Undang-Undang Pemberian KuasaErmächtigungsgesetz (secara harfiah berarti "Undang-Undang Pemberian Kuasa") adalah amendemen Konstitusi Weimar pada tahun 1933 yang memberikan wewenang kepada kabinet Jerman (atau secara de facto Kanselir Adolf Hitler) untuk memberlakukan undang-undang tanpa persetujuan dari Reichstag. Undang-undang pemberian kuasa ini disetujui oleh Reichstag dan Reichsrat pada tanggal 24 Maret 1933,[1][2][3] dan kemudian ditandatangani oleh Presiden Paul von Hindenburg pada hari yang sama. Undang-undang ini berlaku selama empat tahun kecuali bila diperbaharui oleh Reichstag, dan Reichstag kemudian memperbaharuinya dua kali. Undang-undang ini diberlakukan setelah dikeluarkannya Dekret Kebakaran Reichstag yang menghapuskan sebagian besar kebebasan publik dan menyerahkan kekuasaan negara kepada Nazi. Dampak gabungan dari kedua hukum tersebut mengubah pemerintahan Hitler menjadi kediktatoran yang legal. Nama resmi undang-undang pemberian kekuasaan ini adalah Gesetz zur Behebung der Not von Volk und Reich ("Undang-Undang untuk Mengatasi Penderitaan Rakyat dan Reich"). Undang-undang ini diberlakukan oleh Reichstag yang berhimpun di Gedung Opera Kroll, tetapi anggota-anggota non-Nazi dikepung dan diancam oleh anggota SA dan SS. Kelompok Komunis sudah ditindas dan tidak boleh memilih, dan beberapa anggota Partai Demokrat Sosial juga dihalangi. Pada akhirnya, hampir semua yang hadir mendukung undang-undang ini kecuali anggota Partai Demokrat Sosial.[4] Latar belakang hukumUndang-Undang Dasar Republik Weimar tidak mengandung pasal yang secara eksplisit memperbolehkan Reichstag (Parlemen) mengesahkan undang-undang yang memberikan kuasa kepada eksekutif. Di sisi lain, alinea kedua Pasal 48 Undang-Undang Dasar Weimar memperbolehkan Presiden untuk mengeluarkan maklumat kedaruratan (Notverordnung).[5] Alinea kedua pasal tersebut berbunyi:
Pasal ini secara efektif menjadikan kepala negara sebagai "legislator pengganti". Presiden Friedrich Ebert pernah menandatangani 116 maklumat kedaruratan pada periode Oktober 1919 hingga Januari 1925.[5] Hal ini dilakukan untuk memadamkan pemberontakan kelompok kanan dan kiri ekstrem, tetapi juga untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi, keuangan, dan sosial.[7] Selanjutnya maklumat-maklumat kedaruratan juga dikeluarkan oleh Presiden Paul von Hindenburg, terutama dari Juli 1930. Pada periode ini, maklumat-maklumat tersebut tidak lagi dikeluarkan untuk keadaan yang benar-benar darurat dan malah untuk menetapkan kebijakan ekonomi dan keuangan. Maklumat kedaruratan menjadi cara bagi Presiden untuk memaksakan undang-undang yang ditolak oleh Reichstag, yang pelan-pelan dilucuti kekuasaannya.[5] Pakar hukum Austria Hans Kelsen telah memprediksi bahwa Pasal 48 Undang-Undang Dasar Weimar akan berujung pada kehancuran sistem parlementer Republik Weimar oleh kekuatan yang menganggap demokrasi parlementer sebagai penyebab dari segala ancaman terhadap keselamatan dan ketertiban umum.[8] Latar belakang politikPada pemilihan umum federal Jerman November 1932, Partai Nazi yang dikepalai oleh Adolf Hitler memperoleh 33,1% suara. Ini merupakan sebuah penurunan bila dibandingkan dengan 36,8% suara yang diperoleh Hitler dalam pemilihan umum Presiden Jerman April 1932 dan 37,3% suara yang diperoleh Partai Nazi dalam pemilihan umum legislatif Juli 1932.[9] Pada saat itu, Hitler sudah menginginkan pengesahan sebuah undang-undang pemberian kuasa.[10] Bagi Hitler, undang-undang pemberian kuasa ini penting untuk memuluskan jalannya menuju tampuk kekuasaan tanpa perlu bergantung kepada persetujuan Reichstag dan tanpa perlu mengandalkan maklumat kedaruratan Presiden Reich.