Tonsea Lama, Tondano Utara, Minahasa

Tonsealama , adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia.

Tonsea Lama
Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Utara
KabupatenMinahasa
KecamatanTondano Utara
Kode pos
95371
Kode Kemendagri71.02.16.2006 Edit nilai pada Wikidata
Jumlah penduduk2.192 Jiwa
Peta
PetaKoordinat: 1°19′43.10″N 124°55′50.20″E / 1.3286389°N 124.9306111°E / 1.3286389; 124.9306111

Desa Tonsealama Merupakan Pusat Kecamatan Tondano Utara.

Sejarah

Desa Tonsealama adalah salah satu desa tertua di Minahasa, sebab desa ini dihuni oleh warganya beberapa saat setelah tercapainya Kesepakatan Damai Watupinawetengan, yang diperkirakan berlangsung pada abad ke-7. Penduduk asli Desa Tonsealama adalah suku “Tontiwo” yaitu salah satu dari ketiga anak suku Minahasa yang menjadi peserta dalam kesepakatan Watupinawetengan. Dua anak suku Minahasa lainnya yang mengikuti pertemuan tersebut adalah suku Tombulu dan suku Tountemboan. Dari pesisir danau mereka kemudian naik menuju Tamporok. Suku Tontiwo mengitari pesisir timur danau (Tondano), sebab genangan air danau ketika itu mencapai wilayah Tataaran. Dari pesisir danau mereka kemudian naik ke punggung pegunungan Lembean dan menelusurinya ke arah utara lalu beristirahat di Nadana, suatu lokasi yang terletak di sebelah tenggara dari pegunungan Makaweimben. Nyadanan berasal dari kata “na’dan” yang dalam bahasa Tonsea artinya tangga, sebab bentuk permukaan tanah di tempat itu menyerupai tangga. Dalam peristirahatan di Nadana, anak suku Minahasa ini melakukan aktivitas berburu dari suku Tontiwo ini menemukan suatu lokasi yang sangat indah menurut pengamatan mereka sebab permukaan tanahnya landai dan didapati banyak tumbuhan yang dapat dimakan serta sumber mata air yang muncul dimana-mana.

Desa Tonsealama adalah salah satu desa tertua di Minahasa, sebab desa ini dihuni oleh warganya beberapa saat setelah tercapainya Kesepakatan Damai Watupinawetengan, yang diperkirakan berlangsung pada abad ke-7. Penduduk asli Desa Tonsealama adalah suku “Tontiwo” yaitu salah satu dari ketiga anak suku Minahasa yang menjadi peserta dalam kesepakatan Watupinawetengan. Dua anak suku Minahasa lainnya yang mengikuti pertemuan tersebut adalah suku Tombulu dan suku Tountemboan. Dari pesisir danau mereka kemudian naik menuju Tamporok. Suku Tontiwo mengitari pesisir timur danau (Tondano), sebab genangan air danau ketika itu mencapai wilayah Tataaran. Dari pesisir danau mereka kemudian naik ke punggung pegunungan Lembean dan menelusurinya ke arah utara lalu beristirahat di Nadana, suatu lokasi yang terletak di sebelah tenggara dari pegunungan Makaweimben. Nyadanan berasal dari kata “na’dan” yang dalam bahasa Tonsea artinya tangga, sebab bentuk permukaan tanah di tempat itu menyerupai tangga. Dalam peristirahatan di Nadana, anak suku Minahasa ini melakukan aktivitas berburu dari suku Tontiwo ini menemukan suatu lokasi yang sangat indah menurut pengamatan mereka sebab permukaan tanahnya landai dan didapati banyak tumbuhan yang dapat dimakan serta sumber mata air yang muncul dimana-mana.

Para pemimpin suku Tontiwo yang diberitahu soal penemuan ini segera datang menelitinya dan langsung menyatakan bahwa lokasi tersebut sangat baik untuk dijadikan permukiman. Maka sejak itu suku Tontiwo menetap di lokasi ini, dan menunda perjalanannya menuju Tamporok. Dari tempat inilah dikemudian hari secara bertahap mereka melanjutkan perjalanannya ke arah utara untuk memenuhi amanat Watupinawetengan yaitu mendiami wilayah sekitar gunung Tamporok. Suku Tountemboan dan Suku Tombulu sebaqai peserta kesepakatan Watupinawetengan ketika mendengar tentang keputusan Suku Tontiwo untuk menunda perjalanan ke gunung Tamporok menganggap bahwa anak Suku Minahasa yang satu ini telah menyimpang dari rute yang telah mereka tetapkan semula. Seharusnva Nadana mereka sudah harus turun gunung ke arah kaki gunung Tamporok yang sudah sangat jelas terlihat dari posisinya saat itu, namun mereka tidak melakukan hai itu, bahkan berbelok ke kiri, ke arah barat dan membangun pemukiman baru, jauh dari gunung Tamporok.

Atas perubahan arah perjalanan ini disebut Tou-uii-sea, se simea = mereka menyimpang (sea = berbelok, menyimpang). Jadi, awal penyebutan istilah Tonsea bermula dari peristiwa ini dan bukan menghindari perang dengan suku lain seperti keterangan suku lain dalam buku “Minahasa masa lalu dan masa sekarang” karangan N. Graafland, sebab pasca kesepakatan Watupinawetengan tidak ada perang antara suku di Minahasa.

