The Rollies
The Rollies adalah sebuah grup musik jazz rock, pop, soul funk asal Indonesia yang dibentuk di Bandung pada tahun 1965 dan sempat populer pada era 60-an sampai dengan akhir 90-an. Para personelnya antara lain terdiri dari Bangun Sugito (vokal), Delly Joko Arifin (keyboards/vokal), dan Teungku Zulian Iskandar (saxophone), Benny Likumahuwa (trombon), dan Bonny Nurdaya (gitar), Oetje F Tekol (bass), Jimmie Manopo (drum), Didit Maruto (Trumpet) dan juga pendiri dan mantan personelnya mendiang Deddy Stanzah dan Iwan Krisnawan. Perjalanan karierAwal terbentukThe Rollies terbentuk atas gagasan Deddy Sutansyah yang kemudian lebih dikenal sebagai Deddy Stanzah. Di pertengahan tahun 1964 Deddy mengajak seorang drummer, Iwan Krisnawan, dan gitaris, Tengku Zulian Iskandar Madian, dari kelompok Delimas serta Delly dari kelompok Genta Istana. Deddy lalu memilih nama Rollies sebagai identitas baru dari nama bandnya itu.[1] Rollies itu berasal dari jenis rambut mereka berempat. Kebetulan Deddy dan Iskandar berambut roll (keriting), sedangkan Delly dan Iwan berambut lurus. Kemudian disingkat menjadi rollies, tahun 1965 Saat pertama terbentuk The Rollies sering membawakan repertoar lagu-lagu dari grup musik luar negeri di antaranya seperti The Beatles, Bee Gees, The Rolling Stones. Pada saaat itu memang eranya British Invasion. Kemudian di penghujung bulan April tahun 1967 Bangun Sugito, alias Gito Rollies, mulai bergabung bersama The Rollies sebagai vokalis. Di grup musik sebelumnya, Gito sering membawakan lagu-lagu dari Tom Jones, Engelbert Humperdinck, dan sejenisnya. Namun kemudian Delly memintanya untuk mencoba membawakan lagu-lagu karya James Brown dan ternyata memang cocok. Kemudian The Rollies mulai banyak memainkan lagu-lagu karya James Brown tersebut.[1] Perubahan warna musikDi akhir era tahun 60-an, Benny Likumahuwa, seorang pemusik jazz yang berdarah Ambon mulai bergabung bersama The Rollies. Dengan masuknya Benny yang menguasai instrumen bass, drum, flute, trombone, dan saxophone ternyata membuat pergeseran besar dalam warna musik The Rollies. Gagasan Benny adalah menyusupkan instrumen-instrumen tiup sebagai bagian dari musik The Rollies. Ternyata ide Benny tersebut bisa diterima oleh The Rollies dan sejak saat itu Gito tak hanya bernyanyi, tetapi mulai juga mulai ikut belajar meniup trompet. Iskandar berpindah dari instrumen gitar ke saxophone, sedangkan Benny meniup trombone. Lama-kelamaan Gito merasa kewalahan, jika harus membagi konsentrasi antara menyanyi dan meniup trompet. Akhirnya Gito memilih hanya sebagai penyanyi saja sementara posisi trumpet kemudian diisi oleh Didiet Maruto. Formasi The Rollies lalu bertambah lagi dengan masuknya Raden Bonny Nurdaya dari kelompok Paramor sebagai gitaris. Pada masa itu The Rollies juga sering tampil sebagai band pengiring, antara lain mengiringi penyanyi-penyanyi wanita seperti Anna Mathovani dan Fenty Effendi. Bahkan The Rollies sempat menjadi band pengiring Aida Mustafa dalam album Mengapa Menangis yang dirilis Philips Singapura pada tahun 1968. Pada tahun yang sama The Rollies menerima kontrak main di Capitol Theater Singapore untuk tampil secara berkala dalam sebuah acara Morning Show. Saat itu memang banyak kelompok musik asal kota Bandung yang tampil sebagai penghibur di Singapura mulai dari The Peels hingga Trio Bimbo.