Ucu Agustin
Ucu Agustin (lahir 19 Agustus 1976) adalah seorang jurnalis, penulis, dan pembuat film dokumenter dari Indonesia. Ketika belajar di pesantren (dia masuk pesantren pada umur 13 tahun), saat ia pulang untuk pertamakalinya dalam perjalanan seorang diri ke Sukabumi, Ucu mendapati kenyataan bahwa ada banyak perempuan dari Sukabumi yang menjadi istri simpanan. Kenyataan tersebut membuat Ucu yang waktu itu duduk di kelas 3 Tsanawiyah mempertanyakan banyak hal dan kelak pertanyaan-pertanyaan itu menjadi alasan untuk ketertarikannya pada dunia jurnalistik setelah ia menyelesaikan kuliahnya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mulai menulis di koran sejak semester 6 di kampusnya, setelah lulus Ucu menjadi kontributor pada Majalah Berita Pantau lalu bergabung dengan Kantor Berita Radio 68H dan menjadi penulis untuk INGO yang bergerak di bidang transformasi konflik sambil tetap menulis artikel dan cerita pendek di koran-koran. Dari menulis di media cetak, Ucu pindah ke pembuatan film dokumenter karena merasa terbatas dalam pembuatan pelaporan liputan. Keterbatasan halaman pada media cetak serta sempitnya durasi pelaporan radio (yang sifatnya memang sekali dengar) membuatnya tak leluasa bergerak dan tak memungkinkan untuk mengeksplore lebih dalam sebuah isu, terlebih yang bersifat human interest. Dengan audio visual dan media dokumenter, Ucu ingin membawa audience untuk langsung berada di lapangan dan melihat sendiri apa yang terjadi. Film dokumenter pertamanya, Death in Jakarta, dibuat dengan bantuan dana dari Jakarta International Film Festival. Dokumenternya yang lain adalah Bab Akhir Pramoedya, Ragat'e Anak dan Konspirasi Hening. Ucu juga menulis beberapa buku anak-anak dan cerpen. Oleh media-media di Indonesia, Ucu disebut sebagai "salah satu pembuat film dokumenter Indonesia yang terbaik"[2] yang sering memuat isu sosial dalam karyanya. Ragat'e Anak pernah ditayangkan di Festival Film Internasional Berlin pada tahun 2009. Ia juga pernah bermain dalam film 9808 Antologi 10 Tahun Reformasi Indonesia. Riwayat hidupKehidupan awal, pendidikan, dan awal karierUcu lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 19 Augustus 1976 di tengah-tengah keluarga Muslim yang taat. Sewaktu kecil, ia belajar di Pesantren Darunnajah di Jakarta selama enam tahun; karena tidak berhubungan dengan dunia luar, ia merasa terkejut ketika mengetahui bahwa banyak perempuan dari Sukabumi yang menjadi istri simpanan dan pelacur.[1][3] Kenyataan ini menyebabkan ia lebih kritis pada dunia sekitar hingga membuatnya tertarik dengan jurnalisme.[1]. Krismantari menjelaskan Ucu sebagai "wanita kecil yang sangat kuat", yang menunjukkan pada tubuh Ucu yang kecil dan otaknya yang kuat.[1] Ucu di kemudian hari kuliah di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.[1] Setelah lulus, Ucu mulai bekerja di media cetak,[1] dengan berkontribusi di Majalah Pantau setelah menerbitkan beberapa cerita pendek dan artikel di media lain.[4] Namun karena kecewa dengan tidak adanya kesempatan untuk membuat peliputan human interest yang berkaitan dengan isu sosial, ia pindah ke media audio-visual.[1] She has also cited the intense amount of editing that her works went through as a reason for the change, noting that there "always seemed to be a wide space between the reality that happened and the 'reality' that was reported".[4] Ucu juga sangat aktif dalam menulis. Pada tahun 2003 ia menerbitkan lima buku anak-anak bertema Islam, dan minta agar mendapatkan royalti daripada biaya flat.