[11] Setelah menerima jabatan sebagai Kanselir Jerman pada 30 Januari 1933, Hitler menuntut penyelenggaraan pemilihan umum legislatif yang kemudian diikuti dengan pengesahan sebuah undang-undang pemberian kuasa.[12] Pada saat itu, Partai Nazi hanya memegang dua kursi menteri di pemerintahan (Wilhelm Frick sebagai Menteri Dalam Negeri dan Hermann Göring sebagai Menteri Tanpa Portfolio).[13] Pada 1 Februari 1933, Presiden Republik Weimar Paul von Hindenburg menandatangani maklumat pembubaran Reichstag dan menetapkan tanggal pemilu selanjutnya, yaitu 5 Maret.[14] Proses kampanye berlangsung di tengah intimidasi. Dengan memanfaatkan wewenang-wewenang yang baru saja diperoleh sebagai Kanselir, Hitler menghentikan penerbitan surat kabar yang mengkritik pemerintah, sementara aparat di beberapa daerah melarang pertemuan publik. Anggota Sturmabteilung (SA) mengganggu pertemuan lawan-lawan politik Nazi dan menghajar lawan-lawannya.[15] "Brutalisasi" kampanye pemilu ini dimungkinkan oleh Maklumat Presiden Reich untuk Perlindungan Rakyat Jerman tanggal 4 Februari 1933, yang memberikan kuasa kepada pemerintah untuk melarang pertemuan dan terbitan. Wewenang ini dimanfaatkan oleh Hitler untuk membungkam Partai Komunis Jerman, Partai Demokrat Sosial Jerman, dan anggota Partai Tengah.[14] Brutalisasi ini juga dimungkinkan oleh keputusan Hermann Göring selaku Menteri Dalam Negeri Prusia untuk merekrut 50.000 anggota SA, Schutzstaffel (SS), dan Stahlhelm sebagai tenaga bantu polisi, sehingga memastikan bahwa tindakan Nazi akan kebal hukum.[16] Kampanye propaganda besar-besaran, yang didukung oleh suntikan dana yang besar dari sektor industri,[17] juga dilancarkan oleh Joseph Goebbels. Salah satu titik puncak dari kampanye propaganda ini adalah pidato Hitler di Berliner Sportpalast tanggal 10 Februari 1933 di hadapan kerumunan yang antusias. Pidato ini disiarkan di seluruh Jerman lewat radio.[18] Setelah peristiwa kebakaran Reichstag pada malam tanggal 27 hingga 28 Februari 1933, kelompok Nazi menyebarkan kebohongan bahwa dalang kebakaran tersebut adalah kelompok komunis. Hitler berhasil memperoleh persetujuan dari anggota pemerintah untuk mengajukan sebuah maklumat kedaruratan kepada Presiden Hindenburg. Hindenburg lalu menandatangani maklumat ini pada tanggal 28 Februari 1933.[19] Sesuai dengan ketentuan alinea kedua Pasal 48 Undang-Undang Dasar Weimar, Maklumat Kebakaran Reichstag (Reichstagsbrandverordnung) memungkinkan pembatasan hak-hak individu, termasuk kebebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berserikat.[19] Sejarawan Richard J. Evans menjelaskan bahwa "[p]enerbitan maklumat kebakaran Reichstag diiringi dengan lonjakan propaganda" yang menunjukkan kemujarabannya.[19] Di seluruh Jerman, SA melancarkan apa yang disebut Evans sebagai "teror berdarah dari gerombolan yang mengamuk".[20] Kantor-kantor Partai Komunis dijarah dan ribuan anggotanya ditangkap.[21] Secara umum, kelompok Nazi menerapkan "sebuah rancangan yang memadukan intimidasi, penindasan, dan propaganda".[22] Partai Nazi pada akhirnya memperoleh 43,9% suara dalam pemilihan legislatif Maret 1933, sementara Partai Demokrat Sosial mendapatkan 18,3%, Partai Komunis (KPD) 12,3%, Partai Tengah 11,2%,[23] dan Partai Rakyat Nasional Jerman 8%. Berdasarkan hasil tersebut, Partai Nazi mendapatkan 288 kursi di Reichstag. Partai Rakyat Nasional Jerman, yang bekerja sama dengan Partai Nazi, memperoleh 52 kursi, sehingga koalisi di antara keduanya menguasai 340 dari 647 kursi di Reichstag. Sementara itu, Partai Demokrat Sosial memperoleh 120 kursi dan Partai Komunis 81 kursi. Partai-partai lainnya yang berhaluan tengah dan kanan konservatif memperoleh 106 kursi, dengan 74 di antaranya merupakan kursi untuk Partai Tengah. Menurut pengamatan sejarawan William L. Shirer, jumlah kursi yang diperoleh koalisi Partai Nazi dan Partai Rakyat Nasional Jerman "mungkin cukup untuk menjalankan urusan sehari-hari pemerintahan, tetapi jauh dari 2/3 mayoritas yang diperlukan Hitler untuk melancarkan sebuah rencana yang baru dan berani untuk mendirikan kediktatorannya dengan persetujuan dari Parlemen."