[2] Pada tahun 1971 seusai kontrak bermain di Singapura dan Bangkok, The Rollies kembali ke Tanah Air. Pada masa itu musik Indonesia tengah diguncang tren musik pop seperti Koes Plus, Panbers, The Mercy's, Favourite's Group, hingga D'Lloyd. Kemudian pada tahun ini juga Rollies merilis album Let's Start Again dan Bad News di bawah label Remaco dan Sign Of Love di bawah Purnama Record. Terus terang The Rollies merasa kalah pamor dengan grup musik sekelas Koes Plus. Ketika produser rekaman meminta mereka untuk membuat lagu seperti The Mercy's, mereka merasa tidak sanggup. Mungkin karena mereka biasa memainkan repertoar musik jenis Pop, Soul dan Funk yang jelas sangat berbeda dengan musik pop.[2] Beberapa pihak label rekaman pada waktu itu menilai The Rollies dianggap sebagai grup musik yang kurang komersial. Meskipun dianggap kurang komersial, tetapi ada beberapa lagu the Rollies yang membekas di khalayak pendengar masa itu. Seperti contoh lagu "Salam Terakhir", dan "Setangkai Bunga". The Rollies justru lebih banyak memperoleh sambutan di pentas-pentas pertunjukan. Beberapa pertunjukannya yang pantas dicatat adalah penampilan The Rollies bersama kelompok Soul asal Amerika Howler dalam acara Soul Show pada tanggal 9 Oktober 1971. The Rollies secara musikal dan penampilannya di panggung dianggap kalangan musik mampu mengimbangi grup soul-funk tersebut.[2] The Rollies juga tercatat sering manggung bareng bersama grup asal Singapura yang kebetulan mengusung unsur brass section yaitu kelompok "Fly Baits" dan "Black Fire Prophecy". Beberapa promotor pertunjukan musik pun mulai memberikan kepercayaan pada The Rollies untuk menjadi grup pembuka kelompok mancanegara seperti Bee Gees di Stadion Utama Senayan pada tanggal 2 April 1972 maupun "Shocking Blue" di Taman Ria Monumen Nasional Jakarta pada 23 Juli tahun 1972. Tak hanya itu, The Rollies pun mencoba melakukan eksperimen bermusik seperti yang diperlihatkan pada konser akbar "SUMMER '28" (akronim dari Suasana Meriah Menjelang Kemerdekaan ke-28) yang berlangsung di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta, pada 16 Agustus tahun 1973, yaitu dengan menyandingkan perangkat gamelan Sunda dengan perangkat musik elektrik. Kemudian mereka mencoba membawakan lagu karya Sambas "Manuk Dadali" sebagai objek eksperimen The Rollies.[2] Keterlibatan NarkobaKetenaran The Rollies mulai runtuh. Tiga di antara personelnya terlibat penggunaan psikotropika. Kemudian Deddy Stanzah memilih mundur dari The Rollies dan Iwan Krisnawan meninggal dunia pada tahun 1974. Posisi vokalis hanya tinggal Gito sendiri. Namun, The Rollies beberapa kali yang sedang banyak mengalami cobaan akhirnya bisa memulihkan diri. Direkrutlah Oetje F Tekol (bass) dan Jimmie Manopo (drum) yang menjadikan The Rollies seolah memiliki energi baru. The Rollies kembali merilis album baru pada tahun 1976 di bawah label rekaman Hidayat Audio Bandung. Uniknya album itu berbentuk live yang diambil dari rekaman pertunjukan The Rollies saat manggung di Taman Ismail Marzuki pada 2 dan 3 Oktober tahun 1976. Album ini bisa dianggap sebagai album live pertama dari sebuah grup rock di Indonesia.