Tragedi Armero
Tragedi Armero (bahasa Spanyol: Tragedia de Armero) adalah tragedi yang terjadi setelah letusan Gunung Berapi Komposit Nevado del Ruiz di Tolima, Kolombia, pada 13 November 1985. Letusan gunung berapi ini terjadi setelah 69 tahun tidak aktif, sehingga membuat kota-kota terdekat tidak siap. Walaupun organisasi vulkanologi telah memperingatkan pemerintah untuk mengevakuasi daerah tersebut setelah mereka mendeteksi aktivitas gunung berapi dua bulan sebelumnya, ketidak siapan kota ini menyebabkan kematian lebih dari 23.000 jiwa.[1] Ketika aliran piroklastik atau awan panas meletus dari kawah gunung berapi, aliran tersebut mencairkan gletser gunung dan mengirimkan empat aliran lahar yang sangat besar (berupa semburan lumpur, tanah longsor, dan aliran puing-puing yang disebabkan oleh aktivitas vulkanis) yang menuruni lerengnya pada kecepatan 50 km/h (30 mph). Kecepatan aliran lahar bertambah di lurah dan melanda kota Armero, menewaskan lebih dari 20.000 jiwa dari hampir 29.000 orang penduduknya.[2] Korban jiwa di kota-kota lain, khususnya Chinchiná, menjadikan jumlah korban tewas secara keseluruhan menjadi 23.000. Rekaman dan foto Omayra Sánchez, salah satu korban dari bencana ini yang masih sangat muda, dipublikasikan di seluruh dunia. Foto-foto lahar dan dampak bencana lainnya menarik perhatian dunia dan menimbulkan kontroversi mengenai sejauh mana pemerintah Kolombia bertanggung jawab atas bencana tersebut. Sebuah spanduk di pemakaman massal di Ibagué bertuliskan, "Gunung berapi tidak membunuh 22.000 orang rakyat. Pemerintahlah membunuh mereka." Upaya penyelamatan dalam bencana ini terhambat oleh komposisi lumpur, sehingga hampir mustahil untuk melewatinya tanpa terjebak. Pada saat para relawan penyelamat mencapai Armero dua belas jam setelah letusan, sebagian besar korban yang mengalami luka serius telah meninggal. Para relawan penyelamat dihadapkan dengan pemandangan pohon tumbang, tubuh manusia yang cacat, dan tumpukan puing-puing yang amat mengerikan. Ini adalah bencana vulkanik paling mematikan kedua di abad ke-20, setelah letusan Gunung Pelée pada tahun 1902, dan merupakan peristiwa vulkanik paling mematikan keempat yang tercatat sejak tahun 1500. Peristiwa ini merupakan bencana yang sebenarnya dapat dideteksi secara dini, namun diperburuk oleh ketidaksadaran masyarakat akan sejarah kerusakan yang telah ditimbulkan oleh gunung berapi tersebut. Ahli geologi dan ahli lainnya dikatakan telah memperingatkan pihak berwenang dan media tentang bahaya letusan gunung berapi ini, beberapa minggu menjelang letusan terjadi. Peta bahaya di sekitar lokasi telah disiapkan namun alur distribusinya sangat buruk. Pada hari terjadinya letusan, beberapa upaya evakuasi dilakukan, namun badai hebat menghambat komunikasi tim penyelamat. Banyak korban yang tetap tinggal di rumah mereka seperti yang diinstruksikan, percaya bahwa letusan telah berakhir. Kebisingan badai juga menghalangi banyak orang untuk mendengar suara letusan, sehingga banyak korban terlambat menyadari terjadinya letusan dan terjebak. Nevado del Ruiz telah meletus beberapa kali sejak tahun 1985, dan terus mengancam nyawa hingga 500.000 orang -orang yang tinggal di sepanjang lembah Sungai Combeima, Chinchiná, Coello-Toche, dan Guali. Sebuah aliran lahar (atau sekelompok lahar) yang ukurannya serupa dengan peristiwa tahun 1985 dapat menempuh jarak sejauh 100 km dari gunung berapi dan dapat dipicu oleh letusan kecil gunung. Untuk mengatasi ancaman ini, pemerintah Kolombia membentuk kantor khusus yang mengelola sistem nasional untuk mengidentifikasi, mencegah, menyiapkan, dan mengelola kemungkinan terjadinya bencana alam. Kantor khusus ini dinamakan Unit Nasional untuk Manajemen Risiko Bencana (Sistema Nacional de Gestión del Riesgo de Desastres ).