[24] Pembukaan sidang parlemen baru diselenggarakan di Gereja Garnisun di Kota Potsdam pada 21 Maret 1933; gereja tersebut merupakan situs yang menjadi simbol Monarki Prusia. Tanggal 21 Maret sendiri merupakan perayaan sidang pertama Reichstag setelah penyatuan Jerman dan pendirian Kekaisaran Jerman oleh Otto von Bismarck. Di hadapan Hindenburg, Hitler menyampaikan sebuah pidato yang terkesan moderat.[25][26] Menurut sejarawan Ian Kershaw, "pencapaian teatrikal yang megah ini (...) menjadi sebuah langkah penting dalam membentuk martabat Hitler sebagai seorang pemimpin nasional."[27] Ia juga mengamati, "Bagi sebagian besar warga, euforia nasional selama berminggu-minggu setelah pemilu Maret (...) sama sekali tidak dihantui oleh kekhawatiran mengenai rentetan penindasan dan teror yang diarahkan kepada mereka yang tidak ingin menjadi bagian dari "komunitas rakyat" yang baru."[28]. Pengesahan undang-undangSuasana di sidang pertama Reichstag di Opera Kroll pukul 14.00 tanggal 23 Maret 1933 sangat berbeda dibandingkan dengan pembukaan sidang di Gereja Garnisun.[29] Dengan mengenakan seragam cokelat SA (seperti anggota perwakilan dari Partai Nazi lainnya), Hitler berpidato di bawah spanduk dengan lambang swastika. Sang kanselir mengusulkan undang-undang pemberian kuasa yang akan memungkinkan pengesahan undang-undang yang tidak sejalan dengan undang-undang dasar tanpa memerlukan persetujuan dari Reichstag.[25] Dengan nada berkonsiliasi, Hitler menegaskan bahwa undang-undang pemberian kuasa yang akan ia ajukan kepada Reichstag hanya akan dimanfaatkan untuk segelintir situasi saja dan tetap mempertahankan kekuasaan Reichstag, Reichsrat, dan Presiden, serta keberlangsungan sistem federasi dan hak-hak gereja.[30] Ia kemudian berbicara dengan nada yang mengancam bahwa pemerintahannya “bertekad dan siap untuk mencatat pernyataan penolakan yang berarti pernyataan perlawanan. Tuan-tuan, semuanya bergantung kepada Anda sekalian untuk memutuskan apakah kita akan berperang atau berdamai."[31] Menurut sejarawan Joachim Fest, pidato ini disambut dengan tepuk tangan "dalam sebuah nuansa yang lebih menyerupai keadaan pengepungan, mengingat penjaga-penjaga SA dan SS ditempatkan di sekitar Majelis."[32] Penerimaan usulan semacam ini, yang akan merombak undang-undang dasar dan mencabut wewenang legislatif parlemen,[30] masih sulit untuk diwujudkan oleh Partai Nazi pada saat itu. Berdasarkan Pasal 76 Undang-Undang Dasar Republik Weimar, dua per tiga anggota Reichstag (atau 432 anggota Reichstag) harus hadir dalam sidang dan usulan ini juga harus disetujui oleh dua per tiga anggota.[33] Partai Nazi dan sekutunya, Partai Rakyat Nasional Jerman, hanya memiliki 340 kursi pada saat itu, sehingga tidak cukup untuk mengamendemen undang-undang dasar.[24] Persiapan untuk memperoleh 2/3 suara sudah dilakukan dari sebelumnya. Dalam pertemuan pertama kabinet tanggal 7 Maret 1933, Hitler menjelaskan kepada menteri-menterinya bahwa ia merasa akan memiliki cukup suara untuk mengesahkan undang-undang pemberian kuasa mengingat para anggota parlemen dari Partai Komunis telah dijebloskan ke penjara, sehingga tidak dapat menghadiri sidang.