Tragedi Junyo MaruTragedi Junyo Maru adalah tragedi tenggelamnya Kapal Junyo Maru dan juga tragedi kemanusiaan yang terjadi pada masa pendudukan Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang menewaskan ribuan anggota tentara Sekutu, yang berasal dari Britania Raya, Kerajaan Belanda, Amerika Serikat, dan Australia, dan juga tenaga kerja romusha asal Jawa.[1][2][3] SejarahJunyo Maru adalah sebuah kapal barang milik Kekaisaran Jepang yang difungsikan bukan untuk mengangkut barang, tetapi untuk mengangkut manusia, lebih tepatnya tawanan perang dan tenaga kerja paksa. Tugas Junyo Maru adalah mengangkut 2.300 orang tawanan perang dari Pasukan Sekutu, yang semuanya berasal dari Belanda, Britania Raya, Amerika Serikat, dan Australia, serta membawa serta 4.200 orang tenaga kerja Romusha dari Jawa. Tujuan daripada pengangkutan ini adalah menggunakan para tawanan perang dan pekerja paksa untuk mempekerjakan mereka dalam pembangunan rel kereta api tepatnya Jalur Kereta Api Trans-Sumatra yang panjangnya sekitar 220 kilometer, yang rencananya rel kereta api ini akan terbentang dari Pekan Baru, Riau ke Muaro, Jambi.[1][2][3] Pada 18 September 1944, dalam perjalannya menuju Sumatra dari Jawa, Kapal Junyo Maru diserang dengan torpedo oleh kapal selam milik Angkatan Laut Inggris atau Royal Navy, yaitu HMS Tradewind yang sedang ada di Samudra Hindia, karena jalur keberangkatan kapal ini tidak melalui Laut Jawa, tetapi melalui Samudra Hindia yang merupakan daerah kekuasaan Britania Raya. Tentara Inggris pun sebenarnya tidak tahu apa isi kapal Junyo Maru, mereka hanya melihat bendera Hinomaru di atas kapal, sehingga langsung bereaksi untuk menenggelamkannya.[2][3] Kapal Junyo Maru kemudian tenggelam di Perairan Samudra Hindia, sebelah Barat Daya Pulau Sumatra, lebih spesifiknya dekat Mukomuko, Bengkulu. Sebanyak 5.620 penumpang tewas tenggelam bersama Kapal Junyo Maru dan semuanya adalah bukan orang Jepang, sebuah serangan yang salah dari angkatan laut sehebat Royal Navy dan juga menjadi kejahatan kemanusiaan lainnya yang dilakukan oleh Kekaisaran Jepang, karena menjejalkan 6.500 orang dalam satu kapal yang sebenarnya tak layak pakai, dengan fasilitas yang tidak manusiawi, seperti tidak adanya air minum, tidak adanya sekoci, tidak adanya jalur evakuasi darurat, tidak adanya ventilasi udara, dan sebagainya. Tragedi Junyo Maru itu kemudian menjadi salah satu tragedi dan bencana maritim terburuk yang terjadi dalam sejarah Perang Dunia II, khususnya di Front Asia-Pasifik.[1][4] Referensi
|