[3] Survei Geologi Amerika Serikat juga membentuk Program Bantuan Bencana Gunung Berapi dan Tim Bantuan Krisis Gunung Berapi, yang mengevakuasi sekitar 75.000 orang dari daerah sekitar Gunung Pinatubo sebelum letusannya pada tahun 1991. Semua wilayah di Kolombia, berdasarkan undang-undang, memiliki rencana teritorial yang mencakup identifikasi ancaman bencana alam, perlakuan terhadap izin mendirikan bangunan, dan kesiapsiagaan untuk mencegah dan mengelola bencana alam melalui program-program yang telah membantu menyelamatkan banyak nyawa dalam banyak bencana alam sejak Tragedi Armero. Latar BelakangKota Armero, terletak 48 km dari gunung berapi Nevado del Ruiz dan 169 km dari ibu kota Kolombia, Bogotá. Kota ini merupakan kota terbesar ketiga di Departemen Tolima, setelah kota Ibagué dan Espinal.[4] Kota ini merupakan kota pertanian terkemuka sebelum letusan dan bertanggung jawab atas sekitar seperlima produksi beras Kolombia serta sebagian besar tanaman kapas; sorgum; dan kopi. Sebagian besar kemakmuran ini disebabkan oleh Nevado del Ruiz, karena tanah vulkanik yang subur merangsang pertumbuhan pertanian.[5] Dibangun di atas kipas aluvial yang pernah menjadi lokasi lahar bersejarah, kota ini kemudian hancur oleh letusan gunung berapi pada tahun 1595 dan semburan lumpur pada tahun 1845.[6][7] Pada letusan tahun 1595, tiga letusan Plinian yang berbeda menghasilkan lahar yang merenggut nyawa 636 jiwa.[8][9] Selama peristiwa tahun 1845, 1.000 orang tewas akibat semburan lumpur akibat gempa di dekat Sungai Magdalena.[10] Gunung ini telah mengalami tiga periode letusan yang berbeda. Letusan yang pertama dimulai pada 1,8 juta tahun yang lalu. Selama periode sekarang (mulai dari 11.000 tahun yang lalu), gunung ini telah meletus setidaknya dua belas kali, menghasilkan hujan abu, aliran piroklastik, dan lahar. Letusan yang tercatat dalam sejarah terutama melibatkan letusan lubang tengah (di kaldera) yang diikuti dengan letusan eksplosif, kemudian oleh pembentukan lahar. Letusan Holosen paling awal di Ruiz yang teridentifikasi terjadi sekitar tahun 6660 SM. Banyak dari letusan ini melibatkan letusan lubang tengah, letusan lubang sayap, dan ledakan freatik (uap).[11] Ruiz adalah gunung berapi paling aktif kedua di Kolombia setelah Galeras.[12] Satu minggu sebelum letusan, pemberontak Marxis menyerang dan mengepung Istana Kehakiman di Bogotá, berencana mengadakan persidangan yang melibatkan presiden Kolombia Belisario Betancur. Betancur menolak untuk berpartisipasi dan mengirim Tentara Nasional ke dalam gedung. Para penyerang menahan beberapa ratus tahanan, termasuk 24 orang hakim Mahkamah Agung dan 20 hakim lainnya. Dalam pertempuran berikutnya antara kedua pihak tersebut, lebih dari 75 tahanan tewas (termasuk 11 orang hakim). Bencana ini, ditambah dengan tragedi Armero, mendorong pemerintah Kolombia untuk memprediksi dan bersiap menghadapi berbagai ancaman.[13] Aktivitas Tahun 1985PendahuluanPada akhir tahun 1984, ahli geologi memperhatikan bahwa aktivitas seismik mulai meningkat di daerah sekitar Nevado del Ruiz. Meningkatnya aktivitas fumarol, pengendapan belerang di puncak gunung berapi, dan letusan freatik juga memberikan tanda kepada para ahli geologi akan kemungkinan terjadinya letusan. Peristiwa freatik, ketika kenaikan magma bertemu dengan air, berlanjut hingga bulan September 1985 (salah satu peristiwa besar terjadi pada tanggal 11 September 1985), melontarkan uap tinggi ke udara. Aktivitas mulai menurun pada bulan Oktober, mungkin karena magma baru telah selesai naik ke bangunan vulkanik Ruiz.