Teungku Hasan Krueng Kale

Teungku Haji Hasan Krueng Kale

Teungku Syaikh Haji Muhammad Hasan bin Teungku Muhammad Hanafiyyah bin Teungku Syaikh Abbas bin Teungku Muhammad Fadhli al-Asyi atau terkenal dengan sebutan Teungku Hasan Krueng Kale atau Abu Hasan Krueng Kale [1] (18 April 1884 – 19 Januari 1973) adalah ulama besar asal Aceh kelahiran Meunasah Ketembu, Sangeue, Kabupaten Pidie 13 Rajab 1303 H yang hidup pada pertengahan abad ke-20.[2][3] Ketua PERTI Aceh pertama ini banyak berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di wilayah Aceh.[2][4]

Kehidupan awal dan pendidikan

Teungku Hasan lahir di pengungsian di Meunasah Ketembu, kemukiman Sangeue, kabupaten Pidie ketika terjadi peperangan di Aceh antara prajurit kerajaan beserta rakyat Aceh dengan para tentara Belanda.[5][6] Ia adalah putera dari ulama besar aceh, Teungku Haji Muhammad Hanafiah, yang juga merupakan sahabat karib dari pahlawan nasional Teungku Syekh Muhammad Saman Tiro (Teungku Cik di Tiro).[3]

Sejak kecil Teungku Hasan belajar pendidikan keislaman dari ayahnya sendiri, di samping ia juga belajar di beberapa meunasah (sekolah Islam) yang ada di desanya.[2] Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke beberapa dayah (pesantren) yang ada di sekitar Pidie.[2] Dayah pertama yang ia singgahi untuk memperdalam ilmu-ilmu keislamannya yaitu Dayah Teungku Chik di Keubok asuhan Teungku Musannif.[6]

Pada tahun 1906, Teungku Hasan pergi ke Yan, Keudah, Malaysia untuk memperdalam berbagai ilmu yang telah ia dapatkan sebelumnya.[5] Ia dikirim ayahnya untuk belajar ke Madrasah Irsyadiah Yan dan berguru kepada Teungku Haji Muhammad Irsyad gelar Teungku Chik Di Yan, seorang ulama besar yang berasal dari Kerajaan Aceh Darussalam.[5] Madrasah Irsyadiah Yan merupakan pusat pendidikan Islam di Semenanjung Melayu.[5]

Setelah menamatkan belajarnya di Madrasah Irsyadiah Yan, pada tahun 1910, Teungku Hasan pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus untuk melanjutkan pendididikan yang lebih tinggi pada pusat pendidikan Islam di Masjidil Haram, Mekah.[5] Di sana ia belajar kepada ulama-ulama besar dan masayikh (guru besar) di Masjidil Haram.[5] Di antara guru-gurunya tersebut ialah:[5][7]

  • Syaikh Said Al-Yamani Umar bin Fadil
  • Syaikh Khalifah
  • Syaikh Said Abi Bakar Ad-Dimyaty
  • Syaikh Yusuf An-Nabhany
  • Syaikh Abdullah Isma’il
  • Syaikh Hasan Zamzami
  • Syaikh Abdul Maniem

Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00 dini hari, Teungku Hasan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putri. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri Muda Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Mengajar dan mendirikan pesantren

Sepulang belajar dari Mekah, Teungku Hasan tidak langsung pulang ke kampung halamannya, melainkan singgah terlebih dahulu di Dayah (Pesantren) gurunya Teungku M. Irsyad Ie Leubeu di Yan, Kedah, Malaysia.[6] Di pesantren tersebut ia sempat mengajar selama beberapa tahun dan kemudian ia dijodohkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein.[6]

Atas panggilan pamannya, Teungku Muhamad Said, Teungku Hasan pulang dan mengabdi di Dayah Meunasah Baro pimpinan pamannya.[6] Tidak lama kemudian, pada 1915 ia mendirikan lembaga pendidikannya sendiri yang sekarang bernama Dayah Darul Ihsan Krueng Kalee di Gampong Siem, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar.[2][6] Dari situlah kemudian ia dikenal dengan nama Teungku Hasan Krueng Kale yang maksudnya adalah Kiai Hasan dari Krueng Kale.[2]

