Tuanku RaoTuanku Rao (lahir 1790 – wafat 1833) adalah panglima perang dan tokoh Paderi terkemuka. Ia merupakan salah seorang tokoh penyebar Islam di Tanah Batak. Kehidupan pribadiTuanku Rao lahir dari pasangan Minangkabau yang berasal dari Rao, Pasaman, Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Tarung-Tarung, Rao, sedangkan ibunya dari Padang Mantinggi, Rao.[1] Pada masa remaja, Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan Tuo, Koto Tuo, Agam, dan kemudian melanjutkannya di Bonjol. Setelah menyelesaikan ilmu fiqihu al-Islam dengan predikat thayyib jiddan (sangat memuaskan), ia dianugerahi gelar "Fakih Muhammad". Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan, putri Yang Dipertuan Rao. Karena mertuanya bukan seorang penganut Wahabi, dan tidak bersemangat untuk menentang penjajahan Belanda, maka kepemimpinan pemerintahan Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.[2] Gerakan PaderiPada tahun 1816, Tuanku Nan Barampek mengiringi Fakih Muhammad pulang ke kampung halamannya untuk mempertegas hukum Islam. Di Rao, Yang Dipertuan Daulat Padang Nunang, yang punya pertalian darah dengan Kerajaan Pagaruyung, tak ragu-ragu menyosialisasikan hukum Islam tersebut kepada anak dan kemenakannya. Kemudian bersama kemenakannya, Bagindo Suman dan Kali Alam, ia menyebarkan ajaran Paderi ke Langung, Muaro Sitabu, Muaro Bangku, Koto Rajo, Silayang, hingga sampai ke Rokan Hulu, Riau. Di wilayah Rokan Hulu, ia bertemu dengan teman seperguruannya, Tuanku Tambusai. Bersama Tuanku Tambusai, ia mengislamkan masyarakat Padang Sidempuan, Kotanopan, Padang Lawas, Bakkara, dan sejumlah perkampungan di tepi Danau Toba. Tuanku Rao merupakan salah satu panglima Perang Padri yang tangguh, dengan gigih melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda di wilayah Pasaman, Kotanopan, Padang Lawas, hingga Padang Sidempuan. Setelah pasukan Belanda menaklukan Matur dan Lubuk Sikaping, pada bulan Oktober 1832 Rao berhasil ditaklukan. Letnan Bevervoorden, seorang komandan pasukan Belanda, menemui Tuanku Rao dan membujuknya agar menyerah. Dalam pertemuan itu, Tuanku Rao berdalih akan pergi haji dan menyerahkan kembali pimpinan pemerintahan Rao kepada mertuanya, Yang Dipertuan Rao.[3] Setelah pertemuan itu, Tuanku Rao menarik diri dan bersembunyi di dalam hutan. Namun semangat yang dibawakan Tuanku Tambusai yang baru saja pulang dari Mekkah, menyemangatinya untuk terus berjuang melawan Belanda. Untuk memuluskan penyebaran paham Paderi ke tanah Batak, Tuanku Rao melakukan penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Air Bangis. Pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao dihadang oleh pasukan Belanda. Perlawanannya dapat dipatahkan, ia menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya dibuang ke laut oleh pasukan Belanda.[2] KontroversiDalam buku Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833, Mangaradja Onggang Parlindungan menulis riwayat hidup Tuanku Rao dan sejarah Perang Paderi.[4] Namun di dalam buku itu, banyak terdapat kejanggalan serta fakta-fakta yang tak dapat diterima oleh sejarawan. Di antara pernyataan Parlindungan yang dinilai sesat adalah asal usul Tuanku Rao yang disebutnya berasal dari etnis Batak bermarga Sinambela, dan merupakan seorang kemenakan Sisingamangaraja X. Ketidakakuratan lainnya adalah mengenai tahun kematian Tuanku Rao yang disebutkannya pada tahun 1921. Namun buku tersebut telah dibantah oleh banyak ahli sejarah dan agama Islam. Antara lain Hamka, melalui bukunya Tuanku Rao: Antara Khayal dan Fakta. Dalam buku ini Hamka berusaha meluruskan fakta mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi.[5] Referensi
|