[14] Sebuah misi vulkanologi Italia menganalisis sampel gas dari fumarol di sepanjang dasar kawah Arenas dan menemukan bahwa sampel tersebut merupakan campuran karbon dioksida dan sulfur dioksida, yang menunjukkan pelepasan langsung magma ke lingkungan permukaan. Saat menerbitkan laporan untuk pejabat pemerintah pada tanggal 22 Oktober 1985, para ilmuwan menyimpulkan bahwa risiko lahar sangat tinggi. Untuk mempersiapkan diri menghadapi letusan, laporan tersebut memberikan beberapa teknik kesiapsiagaan sederhana kepada pihak berwenang setempat.[15] Tim lain memberikan seismograf kepada pejabat setempat, tetapi tidak ada instruksi tentang cara mengoperasikannya.[16] Aktivitas vulkanik meningkat lagi pada bulan November 1985 ketika magma mendekati permukaan. Peningkatan jumlah gas yang kaya akan sulfur dioksida dan unsur belerang mulai muncul di gunung berapi. Kandungan air dalam gas fumarol menurun, dan mata air di sekitar Ruiz diperkaya dengan magnesium, kalsium, dan kalium, yang tercuci dari magma.[17] Suhu kesetimbangan termodinamika, sesuai dengan komposisi kimia gas yang dibuang, berkisar antara 200 hingga 600 °C (400 hingga 1.100 °F); ini adalah ukuran suhu di mana gas-gas tersebut seimbang di dalam gunung berapi. Pelepasan gas magma secara ekstensif menyebabkan peningkatan tekanan di dalam gunung berapi di ruang di atas magma, yang pada akhirnya mengakibatkan letusan eksplosif.[18] Persiapan dan upaya evakuasiPada bulan September 1985, ketika gempa bumi dan letusan freatik mengguncang daerah tersebut, pejabat setempat mulai merencanakan evakuasi. Pada bulan Oktober, peta bahaya diselesaikan untuk wilayah sekitar Ruiz.[20] Peta ini menyoroti bahaya jatuhnya material—termasuk abu dan batu —di dekat Murillo, Santa Isabel, dan Libano, serta ancaman lahar di Mariquita, Guayabal, Chinchiná, dan Armero.[21] Peta tersebut tidak didistribusikan dengan baik kepada orang-orang yang berisiko tinggi terkena Ruiz, namun banyak orang yang selamat belum pernah mendengarnya, meskipun beberapa surat kabar besar di negara tersebut memuat versi peta tersebut.[19] Henry Villegas dari INGEOMINAS (Institut Pertambangan dan Geologi Kolombia) menyatakan bahwa peta bahaya dengan jelas menunjukkan bahwa Armero akan terkena dampak lahar, tetapi peta tersebut mendapat tentangan kuat dari kepentingan ekonomi. Dia menambahkan, karena peta tersebut tidak disiapkan jauh sebelum letusan, produksi massal dan distribusi tepat waktu menjadi sulit.[22] Setidaknya salah satu peta bahaya, yang diterbitkan di surat kabar terkemuka El Espectador di Bogotá, memuat kesalahan yang mencolok. Tanpa penskalaan grafis yang tepat, tidak jelas seberapa besar sebenarnya zona bahaya di peta tersebut. Lahar di peta tidak memiliki titik akhir yang jelas, dan ancaman utama tampaknya berasal dari aliran piroklastik, bukan aliran lumpur. Meskipun petanya berwarna biru, hijau, merah, dan kuning, tidak ada kunci yang menunjukkan apa yang diwakili oleh masing-masing warna, dan Armero terletak di zona hijau, yang disalahartikan sebagai area teraman.[23] Peta lain yang diterbitkan oleh surat kabar El Tiempo menampilkan ilustrasi yang memberikan persepsi topografi kepada masyarakat yang tidak terbiasa dengan peta, sehingga memungkinkan mereka menghubungkan zona bahaya dengan lanskap. Meskipun presentasi ini ditujukan kepada audiens, peta tersebut pada akhirnya merupakan representasi risiko yang lebih artistik daripada yang murni ilmiah.