Tisna SanjayaTisna Sanjaya, S.Sn., M.A., Ph.D. (lahir 28 Januari 1958) adalah seorang seniman berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal secara luas melalui karya-karyanya berupa lukisan yang terpajang di puluhan kali pameran yang diselenggarakan baik dalam negeri maupun luar negeri. Tisna merupakan salah satu penerima Anugerah Adhikarya Rupa untuk kategori personal, tahun 2014.[1][2][3] Latar belakangTisna Sanjaya dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada tahun 1958. Bakat seninya terlihat sejak usia muda. Ia sering menggambar di tembok-tembok rumah. Kendati orangtuanya pedagang ayam, namun mereka sangat mendukung bakat seninya. Ini karena lingkungan rumahnya tak jauh dari kesenian. Waktu SMP, ia juara menggambar yang diadakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Ia seorang pengagum lukisan-lukisan karya Chan Tanjung, Rusli, dan karya-karya Moi Indie lainnya, bahkan lukisannya yang memenangi lomba yang diselenggarakan oleh BKKBN itu pun terinspirasi oleh gaya Rusli. Tisna sempat kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) pada jurusan senirupa selama dua tahun, dan selanjutnya masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) (1979-1986). Di ITB inilah, sejak dia ia berkenalan dengan dunia happening art dari kelas eksperimen kreatif yang diajarkan G. Sidharta, kemampuan melukisnya semakin terasah. Sejak lulus dari Seni Rupa ITB (1986), ia sangat produktif berkarya dan aktif berpameran baik tunggal maupun kelompok. Karena aktivitas dan intensitas berkaryanya, serta terobosan kreativitasnya sosok dan karya-karyanya banyak mengundang perhatian dan kupasan para pengamat seni rupa di Indonesia. Wacana berkarya yang dikembangkannya banyak ditanggapi, diikuti dan dinegasi oleh seniman-seniman lainnya terutama generasi yang lebih muda.[4] Sejak 1995-an ia banyak mendapat perhatian dari para pengamat seni rupa Indonesia dan bahkan internasional, karena karya-karyanya banyak mengungkapkan tema-tema kepincangan sosial dan politik di Indonesia, terutama semasa Soeharto masih berkuasa. Karya-karyanya pada masa itu cenderung ke seni abstrak yang menjauhkan diri dari realitas sosial dan lebih berorientasi pada persoalan dalam diri (mikrokosmos) senimannya, atau tema-tema yang universal. Ia juga selalu peduli terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kemanusiaan, seperti menyertakan karyanya di dalam pameran solidaritas untuk sang empu tari Mimi Rasinah yang terbaring sakit serta korban musik Underground di Bandung, 2008. Selain aktif dalam senirupa, ia juga di daulat memerankan sosok kabayan dalam acara di televisi setempat di Bandung, STV yang mengangkat kenyataan sehari-hari yang dialami warga. Ia tertarik memerankan tokoh kabayan karena sejak kecil ia suka kabayan selain Batman, Zoro, dan Tarzan. Ia ingin memerankan tokoh Zoro sang pembela rakyat yang tertindas dalam konteks di tatar Sunda.Ia melakukan terobosan dengan mendobrak tradisi formalisme seni grafis di ITB, dengan mulai membuat karya-karya bertema permasalahan sosial politik di Indonesia. Dari semua itu tampaknya yang masih tetap ia perjuangkan adalah perlawanan terhadap kekerasan. Setelah menyelesaikan S-2nya di Jerman, ia meneruskan program doktoral (S-3) di tempat yang sama (1997-1998).[5] Pameran tunggal
Performance Art dan Pentas Teater[6]
Lihat pulaPencapaian
Referensi
|