[2] Setelah itu The Rollies merilis album Tiada Kusangka yang merupakan repackage atas lagu-lagu yang pernah mereka bawakan di album-album ketika Deddy Stanzah dan Iwan Krisnawan masih bergabung dalam The Rollies. Selanjutnya pada era 1977-1979, The Rollies mendapat kontrak rekaman dari Musica Studio's. Ini bisa dianggap sukses kedua dalam perjalanan karier grup ini. Karena pada era inilah The Rollies banyak menghasilkan hits seperti Sinar Yang Hilang (Wandi Kuswandi), Dansa Yok Dansa, dan Bimbi (Titiek Puspa), Hari Hari dan Kemarau (Oetje F Tekol), hingga Kau yang Kusayang (Antonius).[2] Di era ini di samping menggunakan nama New Rollies, Delly dan kawan-kawan mulai membuka diri dengan menyanyikan lagu-lagu karya komposer di luar The Rollies, misalnya A. Riyanto, Titiek Puspa, Johannes Purba, Antonius. Setelah The Rollies merilis album Keadilan (1977) Benny Likumahuwa mengundurkan diri dan lebih banyak berkutat di musik jazz. Posisinya lalu digantikan oleh Wawan Tagalos. Tengku Zulfian Iskandar Madian juga mengundurkan diri setelah merilis album Dansa Yok Dansa (1977), posisinya kemudian digantikan Pomo dari The Pro's.[2] Pada tahun 1979 The Rollies memperoleh penghargaan Kalpataru dari Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, karena lagu Kemarau. Lagu yang dikarang oleh Oetje F Tekol, dianggap memuat misi dan pesan mengenai lingkungan hidup.[2] Linimasa The RolliesThe Rollies – Pop Sound Phillips,1969Semua lagu dalam album debut The Rollies yang dirilis di Singapore ini merupakan cover version atas sejumlah hits mancanegara saat itu antara lain seperti Sunny (Bobby Hebb) maupun Love Of A Woman (Samantha Sang). Tak ketinggalan pula aroma black music dari 3 hits James Brown I Feel Good, It’s A Man’s Man’s Man’s World dan Cold Sweat, semuanya diekspresikan oleh Bangun Soegito Tukiman yang sejak saat itu ditahbiskan sebagai James Brown Indonesia. Istimewanya The Rollies tak sekadar sebagai grup peraga lagu saja.Mereka menginjak wilayah kreatif dengan arransemen yang lebih bernas. Makanya tak heran,banyak yang menyangka B-side Hits nya kelompok Love Affair Gone Are The Songs Of Yesterday adalah karya The Rollies. Let’s Start Again – Remaco 1971Ini album pertama Rollies di negeri sendiri setelah melanglangbuana dibeberapa kota Asia Tenggara. Cengkeraman pengaruh James Brown, The Rolling Stones hingga kelompok beralas brass seperti Blood Sweat & Tears, Chicago maupun Tower Power kuat membekap The Rollies. Simaklah My Iggy yang didesahkan Deddy Sutansjah bagai kembar siam Mick Jagger. Dengar pula Gito bagai gaung ghetto membaurkan blues dan funk dalam Let’s Start Again. Dengan durasi sekitar 8 menit Delly menggerus kuping kita dengan aura ala John Mayall & The Blues Breakers dalam I Had To Leave You. The Rollies akhirnya resmi menanggakan jubah cover version band. The Rollies – Remaco 1972Ditengah mengguritanya band-band pop di penjuru tanah air yang digagas Koes Plus, kehadiran The Rollies bisa menjadi oase atau mungkin sebagai pelengkap penderita saja. Band Bandung ini masih tetap berkutat dengan konsep musik hibrida. Musikalitas Benny Likumahuwa sebagai sosok yang banyak bertanggung jawab dalam departemen musik teruji disini. Rollies kukuh dalam komposisi maupun arransemen musiknya. Gito