[23] Pada hari terjadinya letusan, kolom abu hitam meletus dari Ruiz sekitar pukul 03.00 sore waktu setempat. Direktur pertahanan sipil setempat segera diberitahu mengenai situasi tersebut. Dia menghubungi INGEOMINAS, yang memutuskan bahwa daerah tersebut harus dievakuasi; dia kemudian diminta untuk menghubungi direktur pertahanan sipil di Bogotá dan Tolima antara pukul 17.00–19.00. Pada sore hari, abu berhenti berjatuhan, dan pejabat setempat, termasuk pendeta kota, menginstruksikan masyarakat untuk tetap tenang dan masuk ke dalam rumah.[24] Sekitar jam 17.00 sore hari, rapat komite darurat diadakan, dan berakhir pada pukul 19.00. Beberapa anggota menghubungi Palang Merah regional mengenai upaya evakuasi yang dimaksudkan di Armero, Mariquita, dan Honda.[25] Palang Merah Ibagué menghubungi pejabat Armero dan memerintahkan evakuasi, namun tidak dilakukan karena gangguan listrik akibat badai. Hujan lebat akibat badai dan guntur yang terus-menerus mungkin telah meredam kebisingan gunung berapi, dan tanpa upaya peringatan sistematis, penduduk Armero sama sekali tidak menyadari aktivitas yang sedang berlangsung di Ruiz. Pukul 21.45, setelah gunung berapi meletus, pejabat pertahanan sipil dari Ibagué dan Murillo mencoba memperingatkan pejabat Armero, namun tidak dapat melakukan kontak. Kemudian mereka mendengar percakapan antara pejabat Armero dan pejabat lainnya; yang terkenal, beberapa orang mendengar walikota Armero berbicara di radio ham, mengatakan bahwa menurutnya tidak ada bahaya tepat sebelum dia dilanda lahar.[26] ErupsiPada pukul 21.09, pada 13 November 1985,[27] Nevado del Ruiz mengeluarkan tephra dasit lebih dari 30 km (20 mi) ke atmosfer.[28] Massa total material yang meletus (termasuk magma) adalah 35 juta metrik ton, [28] hanya tiga persen dari jumlah yang meletus dari Gunung St. Helens pada tahun 1980. [29] Letusannya mencapai peringkat 3 pada Volcanic Explosivity Index.[30] Massa sulfur dioksida yang dikeluarkan adalah sekitar 700.000 metrik ton, atau sekitar dua persen massa material padat yang meletus,[28] membuat letusan tersebut kaya akan belerang.[31] Letusan tersebut menghasilkan aliran piroklastik yang mencairkan gletser dan salju di puncak, menghasilkan empat lahar tebal yang mengalir menuruni lembah sungai di sisi gunung berapi,[32] menghancurkan sebuah danau kecil yang terlihat di kawah Arenas beberapa bulan sebelum letusan. Air di danau vulkanik tersebut cenderung sangat asin, dan mungkin mengandung gas vulkanik terlarut. Air danau yang panas dan asam secara signifikan mempercepat pencairan es, hal ini dibuktikan dengan banyaknya sulfat dan klorida yang ditemukan dalam aliran lahar.[33] Lahar, terbentuk dari air, es, batu apung, dan batuan lainnya,[34] menggabungkan tanah liat dari tanah yang terkikis saat bergerak menuruni sisi gunung berapi.[35] Lahar ini menuruni sisi gunung berapi dengan kecepatan rata-rata 60 km/h (40 mph), mencabut batu dan menghancurkan tumbuh-tumbuhan. Setelah turun ribuan meter ke sisi gunung berapi, lahar mengikuti alur enam lembah sungai yang mengarah dari gunung berapi, di mana volumenya meningkat hampir empat kali lipat volume aslinya. Di Sungai Gualí, satu lahar mencapai lebar maksimum 50 m (160 ft).[34] Orang-orang yang selamat di Armero menggambarkan malam itu sebagai malam yang tenang. Abu vulkanik telah turun sepanjang hari, namun warga diberitahu bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sore harinya, abu mulai turun lagi setelah cukup lama tenang. Stasiun radio lokal melaporkan bahwa warga harus tetap tenang dan mengabaikan abu tersebut. Seorang korban selamat melaporkan pergi ke pemadam kebakaran untuk diberitahu bahwa abunya tidak ada.