[5] Ia juga pernah menulis cerpen berjudul "Lelaki yang Menetas di Tubuhku", yang dimasukkan dalam antoligi cerpen Un Soir du Paris (Suatu Sore di Paris).[6] The book also included stories by Clara Ng, Seno Gumira Ajidarma, and Agus Noor.[6] Pembuatan filmPada tahun 2005, Ucu membuat film dokumenternya yang pertama, Death in Jakarta yang berdurasi 28 menit.[1] Film dokumenter ini, yang menceritakan apa yang dialami fakir miskin ketika ada keluarga yang meninggal, diinspirasi oleh pengamatan Ucu pada keadaan di sebuah taman pemakaman di Utan Kayu, Jakarta Timur.[7] Film tersebut diproduksi setelah menjadi salah satu dari empat pemenang pada Lomba Penulisan Skenario Jakarta International Film Festival.[7] Dengan uang hadiah sebanyak Rp. 25 juta, Ucu membuat film Death in Jakarta dengan kamera yang dipinjamkan pihak lomba; itu merupakan pertama kali dia menggunakan kamera profesional.[7] Filmnya yang berikutnya, Ragat'e Anak, menceritakan kehidupan dua pekerja seks paruh-waktu di taman pemakaman Gunung Bolo di Tulungagung, Jawa Timur.[1] Ragat'e Anak adalah satu dari empat film dokumenter pendek yang adadalam antologi Pertaruhan atau AT STAKE, yang diproduseri Yayasan Kalyana Shira.[2] Pada tanggal 4 Juni 2009, pemerintah Tulungagung menutupi lokalisasi karena citra buruk yang dibawakan Ragat'e Anak; dalam menanggapi tindakan pemerintah daerah tersebut, Ucu menyatakan bahwa dia menyesali keputusan penutupan sepihak yang dilakukan oleh pemerintah setempat tersebut.[8] Film dokumeter berikutnya, Konspirasi Hening atau "Cosnpiracy Of Silence" diproduseri Nia Dinata dan mengambil judulnya dari pernyataan Kartono Mohamad, mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bahwa sebuah "konspirasi hening" telah membuat semua peraturan di Indonesia tentang pelayanan kesehatan menjadi tidak dapat ditegaskan.[9] Film ini mendalami isu tentang pelayanan kesehatan di Indonesia dengan mengikuti kehidupan tiga orang; dua yang mengalami malapraktik dan satu orang miskin yang tidak bisa mendapatkan akses pada layanan kesehatan.[9] Film tersebut menarik kesimpulan bahwa otoritas kesehatan dan pemerintah harus bertanggung atas pelayanan kesehatan.[2] Pada tahun 2011 Ucu bekerja sama dengan Nia lagi dalam film Batik: Our Love Story, sebuah film dokumenter tentang batik.[10] Nia menyutradarai, dan Ucu menjadi penulis.[10] TemaBuku anak-anak Ucu bertema Islam moderat.[5] Ika Krismantari, menulis untuk The Jakarta Post, mencatat bahwa Ucu sering memuat tema yang "menantang", seperti keadilan sosial, jaminan kesehatan, dan ketidaksetaraan gender, dalam film dokumenternya;[1] isu gender sering muncul di filmnya.[2] Ucu sendiri pernah menyatakan bahwa orang yang "inspiratif" adalah topik yang bagus untuk film dokumenter, sebab penonton mungkin dapat dipengaruhi oleh kesulitan hidup yang pernah dilalui subjek.[1] PenghargaanKrismantari menyatakan bahwa Ucu adalah "salah satu pembuat film dokumenter Indonesia yang terbaik".[2] Ucu salah satu pemenang Lomba Menulis Skenario yang diselenggarakan Jakarta International Film Festival pada tahun 2005, yang menjadi alasan mengapa dia bisa membuat Death in Jakarta.[7] Pertaruhan, yang memuat Ragat'e Anak, diputar di seksi Panorama di Festival Film Internasional Berlin pada tahun 2009; bersama dengan Laskar Pelangi (yang juga dipertontonkan tahun itu), filmnya ini merupakan film Indonesia pertama yang diputar di Panorama.[11] Ucu menghadiri tayanganya di Berlin bersama Nia.[11] Referensi
Pranala luar
|