Setelah suku Tonsea tersebar secara merata di Minahasa Utara maka tempat permukiman pertama orang Tonsea ini mereka sebut “Kembuan” atau mata air. Mereka membayangkan perjalanannva dari Kembuan hingga tersebar di kaki gunung Tamporok dan di seluruh Minahasa Utara ibarat sebuah mata air yang mengalir membasahi setiap jengkal tanah di Minahasa. Dengan demikian negeri Kembuan dianggap sebagai pusat penyebaran suku Tonsea, sehingga negeri ini diberi sebutan “Wanua Tu’a” diganti dengan Tonsealama, Distrik Airmadidi.

Pemerintahan

Berikut Nama-Nama Hukum Tua Desa Tonsealama dari masa ke masa :

1. Tombey Kandou (1808-1819)

2. Samel Tumengkol (1819-1836)

3. Kojansouw Manoppo (1836-1857)

4. Ambrosius Tumengkol (1857-1866)

5. Josias Kandou (1866-1888)

6. Wellem Tumengkol (1888-1892)

7. Arnold Dimpudus (1892-1920)

8. Leonard Polii (1920-1928)

9. Izzak Pangemanan (1928-1934)

10. Jehosua Manoppo (1934-1940 Plt)

11. Hanoch Sumampouw (1940-1943)

12. Eliezer Rumbajan (1943-1944 Plt)

13. Emest Lengkong (1944-1945)

14. Johan Lontoh (1945-1946 Plt)

15. Ernest Lengkong (1946-1947)

16. Barnabas Wenas (1947-1949)

17. Lefrand Dimpudus (1949-1950 Plt)

18. Worotikan Tumengkol (1950-1951)

19. George Dimpudus (1951-1959)

20. Gustaf Walalngi (1959-1961 Plt)

21. Frans Tumengkol (1961-1965)

22. Max Pondaag (1965-1969)

23. Peiter.C.Runtu (1969-1983)

24. Wemfried Tumengkol (1983-1993)

25. Gregorius.O.W.Sumampouw (1993-2002)

26. Ruddy Kalalo (2002-2003 Plt)

27. Christofel.L.Manoppo (2003-2005, 2005-2008)

28. Mathilda Nelwan (2005-2005 Plt)

29. Henny.E.O.Tumengkol (2008-2008 Plt)

30. Joice.A.Wenas (2008-2017)

31. Aldrin.A.Christian, SSTP (2017-2017 Plt)

32. Estefanus Dimpudus, A.Md (2017-2023, 2023-Sekarang, Plt)

Demografi

Suku Bangsa

Berdasarkan suku, pada umumnya penduduk desa tonsealama, berasal dari suku Minahasa sebagai penduduk asli wilayah tersebut. Adapun suku pendatang seperti Sangir , Gorontalo, Jawa dan lainnya.

Agama

Mayoritas Agama di Desa Tonsealama Adalah Kristen dan sebagian beragama muslim yang tinggal di Jaga/Dusun 1 dari 5 dusun yang ada.

Adapun Rumah ibadah di Desa Ini terdapat 4 Bangunan Gereja dari Berbagai Denominasi Seperti GMIM , GPDI , GSJA , GMAHK juga terdapat 1 Bangunan Masjid.

Tempat Bersejarah

Peninggalan Belanda

PLTA Tonsea lama atau Pembangkit Listrik Tenaga Air Tonsea Lama, merupakan salah satu pembangkit listrik bertenaga air, yang berada di Desa Tonsea Lama Kecamatan Tondano Utara kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara. PLTA ini menggunakan air Sungai Tondano sebagai sumber penggerak turbinnya, saluran masuk In-take dam PLTA ini berada di daerah Tonsea Lama Tondano Utara.

PLTA Tonsea Lama Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tonsea Lama merupakan PLTA Tertua di Indonesia. Dibangun pada zaman penjajahan Belanda tahun 1912. PLTA Tonsea Lama merupakan bangunan sejarah peninggalan Bangsa Belanda dan juga Bangsa Jepang, dimana tercatat pertama kali didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan pernah dikuasai oleh Tentara Pendudukan Jepang, lalu kembali ke Pemerintah Kolonial Belanda, kemudian setelah Indonesia merdeka, dikelolah menjadi PLTA PT.PLN.

Fasilitas PLTA ini dioperasikan sejak zaman penjajahan Belanda ini memiliki lingkungan yang asri. Selain sebagai salah satu sumber produksi listrik bagi kebutuhan masyarakat pelanggan PLN, di PLTA ini juga bagi setiap mereka yang berkunjung seakan diajak untuk menelusuri jejak peninggalan sejarah peninggalan Bangsa Belanda dan juga Bangsa Jepang. Mulai dari bendungan air, terowongan, turbin, hingga generator yang telah berusia puluhan tahun.

Peninggalan Jepang

di Tonsealama terdapat goa unik dan masih terawat di daerah ini. Goa Tersebut dibangun Pada Masa Penjajahan Jepang (1942-1945) , saat ini goa tersebut dipenuhi dengan Kelelawar dan Burung Walet.

Pranala luar


Kembali kehalaman sebelumnya