[36] Pada malam hari, listrik tiba-tiba padam dan radio menjadi sunyi. Tepat sebelum pukul 23.30, aliran air yang besar menyapu Armero, cukup kuat untuk membalikkan mobil dan menenggelamkan manusia. Suara gemuruh terdengar keras dari dalam gunung, namun warga panik atas apa yang mereka yakini sebagai banjir.[37] Pukul 23.30, lahar pertama melanda, disusul tak lama kemudian oleh lahar lainnya.[38] Salah satu aliran lahar hampir melenyapkan Armero; tiga perempat dari 28.700 penduduk kota tewas.[39] Berlangsung dalam tiga gelombang besar, lahar ini berjumlah 30 m (100 ft) dalam, bergerak pada kecepatan 12 m/s (39 ft/s; 27 mph), dan berlangsung sepuluh hingga dua puluh menit. Bergerak dengan kecepatan sekitar 6 m/s (20 ft/s; 13 mph), lahar kedua berlangsung selama tiga puluh menit dan diikuti oleh letusan yang lebih kecil.[40] Letusan besar ketiga membuat durasi lahar menjadi sekitar dua jam. Pada saat itu, 85 persen Armero diselimuti lumpur. Para penyintas menggambarkan orang-orang yang berpegangan pada puing-puing rumah mereka sebagai upaya untuk tetap berada di atas lumpur. Bangunan-bangunan runtuh, menimpa orang-orang dan menghujani puing-puing.[40] Di bagian depan lahar terdapat batu-batu besar dan batu-batuan yang dapat menghancurkan siapa pun yang dilewatinya, sementara bagian-bagian yang lebih lambat dipenuhi oleh batu-batu halus dan tajam yang menyebabkan luka-luka. Lumpur berpindah ke luka terbuka dan bagian tubuh terbuka lainnya - mata, telinga, dan mulut — dan memberikan tekanan yang mampu menyebabkan asfiksia traumatis dalam satu atau dua menit pada orang yang terkubur di dalamnya. Martí dan Ernst menyatakan dalam karyanya Volcanoes and the Environment (Gunung Berapi dan Lingkungan) bahwa mereka percaya bahwa banyak orang yang selamat dari lahar meninggal karena luka-luka mereka karena terjebak, atau terkena hipotermia, meskipun hal tersebut tidak mungkin terjadi, mengingat para penyintas menggambarkan air sebagai air hangat.[41] Lahar lainnya, yang turun melalui lembah Sungai Chinchiná, menewaskan sekitar 1.800 orang dan menghancurkan 400.[42] Total lebih dari 23.000 orang tewas, sekitar 5.000 orang terluka, dan 5.000 rumah[43] di tiga belas desa[44] hancur. Sekitar 230.000 orang terkena dampaknya, 11.000 hektar tanah rusak, dan hampir 20.000 pengungsi yang selamat.[45] Tragedi Armero, sebutan untuk peristiwa tersebut, adalah bencana vulkanik paling mematikan kedua pada abad ke-20, hanya dilampaui oleh letusan Gunung Pelée pada tahun 1902, [46] dan merupakan letusan gunung berapi paling mematikan keempat yang tercatat sejak tahun 1500 M.[47] Ini juga merupakan lahar paling mematikan,[48] dan bencana alam terburuk di Kolombia.[49] DampakKorban jiwa diperburuk oleh tidak adanya jangka waktu yang tepat untuk terjadinya letusan dan keengganan pihak berwenang setempat untuk mengambil tindakan pencegahan yang mahal tanpa adanya tanda-tanda bahaya yang jelas.[50] Pasalnya, letusan besar terakhirnya pernah terjadi 140 tahun sebelumnya, sehingga sulit bagi banyak orang untuk menerima bahaya yang ditimbulkan oleh gunung berapi.[51] Sehari setelah letusan, para relawan penyelamat di Armero terkejut dengan dampaknya. Lahar telah meninggalkan gumpalan abu-abu yang menutupi seluruh kota, dipenuhi pohon-pohon tumbang dan tubuh-tubuh yang cacat parah.[52] Puing-puing dari gubuk dan rumah menyembul dari bawah lumpur abu-abu. Beberapa tas berisi hasil panen ditemukan di lumpur. Para relawan menggambarkan bau tajam dari "tubuh yang membusuk, ... asap kayu dan sayuran yang membusuk". [53] Yang membuat para pekerja ini merasa ngeri. Para korban yang selamat mengeluarkan erangan kesakitan dan penderitaan. Kerugiannya diperkirakan mencapai satu miliar dolar, jumlahnya sekitar seperlima dari produk nasional bruto Kolombia tahun 1985.