tetap bersepupu dengan James Brown lewat Bad News. Deddy Sutansjah tetap dibayangi Mick Jagger dalam Come Back To Me yang mengingatkan kita pada Lady Jane-nya Rolling Stones. Lalu sebuah lagu aneh Pahlawan Revolusi yang memempelaikan spirit jazz dengan keroncong. Sign Of Love – Purnama Record 1973Entah kenapa bisa terjadi salah cetak pada judul album yang seharusnya Sign of Love malah tercetak Sing Of Love. Tapi dalam musik, The Rollies tetap tak salah kaprah. Mereka tetap konsisten, walau ditendang oleh Remaco karena musiknya dianggap tidak memiliki potensi sebagai album komersiel. Album ini seolah merupakan bagian ketiga dari trilogi yang merajut album Let’s Start Again dan The Rollies. Namun ada daya tarik lain yang mencuat disini dengan meraungnya bunyi bunyian ARP synthesizers. Delly Djoko Alipin bagai dirasuki jemari Keith Emerson dan Stevie Wonder. Dia kerap menerapkan teknik glissando. Konon, untuk pertamakalinya synthesizers dipakai dalam rekaman album musik Indonesia. Eksplorasi itu bisa disimak pada Sign Of Love yang riuh dan gurih. Nuansa Rolling Stones masih terasa pada lagu When You Alone Again yang dinyanyikan Deddy Sutansjah dengan konotasi druggy. The Rollies Live In TIM – Hidajat Audio 1976Bisa dianggap album live pertama dalam konstelasi musik rock Indonesia. Direkam oleh dedengkot jazz Jack Lesmana pada saat The Rollies menggelar konser dua malam berturut-turut 2 dan 3 Oktober 1976 di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Album ini seolah mengobati kerinduan penggemar The Rollies setelah 3 tahun tak merilis album satu pun. Dengan 2 personel baru Oetje F Tekol (bass) dan Jimmie Manopo (drums), The Rollies makin terlihat kian matang dalam departemen musik. Bonnie Nurdaya menggantikan almarhum Iwan Krisnawan menyenandungkan Salam Terakhir yang terasa mengiris kalbu. Selebihnya The Rollies membawakan repertoire asing seperti Free (Chicago), You’ re Still A Young Man (Tower of Power), King Arthur (Rick Wakeman), It’s A Man’s Man’s Man’s World (James Brown) serta lagu yang seolah menjadi signature The Rollies Gone Are The Songs Of Yesterday. Tiada Kusangka – Hidajat Audio 1976Sederet lagu yang sebelumnya pernah mereka rekam pada album yang dirilis antara 1969-1973, kini di remake lagi dengan tata arransemen yang lebih mature dan nature. Semacam album revisited. Ada Gone Are The Songs Of Yesterday, Salam Terakhir, Pahlawan Revolusi, Love Of A Woman, Let’s Start Again, No Sad Sad Song, Hidupku, Tiada Kusangka, Mawar Idaman dan Lagu Rindu. Pada karya instrumental Infra Merah, The Rollies masih menawan sebagai sebuah brass rock sohor tanah air. Dansa Yok Dansa – Musica Studio’s 1977Dengan memakai New Rollies mengisyaratkan bahwa ada yang berbeda dari The Rollies.Pertama, Benny Likumahuwa sebagai sosok kuat grup ini telah mengundurkan diri. Kedua, The Rollies mulai melirik lagu-lagu berkonotasi mengkhalayak atau sering disebut komersiel. Jadi tak usah heran jika Dansa Yok Dansa (karya Titiek Puspa) menjadi track andalan. Alhasil, The Rollies mulai dikenal luas. The Rollies bahkan tanpa canggung menyanyikan kembali lagu Lembah Biru (A.Riyanto) yang pernah dipopulerkan penyanyi berparas menawan Andi Meriem Mattalatta. Bimbi (Vol.3) – Musica Studio’s 1978Karya