[34] Sejalan dengan perkataan ini, Presiden Reichstag Hermann Göring memutuskan,[35] tanpa landasan hukum sama sekali, agar 81 anggota parlemen dari Partai Komunis tidak dihitung untuk memenuhi kuorum, sehingga jumlah anggota Reichstag berkurang dari 432 menjadi 378 anggota.[33] Göring mengusulkan, apabila diperlukan, untuk menyingkirkan beberapa anggota parlemen dari Partai Demokrat Sosial.[36] Selain itu, berdasarkan usulan Menteri dalam Negeri Wilhelm Frick, anggota parlemen yang tidak hadir tanpa memberikan alasan akan dianggap hadir.[36] Pada 15 Maret, Hitler memberitahukan anggota kabinetnya bahwa pengesahan undang-undang pemberian kuasa dengan 2/3 mayoritas tidak akan menjadi masalah.[34] Kemudian, pada 20 Maret, ia melaporkan kepada kabinet bahwa ia telah memperoleh dukungan dari Partai Tengah, dengan syarat pembentukan sebuah komite kecil untuk mengawasi tindakan-tindakan yang diambil berdasarkan undang-undang pemberian kuasa.[36] Seperti di Italia ketika Benito Mussolini berhasil membungkam Partai Katolik dengan menandatangani Perjanjian Lateran sebagai gantinya, Hitler berjanji kepada Partai Tengah bahwa dukungan dari mereka akan dihadiahi dengan pengesahan sebuah konkordat dengan Gereja Katolik.[37] Rancangan undang-undang pemberian kuasa hanya ditolak oleh surat kabar harian berhaluan liberal, Vossische Zeitung. Pada edisi 21 Maret, surat kabar ini menulis bahwa undang-undang tersebut tidak hanya akan menimbulkan keraguan terhadap pasal-pasal penting Undang-Undang Dasar Weimar, tetapi juga "landasan-landasan hukum yang telah menjadi dasar budaya dunia eropa selama satu setengah abad."[38] Walaupun masih memiliki milisi bersenjata, Partai Komunis dan Partai Sosialis tidak melakukan perlawanan sama sekali di luar parlemen, baik itu lewat mogok massal ataupun pemberontakan.[37] Setelah pembahasan selama beberapa hari, Presiden Partai Tengah Ludwig Kaas bersedia menerima usulan Hitler dengan syarat gereja tidak akan terkena dampak undang-undang pemberian kuasa, negara bagian (terutama negara bagian yang menjadi benteng agama Katolik di Jerman Selatan) akan tetap terjaga keutuhannya, dan sistem peradilan akan tetap independen.[33] Kaas juga meminta Hitler memberikan jaminan tertulis bahwa Presiden akan memiliki hak veto; Hitler menerima permintaan ini, tetapi pada akhirnya tidak menepati janjinya.[39] Pada siang hari tanggal 23 Maret, ketika sidang sedang ditangguhkan seusai pidato Hitler, Partai Tengah baru memberikan persetujuannya, meskipun mantan kanselir dari partai tersebut, Joseph Wirth, masih ragu.[40] Mantan kanselir lainnya dari Partai Tengah, Heinrich Brüning, bahkan berujar, "lebih baik mati dengan agung daripada berakhir dalam kepicikan."[41] Kaas tak kunjung menerima jaminan tertulis dari Hitler, tetapi ketika sang kanselir mengatakan bahwa jaminan tersebut sudah ditandatangani dan akan dikirim saat pemungutan suara, Kaas percaya begitu saja. Menurut pengamatan sejarawan Joachim Fest, "walaupun ia tidak pernah percaya Hitler, kali ini nadanya begitu meyakinkan sehingga ia hanya bisa percaya saja."[42] Kaas akhirnya memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang pemberian kuasa. Kershaw berkomentar bahwa "dengan ini, Partai Tengah telah memainkan peran yang sungguh memalukan; akibat ketakutan akan teror dan penindasan di siang bolong, ia tunduk kepada taktik legalitas semu Hitler."