Undang-Undang Koronavirus 2020
Undang-Undang Koronavirus 2020 (Inggris: Coronavirus Act 2020 (c. 7)) merupakan sebuah undang-undang di Parlemen Britania Raya sehingga pemerintah memiliki kekuatan darurat untuk menangani pandemi COVID-19 di Britania Raya. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membatasi atau menangguhkan acara-acara pertemuan di area publik, mengisolali setiap warga yang diduga terinfeksi COVID-19, dan berhak untuk mengatur berbagai sektor demi meminimalkan penularan wabah penyakit, serta mempermudah para pelayan kesehatan masyarakat, dan yang terkena dampak ekonomi karena COVID-19. Ruang publik yang dimaksudkan ke dalam undang-undang tersebut diantaranya kantor Layanan Kesehatan Nasional, kawasan perawatan sosial, sekolah, kantor polisi, kantor Border Force, kantor dewan lokal, pemakaman dan juga kantor pengadilan. Undang-undang Koronavirus diperkenalkan ke parlemen pada tanggal 19 Maret 2020, dan disahkan di House of Commons tanpa pemungutan suara pada 23 Maret 2020, dan di House of Lords pada 25 Maret 2020. Kemudian undag-undang diterima dengan persetujuan kerajaan pada tanggal 25 Maret 2020.[2] Para politikus dari berbagai partai di Britania Raya, termasuk partai Konservatif, partai Tenaga Kerja, partai Liberal Demokrat, dan juga partai Hijau menuntut supaya parlemen mengawasi dengan ketat pembentukan undang-undang koronavirus sementara hal itu diperdebatkan di Parlemen.[3] Berbagai kelompok advokasi seperti Liberty dan Hak Disabilitas Inggris, meminta supaya undang-undang ini diteliti dengan baik dan dianggap memiliki pengaruh tidak baik terhadap hak asasi manusia, baik selama ataupun sesudah pandemi terjadi.[4] Sejarah legislatifPada tanggal 19 Maret 2020, undang-undang koronavirus ini diperkenalkan pertama kali oleh Matt Hancock, yang merupakan Sekretaris Negara untuk Kesehatan dan Perawatan Sosial Britania Raya.[5] Kemudian dilakukan tahapan pertimbangan di House of Commons pada tanggal 23 Maret tanpa melalui pemungutan suara.[6] Selanjutnya pada tanggal 25 Maret 2020, undang-undang tersebut menerima tahap pertimbangan di House of Lords, dan akhirnya menerima persetujuan kerajaan (royal assent) pada 25 Maret 2020.[7] Pada tanggal 21 Maret 2020, David Davis, seorang anggota parlemen dari partai Konservatif dan juga mantan Sekretaris Brexit, mengajukan adanya amandemen dalam membatasi waktu RUU selama satu tahun, dan mengancam melakukan pemberontakan backbench jika hal tersebut tidak dilakukan.[8][b] Tanggal 23 Maret 2020, pemerintah kemudian mempertimbangkan usulan dari anggota parlemen Konservatif dan Buruh, sehingga RUU wajib diperbaharui setiap enam bulan.[10] KetentuanKetentuan-ketentuan dalam undang-undang koronavirus ini memiliki batas waktu yakni hanya selama dua tahun setelah disahkan. Hal-hal yang dibatasi atau dilarang menurut undang-undang ini termasuk mengatur pertemuan di tempat umum, mengontrol penggunaan transportasi publik, pembatasan jam operasi atau bahkan ditutup untuk toko dan restoran, melakukan isolasi bagi warga yang diduga terinfeksi COVID -19, menangguhkan pelayanan di pelabuhan dan bandara, menutup sementara lembaga pendidikan dan tempat penitipan anak, mendaftarkan setiap mahasiswa kedokteran dan juga pensiunan petugas kesehatan ke dalam layanan kesehatan, melonggarkan peraturan bagi petugas kesehatan, dan setiap kasus kematian dijaga dengan ketat untuk beberapa wilayah tertentu.[11][12][13][14][15] Undang-undang koronavirus juga mengatur strategi dalam memulihkan ekonomi pasca terjadinya pandemi COVID-19. Beberapa kekuatan yang disahkan yakni tidak melalukan penggusuran bagi penyewa, melindungi para sukarelawan darurat supaya tidak menganggur, serta memberikan perlindungan asuransi khusus bagi staf perawatan kesehatan yang mengambil tanggung jawab tambahan.[16] Pemerintah juga akan mengganti biaya gaji bagi karyawan yang terkena dampak COVID-19, juga kepada pemberi kerja, dan supermarket diminta untuk melaporkan kepada pemerintah jika mengalami masalah pasokan barang.[17] PenerimaanPada 19 Maret 2020, BBC News melaporkan bahwa ada kesepakatan di Parlemen tentang ketentuan yang terkandung di dalam undang-undang tersebut, namun beberapa anggota parlemen mengkritik terkait jangka waktu penerapan yang diperpanjang.[16] Backbencher dari partai Konservatif, Steve Baker, enggan untuk mendukung RUU tersebut, tetapi mengatakan bahwa hal itu menjadikan "masyarakat distopia" (masyarakat yang tidak didambakan) dan mendesak pemerintah untuk tidak membiarkan tindakan tersebut berlanjut.[18] Mantan pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn menulis surat kepada Perdana Menteri, Boris Johnson pada tanggal 18 Maret 2020 dan meminta supaya anggota parlemen memiliki suara untuk dapat memperbarui RUU tersebut setiap enam bulan,[19] sementara anggota parlemen dari Partai Buruh Chris Bryant berpendapat bahwa RUU tersebut harus diperbarui setiap 30 hari.[20] Sementara itu, pemimpin partai Liberal Demokrat, Ed Davey, juga meminta supaya RUU tersebut lebih sering diteliti oleh parlemen.[19] Catatan
Referensi
|