Titiek Puspa kembali diandalkan sebagai jagoan yaitu Bimbi,sebuah dampak urbanisasi sosial.Nuansa brass section masih bergaung walau tak seberat dahulu.Peniup saxophone The Pro’s Pomo masuk dalam formasi The Rollies. Pomo dengan alto saxophone-nya menggelinjang bagai cacing kepanasan. Oetje F Tekol mulai memperlihatkan taring sebagai hitmaker mumpuni lewat lagu Hari Hari dengan rhythm section ala Just You And Me nya Chicago. Album ini juga diriuhkan dengan hits karya Johannes Purba “'Hanya Bila Haus Di Padang Tandus yang dikumandangkan Gito. Kemarau – Musica Studio’s 1979Oetje F Tekol kembali menebar pesona lewat karyanya “Kemarau” yang dinyanyikan Delly.Lagu yang aslinya bergaya country sebetulnya adalah lagu tambahan ketika album ini masih kekurangan satu lagu lagi. Di luar dugaan setelah diarransemen dengan sedikit sentuhan funk dan disusupkan unsur brass section lagu ini membahana diman-mana bahkan memperoleh penghargaan Kalpataru pada tahun 1979 dari Menteri Lingkungan Hidup Prof.Dr.Emil Salim,karena dianggap menaruh perhatian pada masalah lingkungan hidup. Di album ini pula bermukim lagu asmara yang tetap hijau hingga kini yaitu Kau Yang Kusayang (Anto) yang dilengkingkan Delly Djoko Alipin. Kerinduan – Musica Studio’s 1979Album ini terasa bagaikan sequel dari album Kemarau.Lagu Kerinduan (Anto) yang dinyanyikan Delly seolah menjadi Kau Yang Kusayang Part 2. Oetje F Tekol pun membuat lagu bertendensi jingoisme bertajuk “Indonesia”. Berpanji dwiwarna, Megah perkasa, Jayalah nusantara, Jayalah negeriku selamanya. Pada interlude lagu ini tiba-tiba menyusup penggalan lagu Dari Sabang Sampai Merauke. Drummer Jimmie Manopo mulai ikut bernyanyi solo pada lagu Mereka Yang Berjasa dan Satu Surga. Pertanda – Musica Studio’s 1979Album ini memang tak memiliki hit dahsyat seperti pada album Dansa Yok Dansa, Bimbi maupun Kemarau, tetapi Rollies masih berupaya menampilkan sesuatu yang bisa dipertanggung jawabkan. Lagu Pertanda karya Jimmie Manopo adalah salah satu contohnya. Di lagu ini The Rollies seolah ingin kembali pada gaya album-album awal mereka dahulu terutama karena arransemen lagi kuat dipengruhi Does Anybody Knows What Time Is It ?-nya Chicago Transit Authority. Rollies ’83 – Sokha Record 1983Ketika album ini dirilis,trend musik yang tengah mewabah adalah new wave yang banyak disusupi anasir musik reggae.Rollies mengimbuhnya dalam lagu “Mabuk Cinta” yang ditulis Harry Sabar. Dan setelah cukup lama menghilang, The Rollies ternyata memiliki beberapa lagu andalan seperti ballada yang dinyanyikan Gito Burung Kecil.Termasuk lagu yang terinspirasi dari acara berita di TVRI yang dipelesetkan menjadi “Dunia Dalam Derita”. Rollies – Sokha Record 1983Reggae kembali menjadi style musik yang digenggam The Rollies. Simaklah Astuti yang dinyanyikan Delly dan Gito secara duet. Sayangnya aransemen brass digarap seadanya.Tanpa gereget sama sekali. Tapi jika mau jujur, sebetulnya energi bermusik The Rollies telah terkuras habis di album ini. Mereka lebih banyak melakukan repetisi atas lagu-lagu terdahulunya. Setelah album ini, hingga akhir decade 80-an The Rollies masih merilis album tetapi dengan semangat setengah hati. Diskografi
Prestasi dan pengakuan
Penghargaan dan nominasi
Pranala luar
Referensi
|