[52] Ketika berita tentang bencana tersebut menyebar ke seluruh dunia, kampanye presiden Kolombia yang sedang berlangsung dihentikan, dan para pejuang gerilya menghentikan kampanye mereka "mengingat tragedi menyakitkan yang menimpa negara kita". Tiket pertandingan sepak bola kejuaraan nasional Kolombia dikenakan biaya tambahan sebesar lima sen untuk digunakan dalam upaya bantuan.[54] Para ilmuwan yang kemudian menganalisis data seismograf memperhatikan bahwa beberapa gempa bumi jangka panjang (yang dimulai dengan kuat dan kemudian perlahan-lahan padam) telah terjadi pada jam-jam terakhir sebelum letusan.[55] Upaya BantuanLetusan Nevado del Ruiz terjadi dua bulan setelah gempa bumi Kota Meksiko tahun 1985, sehingga membatasi jumlah pasokan yang dapat dikirim ke setiap bencana.[56] Upaya diorganisir di Ibagué dan Bogotá untuk Armero dan di Cali untuk Chinchiná, tempat tim medis berkumpul. Stasiun triase darurat didirikan di Lerida, Guayabal, dan Mariquita, dan segera kewalahan karena banyaknya korban. Korban yang tersisa dirujuk ke rumah sakit Ibagué, karena rumah sakit lokal telah hancur atau berisiko terkena lahar lebih lanjut.[57] Pemerintah Amerika Serikat menyumbangkan satu juta dollar untuk membantu, dan Duta Besar Amerika Serikat, Charles A. Gillespie, Jr. menyumbangkan 25.000 dollar untuk bantuan bencana. Kantor USAID mengirimkan satu anggota USGS dengan ahli penyelamatan bencana USAID serta dua belas helikopter, dengan bantuan medis dari Panama.[43] Amerika Serikat juga mengirimkan pesawat dan bantuan-bantuan secara berkelanjutan, termasuk 500 buah tenda; 2.250 buah selimut; dan beberapa alat perbaikan tenda. Dua puluh empat negara lainnya berkontribusi dalam penyelamatan dan bantuan bagi para penyintas. Ekuador memasok rumah sakit keliling, dan Palang Merah Islandia mengirimkan $4.650. Pemerintah Perancis mengirimkan pasokan medisnya sendiri sebanyak 1.300 tenda. Jepang mengirim $1,25 juta, bersama dengan delapan dokter, perawat, dan insinyur, ditambah $50,000 ke PBB untuk upaya bantuan.[58] $50.000 lainnya disumbangkan oleh Lions Clubs International Foundation.[59] Upaya penyelamatan terhambat oleh lumpur lunak yang mencapai 46 m jauh di beberapa tempat,[60] sehingga mustahil bagi siapa pun untuk melintasinya tanpa tenggelam.[61] Yang lebih parah lagi, jalan raya yang menghubungkan ke Armero dan beberapa jembatan ke sana telah dihancurkan oleh lahar.[60] Butuh waktu dua belas jam bagi korban selamat pertama untuk diselamatkan, sehingga mereka yang mengalami luka serius namun dapat diobati mungkin meninggal sebelum tim penyelamat tiba.[61] Karena rumah sakit Armero hancur akibat letusan, helikopter memindahkan korban ke rumah sakit terdekat. Enam kota setempat mendirikan klinik bantuan darurat, yang terdiri dari area perawatan dan tempat penampungan bagi para tunawisma. Untuk membantu pengobatan, dokter dan tim penyelamat datang dari seluruh negeri.[62] Dari 1.244 pasien yang tersebar di beberapa klinik, 150 meninggal karena infeksi atau komplikasi terkait. Seandainya antibiotik sudah tersedia dan semua luka sayatan telah dibersihkan secara menyeluruh, banyak dari orang-orang ini bisa diselamatkan.[63] Satu minggu setelah bencana, upaya penyelamatan mulai berkurang. Hampir 4.000 orang anggota tim penyelamat masih mencari korban selamat, dengan sedikit harapan. Saat itu, jumlah kematian yang dicatat sudah mencapai 22.540 jiwa, 3.300 hilang, 20.000 menjadi tunawisma, dan 4.000 luka-luka. Para pencuri menjarah reruntuhan dan para korban selamat menghadapi ancaman tifus dan penyakit kuning. Bagi sebagian besar anggota tim penyelamat, tugas mereka sudah selesai.