[34] Selama perdebatan pada 23 Maret, hanya satu orang yang bersuara menentang undang-undang pemberian kuasa. Walaupun menerima ancaman dan menimbulkan amarah di antara anggota SA, Presiden Partai Demokrat Sosial Otto Wels, dengan nada yang tenang,[30] berkata, "Tidak ada undang-undang yang akan memberikan kepada Anda wewenang untuk membinasakan gagasan-gagasan yang abadi dan tidak dapat dihancurkan [...] Kami memberi salam kepada mereka yang dianiaya dan dirundung. Kami memberi salam kepada teman-teman kami di Reich [...] Keberanian keyakinan kalian, kepercayaan diri kalian yang tak terputus menjamin masa depan yang lebih baik."[43] Hitler mendapatkan kemudahan karena naskah pidato Wels sudah dikirim sebelumnya ke surat kabar, sehingga Hitler sudah mempersiapkan jawabannya.[42] Hitler terlihat sangat kesal dan menjawab, "Anda mengira bahwa bintang Anda akan terbit lagi. Tuan-tuan, bintang Jermanlah yang akan terbit, dan bintang Anda akan sirna. [...] Jerman akan terbebas, tetapi bukan karena Anda."[43][42] Cara Hitler menjawab dianggap oleh Fest sebagai contoh "bakatnya dalam berbicara secara spontan."[44] Hitler menjelaskan bahwa ia mengajukan rancangan undang-undang ini untuk mendapat persetujuan dari anggota Reichstag demi menghormati legalitas.[45] Setelah pidato Hitler diakhiri dengan tepuk tangan yang meriah, anggota partai-partai lain menjelaskan alasan mereka mendukung rancangan undang-undang ini. Tiga tingkat pembicaraan untuk rancangan undang-undang tersebut dipercepat menjadi beberapa menit saja,[44] dan kemudian rancangan undang-undang tersebut disetujui dengan 444 anggota mendukung (termasuk dari politikus liberal yang kelak akan menjadi Presiden Jerman Barat, Theodor Heuss) dan 94 menentang; hanya fraksi Demokrat Sosial yang menyatakan penolakannya.[43] Persetujuan yang diperoleh begitu besar, sehingga sebenarnya apabila anggota-anggota parlemen yang dipenjara atau melarikan diri turut hadir, keberadaan mereka tidak cukup untuk menghentikan pengesahan undang-undang ini.[43] Undang-undang pemberian kuasa kemudian diundangkan dan mulai berlaku pada hari berikutnya, yaitu 24 Maret 1933.[46] Naskah undang-undang
Dampak
Undang-undang pemberian kuasa 23 Maret 1933 mengakhiri riwayat Undang-Undang Dasar Republik Weimar.[49][50] Menurut sejarawan Thierry Feral, undang-undang ini menghapuskan sistem pemisahan kekuasaan dan memastikan bahwa undang-undang hanya perlu disetujui oleh pemerintah, sehingga secara de facto mengesampingkan wewenang presiden dan parlemen dan menguntungkan Hitler selaku Führer.[49] Dengan disahkannya undang-undang pemberian kuasa, Reichstag menjadi tidak berdaya dan Hitler berkuasa dengan menggunakan maklumat, baik itu dengan ataupun tanpa dukungan Presiden Hindenburg.[51] Perubahan-perubahan ini ditetapkan tanpa perlu mengamendemen undang-undang dasar.[40] Kekuasaan Hitler pun menjadi terjamin secara kelembagaan.[52] Undang-undang pemberian kuasa sendiri diperpanjang masa berlakunya pada tahun 1937 dan 1939. Kemudian, pada tahun 1943, undang-undang pemberian kuasa menjadi berlaku secara permanen.[53] Akibat tekanan dari kelompok Nazi, Partai Rakyat Nasional Jerman menyatakan diri bubar pada 26 Juni 1933.[54] Nasib yang sama kemudian dialami oleh Partai Demokrat Jerman pada 28 Juni,[55], Partai Rakyat Jerman pada 4 Juli,[56] dan Partai Tengah pada 5 Juli setelah penandatanganan sebuah konkordat.[57] Partai Demokrat Sosial Jerman dan Partai Komunis dilarang secara definitif pada 14 Juli 1933, dan Partai Nazi pun menjadi satu-satunya partai yang sah di Jerman.[58] Undang-Undang Pemberian Kuasa memungkinkan rezim Nazi untuk mengesahkan kebijakan-kebijakan antisemit pertamanya,[59] seperti "Undang-Undang Pemulihan Kepegawaian Negeri Profesional" tanggal 7 April 1933 yang melarang orang Yahudi menjadi pegawai negeri.