Dayah asuhan Teungku Hasan tersebut kemudian berkembang pesat dan memiliki ribuan santri dan menjadi salah satu dayah besar di wilayah Aceh pada abad ke-20.[2] Banyak dari para santrinya yang kemudian menjadi ulama besar dan mendirikan dayah di daerah mereka masing-masing.[2] Murid-murid beliau diantaranya adalah : Tgk. Syaikh Mahmud Blangpidie atau Abu Syekh Mud (pendiri Dayah Bustanul Huda Blangpidie, Aceh Barat Daya), Teungku Yusuf Peureulak (ketua majelis ulama Aceh Timur), Teungku Mahmud Simpang Ulim (pendiri Dayah Simpang Ulim, Aceh Timur), Tgk. H. Muhammad Waly Al-Khalidy Labuhan Haji atau Abuya Muda Waly (pendiri Dayah Darussalam, Aceh Selatan), Teungku Muhammad Daud Beureu'eh (Mantan Gubernur Aceh), Tengku Muhammad Amin Jumphoih Kembang Tanjong Pidie, Tengku Syeh Ibrahim Ahmad Cot Cibrek Simpang Keuramat Aceh Utara, Tgk. H. Idris Lamreung (Ayah Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Mantan Rektor IAIN Ar-Raniry), Tgk Ishak Di Iboih kembang tanjong Pidie, Syaikh Syihabuddin (pendiri Dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara), Kolonel Nurdin (mantan Bupati Aceh Timur), Teungku Ishaq Lambaro Kaphee (pendiri Dayah Ulee Titie), Teungku Ahmad Pante (imam Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh), Tgk. H.Muhammad Amin Mahmud Blang Blahdeh atau Abu Tu Min, Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alue Ie Puteh, Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang, Tgk. H. Adnan Mahmud Bakongan, Teungku Hasan Keubok (Qadhi Aceh Rayeuk), Teungku Muhammad Saleh Lambhuk (imam Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh), Teungku Abdul Jalil Bayu (pemimpin Dayah Al-Huda Aceh Utara), Teungku Sulaiman Lhoksukon (pendiri Dayah Lhoksukon, Aceh Utara), dll.

Peran pada masa pergerakan nasional

Teungku Hasan adalah ulama serta tokoh pergerakan nasional asal Aceh.[2][8] Teungku Hasan tergabung dalam organisasi Islam PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang didirikan oleh Syeikh Sulaiman ar-Rasuli di Bukittinggi.[2] Selain itu, Teungku Hasan juga menolak pemberontakan Darul Islam Aceh yang dilakukan oleh muridnya Teungku Daud Beureueh pada tahun 1953-1962.[2]

Walaupun di antara mereka terdapat perbedaan pendapat dengan Daud Beureu'eh, tetapi dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan selama perang kemerdekaan (1945-1950), mereka sepakat melakukan jihad untuk membela agama dan kemerdekaan bangsa Indonesia.[2] Hal itu terbukti pada tanggal 15 Oktober 1945 ketika empat ulama besar Aceh menandatangani deklarasi perjuangan, Pernyataan Jihad yang mewajibkan seluruh rakyat Aceh untuk berjihad membela kemerdekaan Indonesia dan mengusir NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) yang hendak menjajah kembali.[2][4] Keempat ulama Aceh tersebut adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku Hasan Kreung Kale, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri dan Teungku Ja'far Shadiq. Pada tahun 1949, Teungku Hasan Krueng Kale mendapat pangkat Letnan Kolonel Tituler dari pemerintah.[2][4]

Referensi

  1. ^ Sufi, Rusdi (2007). Tokoh-tokoh pendidikan di Aceh awal abad XX. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi NAD. hlm. 68. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n H.M. Bibit Suprapto (2009). Ensiklopedi Ulama Nusantara. Gelegar Media Indonesia. ISBN 979-980-6611-14-5.  Halaman 356-359.
  3. ^ a b www.scribd.com: Tgk H.Hasan Krueng Kalee, Tokoh Pelopor Pendidikan Islam Di Aceh. Diakses 1 Mei 2014
  4. ^ a b c www.acehindependent.com: Riwayat Petinggi Aceh Mengkudeta Jepang Diarsipkan 2014-05-02 di Wayback Machine.. Diakses 1 Mei 2014
  5. ^ a b c d e f g www.pelitatangerang.xtgem.com: Tengku Haji Hasan Krueng Kalee, Aceh. Diakses 1 Mei 2014
  6. ^ a b c d e f www.darulihsanabuhasan.com: Sejarah Lengkap Tgk.Haji Hasan Krueng Kalee. Diakses 1 Mei 2014
  7. ^ www.santridayah.com: Abu Hasan Krueng Kalee Ahli Falakiah Aceh Diarsipkan 2014-05-02 di Wayback Machine.. Diakses 1 Mei 2014
  8. ^ Nasional.news (2023-08-27). "PB KMTI Dukung Dua Ulama Besar Aceh Jadi Pahlawan Nasional". Situs Portal Berita Nasional Harian Indonesia | Nasional.news. Diakses tanggal 2023-09-01. 
Kembali kehalaman sebelumnya