[47] Letusan tersebut dijadikan contoh pemulihan kejiwaan pasca bencana alam oleh Robert Desjarlais dan Leon Eisenberg dalam karyanya World Mental Health: Problems and Priorities in Low-Income Countries. Para penulis khawatir bahwa hanya pengobatan awal yang dilakukan terhadap trauma psikologis para penyintas. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa para korban letusan menderita kecemasan dan depresi, yang dapat menyebabkan penyalahgunaan alkohol, masalah perkawinan dan masalah sosial lainnya.[64] Rafael Ruiz, seorang mayor Tentara Nasional yang sempat menjabat sebagai walikota sementara Armero pasca bencana, menyatakan bahwa ada korban selamat yang karena trauma peristiwa tersebut, menjadi gelisah; mengalami mimpi buruk; dan menderita masalah emosional. Ia menambahkan bahwa kemajuan yang dicapai pada Natal tahun 1985 cukup besar, namun perjalanan masih panjang.[65] AkibatKurangnya persiapan menghadapi bencana turut menyebabkan tingginya angka kematian. Armero dibangun di atas lapisan aluvial[66] yang telah dibanjiri oleh aliran lumpur bersejarah; pihak berwenang telah mengabaikan peta zona bahaya yang menunjukkan potensi kerusakan kota akibat lahar. Warga tetap tinggal di dalam rumah mereka untuk menghindari jatuhnya abu, seperti yang diperintahkan oleh pejabat setempat, tanpa berpikir bahwa mereka mungkin terkubur oleh semburan lumpur.[67] Bencana ini menjadi terkenal secara internasional karena foto yang diambil oleh fotografer Frank Fournier tentang seorang gadis muda bernama Omayra Sánchez, yang terjebak di bawah reruntuhan selama tiga hari sebelum dia meninggal.[68] Setelah letusan, tim penyelamat berkumpul di sekitar gadis itu, berbicara dengannya dan mendengarkan tanggapannya. Dia menarik perhatian para reporter di lokasi karena rasa martabat dan keberaniannya, dan menimbulkan kontroversi ketika orang-orang bertanya-tanya mengapa fotografer tidak menyelamatkannya (yang tidak mungkin dilakukan tanpa peralatan).[68] Permohonan kepada pemerintah untuk membangun pompa untuk menurunkan air di sekitar Sánchez tidak dijawab, dan dia menderita gangren dan hipotermia setelah enam puluh jam terjebak. Kematiannya melambangkan sifat tragis bencana Armero – dia bisa diselamatkan jika pemerintah segera merespons dan mengatasi kekhawatiran akan potensi gunung berapi tersebut.[68] Foto tersebut mendapatkan World Press Photo of the Year karena "mengabadikan peristiwa jurnalistik yang paling penting".[69] Dua fotografer dari Miami Herald memenangkan Hadiah Pulitzer karena memotret efek lahar.[70] Stanley Williams dari Louisiana State University mengatakan bahwa setelah letusan tersebut, dengan kemungkinan pengecualian Gunung St. Helens di negara bagian Washington, tidak ada gunung berapi lain di Belahan Barat yang diawasi secara cermat.[71] Menanggapi letusan tersebut, Tim Bantuan Krisis Gunung Berapi USGS dibentuk pada tahun 1986,[72] dan Program Bantuan Bencana Gunung Berapi.[73] Gunung berapi ini meletus beberapa kali lagi antara tahun 1985 dan 1994.[74] Kemarahan atas kelalaian pemerintahKekhawatiran atas dugaan kelalaian pejabat setempat dalam memperingatkan penduduk setempat tentang ancaman gunung berapi menimbulkan kontroversi. Walikota Armero, Ramon Rodriguez, dan pejabat lokal lainnya telah mencoba menyampaikan potensi letusan gunung berapi tersebut kepada pemerintah Kolombia, namun tidak berhasil. Selama berbulan-bulan, Rodriguez mengajukan banding ke berbagai pejabat, termasuk anggota kongres dan gubernur Tolima, Eduardo Alzate Garcia. Rodriguez pernah menyebut gunung berapi itu sebagai "bom waktu" dan mengatakan kepada wartawan bahwa dia yakin letusannya akan mengganggu bendungan alam di atas Armero, yang mengakibatkan banjir.