[60] Undang-Undang Pemberian Kuasa menjadi landasan hukum Undang-Undang 1 Desember 1933 yang menyatakan bahwa Partai Nazi dan negara Jerman adalah suatu kesatuan,[61] Undang-Undang untuk Pembangunan Kembali Reich tanggal 30 Januari 1934 yang mengubah pemerintahan di tingkat negara bagian menjadi badan administratif Reich,[62] serta Undang-Undang Perombakan Pasal-Pasal Undang-Undang dan Prosedur Pidana tanggal 23 Maret 1934, yang membentuk Volksgerichtshof (Pengadilan Rakyat).[63] Pada 1 Agustus 1934, ketika Presiden Hindenburg sedang sekarat, Hitler melampaui pembatasan yang ditetapkan oleh Pasal 2 Undang-Undang Pemberian Kuasa dan memaklumkan penggabungan jabatan presiden dengan kanselir. Sejarah Thierry Feral berkomentar bahwa dengan memperoleh wewenang yang begitu besar, eksklusif, dan tidak terbatas, Führer menjadi sama dengan bangsa Jerman, kehendak bangsa Jerman, serta hukum bangsa Jerman.[64] Status ketatanegaraan
Pakar hukum tata negara ternama Jerman yang kelak dikenal sebagai pendukung Partai Nazi, Carl Schmitt, menulis pada 1 April 1933 bahwa dengan disahkannya undang-undang pemberian kuasa, eksekutif telah memperoleh wewenang untuk mengundangkan undang-undang baru untuk menggantikan yang lama. Dengan ini, Schmitt meyakini bahwa "sebagian dari wewenang untuk mengesahkan undang-undang konstitusional" telah dianugerahkan kepada eksekutif. Beberapa minggu sesudahnya, ia menyatakan bahwa Undang-Undang Pemberian Kuasa 24 Maret 1933 dapat dianggap sebagai sebuah undang-undang dasar sementara. Beberapa bulan sesudahnya, ia bahkan mengakui bahwa Undang-Undang Dasar Weimar telah dicabut. Akhirnya, pada tahun 1936, Schmitt menyatakan bahwa Undang-Undang Pemberian Kuasa secara resmi telah mencabut Undang-Undang Dasar Weimar.[66] Carl Schmitt berperan penting dalam melegitimasi Undang-Undang Pemberian Kuasa 1933.[67] Dalam bukunya yang berjudul Staat, Bewegung und Volk (Negara, Pergerakan, dan Rakyat, 1933), Schmitt mencoba membantah pandangan bahwa rezim Nazi tetap tunduk kepada Undang-Undang Dasar Republik Weimar karena telah mengesahkan Undang-Undang Pemberian Kuasa dengan mengikuti aturan amendemen konstitusi di undang-undang dasar tersebut. Menurut Schmitt dalam buku tersebut, Undang-Undang Pemberian Kuasa telah melahirkan undang-undang dasar yang baru. Ia menjelaskan bahwa "Semua asas-asas dan aturan-aturan yang genting bagi undang-undang dasar ini, baik secara ideologis maupun organik, telah dihapuskan bersama dengan segala praanggapan-praanggapannya."[68] Di sisi lain, pakar hukum Jerman berdarah Yahudi, Otto Kirchheimer, menulis pada 13 Agustus 1945 (beberapa bulan setelah tumbangnya rezim Nazi) bahwa klaim mengenai konstitusionalitas Undang-Undang Pemberian Kuasa tidak berdasar. Pertama-tama, pemungutan suara di Reichstag dilakukan tanpa keterlibatan dari 81 anggota dari Partai Komunis. Kemudian, Hitler hanya berhasil meraih dua per tiga suara setelah melakukan intimidasi besar-besaran terhadap Partai Tengah. Selain itu, pemerintahan Hitler pada saat itu tidak mengikuti ketentuan yang tercantum di Undang-Undang Pemberian Kuasa, yang hanya berlaku selama koalisi pemerintahan Partai Nazi dengan Partai Rakyat Nasional Jerman. Setelah Partai Rakyat Nasional Jerman keluar dari pemerintahan pada 29 Juni 1933, Undang-Undang Pemberian Kuasa seharusnya sudah tidak berlaku lagi.[69] Apabila klaim ini benar, maka segala tindak hukum yang diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Pemberian Kuasa tersebut tidak berlaku. Namun, Kirchheimer mengakui bahwa pendekatan ini tidak realistis karena dapat mengganggu ketertiban mengingat banyak sekali tindak hukum yang diberlakukan hingga rezim Nazi tumbang pada tahun 1945.[70] Catatan kaki
|