T2S terdiri dari dua jalur utama yaitu general secretion (Sec) dan twin arginine translocation (Tat) pathway.[40][41] Dalam proses transport sekresi CTX menggunakan T2S melalui dua langkah utama yaitu translokasi melewati inner membrane melalui Sec pathway dan dilanjutkan dengan transport folded/oligomeric cargo protein oleh T2S ke lingkungan ekstraselular.[41][42] PatogenisitasSecara alamiah, V. cholera patogen terhadap manusia. Seseorang yang memiliki asam lambung normal harus menelan 108 -1010 organisme dalam air untuk dapat terinfeksi dan menjadi sakit, sebab bakteri ini sangat sensitif pada suasana asam. Jika mediatornya makanan, sebanyak 102 -104 bakteri yang diperlukan karena kapasitas buffer yang cukup dari makanan. Beberapa pengobatan dan keadaan yang dapat menurunkan kadar asam dalam lambung membuat seseorang lebih sensitif terhadap infeksi V. cholera.[43] V. cholerae berkolonisasi di epitel intestinal tetapi tidak bersifat invasif atau menyebabkan perubahan struktural dari epitel.[44] Efek utama dari infeksi V. cholerae adalah meningkatnya secara aktif sekresi klorida, sodium, potasium, bikarbonat dan air. Peristiwa ini terjadi melalui aktivitas cholera toxin.[45] Terdapat protein permukaan V. cholerae yang sangat penting yang berkaitan dengan siklus hidup dan patogenesis penyakit kolera yaitu N-acetyl-D- glucosamine binding protein (GbpA) dan hemagglutinin/protease (HapA). GbpA berkaitan dengan kemampuan V. cholerae untuk menempel dengan permukaan kitin dan juga pada mucin yang melapisi sel epitel usus.[46] Hemagglutinin/protease (HapA) berperan sebagai proteolitik yang dapat melisiskan substrat yang ada pada lingkungan usus seperti ovomucin, fibronectin, dan lactoferrin. HapA membantu V. cholerae untuk penetrasi lebih dalam, mendegradasi lapisan mukus dari usus sehingga cholerae toxin dapat menempel dengan reseptor GM1 ganglioside, serta untuk proses detachment.[47] Cholera toxin lengkap yang terdiri dari subunit A dan B dikeluarkan oleh V. cholerae kemudian subunit B mengikatkan diri pada reseptor GM1 ganglioside di permukaan mukosa epitel intestinal dan subunit A yang merupakan bagian aktif secara enzimatis mengkatalisis ADP-ribosilasi dari protein G (stimulatory) dan mengubahnya menjadi aktif. Protein Gs berperan dalam mengubah adenilate cyclase (AC) inaktif menjadi aktif, peningkatan aktivitas AC akan meningkatkan konsentrasi siklik adenosine 3’5’-monofosfat (cAMP) sepanjang membran sel. Selanjutnya cAMP menyebabkan sekresi aktif dari sodium (Na+ ), klorida (Cl-), potassium (K+ ), bikarbonat (HCO3-), dan air (H2O) keluar dari sel menuju lumen usus sehingga mengakibatkan hilangnya cairan dalam jumlah besar dan ketidakseimbangan elektrolit.[45][48][49] Penyakit dan Gejala KoleraV. cholerae menginfeksi usus dan menyebabkan diare, gejala khas kolera. Infeksi dapat menyebar dengan makan makanan yang terkontaminasi atau minum air yang terkontaminasi. Infeksi juga dapat menyebar melalui kontak kulit dengan kotoran manusia yang terkontaminasi.[50] Munculnya diare encer yang berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas dan tanpa adanya tenesmus merupakan gejala paling khas yang timbul bila terinfeksi oleh bakteri ini. Diare yang semula berwarna dan berbau dalam waktu singkat akan berubah menjadi cairan putih keruh serupa denan air cucuian beras. Selanjutnya akan timbul gejala mual-mual setelah diare diikuti dengan muntah dan biasanya kejang otot-otot betis, biseps, triseps, pektoralis, dan kram perut.[20] Tindakan Pencegahankolera dapat dicegah dengan menjalankan sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih, diantaranya: mengkonsumsi air bersih; mencuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air bersih; sering mencuci tangan dengan sabun dan air bersih; serta menggunakan toilet atau jamban untuk buang air besar.[51] Untuk mencegah penularan melalui hewan-hewan yang hidup di air seperti ikan, kerang, remis, udang, tiram, dan kepiting yang mungkin tercemar oleh bakteri dapat diatasi dengan cara memasak makanan hingga matang sebelum dikonsumsi.[52] Selain itu, dapat pula dilakukan pemberian vaksin kolera bagi orang yang bepergian ke daerah di mana kolera sering terjadi. Vaksin kolera tersedia untuk mencegah penyebaran penyakit. Vaksin ini dikenal sebagai, "vaksin kolera oral" (OCV). Ada tiga jenis OCV yang tersedia untuk pencegahan: Dukoral®, Shanchol ™, dan Euvichol-Plus®. Idealnya, vaksin kolera diberikan sekitar satu minggu sebelum orang tersebut pergi ke daerah rawan kolera. Bagi yang berusia diatas enam tahun, 2 dosis vaksin kolera dapat melindungi mereka dari infeksi bakteri kolera selama dua tahun. Sedangkan bagi anak-anak yang berusia dua sampai enam tahun, dibutuhkan 3 dosis vaksin kolera untuk melindungi mereka dari serangan bakteri kolera selama enam bulan.[53] Referensi
Lihat pulaWikimedia Commons memiliki media mengenai Vibrio cholerae. Wikispecies mempunyai informasi mengenai Vibrio cholerae.
|