[75] Walaupun Rodriguez bersikeras, hanya salah satu anggota kongres yang bertanya tentang realita situasi tragedi ini. Laporan dari Menteri Pertambangan Kolombia, Menteri Pertahanan, dan Menteri Pekerjaan Umum menyatakan bahwa pemerintah telah menyadari risiko gunung berapi dan telah berusaha melindungi warga. Kurangnya tanggung jawab para pembuat hukum tentang bencana membuat media mendebatkan hal ini. Salah satu kampanye paling agresif datang dari pemakaman massal di Ibague untuk para korban, menyatakan bahwa "Gunung Berapi tidak membunuh 22.000 korban, pemerintahlah yang melakukannya."[33] WarisanNevado del Ruiz terus menimbulkan ancaman serius bagi kota-kota dan desa-desa terdekat. Dari ancaman tersebut, yang paling berpotensi menimbulkan bahaya adalah letusan dalam skala kecil yang dapat mengganggu kestabilan gletser dan memicu lahar.[76] Meskipun sebagian besar massa gletser gunung berapi telah menyusut, sejumlah besar es masih berada di puncak Ruiz dan gunung berapi lainnya di pegunungan Ruiz – Tolima. Mencairnya sepuluh persen es saja akan menghasilkan lahar dengan volume hingga 200×10 6 m3 (7,1×10 9 cu ft) – mirip dengan lahar yang menghancurkan Armero pada tahun 1985. Hanya dalam hitungan jam, lahar ini bisa menempuh jarak hingga 100 km (62 mi) di sepanjang lembah sungai.[77] Perkiraan menunjukkan bahwa hingga 500.000 masyarakat yang tinggal di lembah Combeima, Chinchiná, Coello-Toche, dan Guali berisiko, dengan 100.000 orang dianggap berisiko tinggi.[78] Lahar menimbulkan ancaman bagi kota-kota terdekat seperti Honda, Mariquita, Chinchiná, Ambalema, Herveo, Villa Hermosa, Puerto Salgar dan La Dorada.[79] Meskipun letusan kecil lebih mungkin terjadi, sejarah letusan Massif Ruiz – Tolima selama dua juta tahun mencakup banyak letusan besar, yang menunjukkan bahwa ancaman letusan besar tidak dapat diabaikan.[78] Letusan besar akan berdampak lebih luas, termasuk potensi penutupan bandara Bogotá karena hujan abu.[80] Ketika tragedi Armero diperburuk oleh kurangnya peringatan dini,[81] penggunaan lahan yang tidak bijaksana,[82] dan ketidaksiapan masyarakat sekitar,[81] pemerintah Kolombia membuat program khusus, Oficina Nacional para la Atención de Desastres (Kantor Nasional Kesiapsiagaan Bencana), yang sekarang dikenal sebagai Dirección de Prevención y Atención de Desastres (Direktorat Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana)[83] – untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Semua kota di Kolombia diarahkan untuk mendorong perencanaan pencegahan guna mengurangi dampak bencana alam,[84] dan evakuasi akibat bahaya gunung berapi telah dilakukan. Sekitar 2.300 orang-orang yang tinggal di sepanjang lima sungai terdekat dievakuasi ketika Nevado del Ruiz meletus lagi pada tahun 1989.[85] Ketika gunung berapi Kolombia lainnya, Nevado del Huila, meletus pada bulan April 2008, ribuan orang dievakuasi karena ahli vulkanologi khawatir letusan tersebut bisa menjadi "Nevado del Ruiz" lainnya.[86] Pembelajaran dari tragedi Armero telah mengilhami sistem peringatan lahar untuk Gunung Rainier di Negara Bagian Washington, yang juga memiliki potensi lahar serupa.[87] Armero tidak pernah dibangun kembali setelah tragedi itu. Sebaliknya, mereka yang selamat direlokasi ke kota Guayabal dan Lérida, menjadikan Armero sebagai kota hantu. Referensi
|