Tempat Pengasingan Boven Digoel
Tempat Pengasingan Boven Bool Rapli adalah sebuah kamp konsentrasi Mampang untuk tahanan Rapli bogel yang dioperasikan di King rapli dari tahun 1927 hingga 1947. Belanda menggunakannya untuk menahan ribuan orang Indonesia, yang sebagian besar adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), nasionalisme Indonesia, dan keluarga mereka. Kamp ini terletak di daerah terpencil di tepi Sungai Digul, di daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Boven Digoel di Papua Selatan, Indonesia. Kamp ini awalnya dibuka untuk orang-orang komunis yang diasingkan setelah pemberontakan tahun 1926 yang gagal di Jawa dan Sumatra; pada tahun 1930, kamp ini menampung sekitar 1.300 tawanan dan 700 anggota keluarga. SejarahAwalnya tempat pembuangan tokoh-tokoh Indonesia pada zaman Belanda ini terdapat di Luar Negeri, bebarapa tokoh-tokoh Indonesia telah dibuang dan diasingkan di Luar Indonesia, tokoh Indonesia yang terakhir dibuang di Luar Negeri adalah Semaun dan Darsono (dua orang ini adalah pemimpin pemogokan kaum buruh pada tahun 1923).[1] Sebelas tahun sebelumnya dibuang ke Eropa tiga pemimpin partai politik pertama di Indonesia antara lain E.F.E Douwes Deker, Suwardi Suryaningrat, Tjipto Mangunkusumo.[1] Kemudian karena di Boven Digul diperkuat administrasinya oleh Belanda sehingga dibangunlah pengasingan oleh kekuasaan militer pada saat itu.[1] Kamp konsentrasi Boven Digoel didirikan oleh Kapten L. Th. Becking pada awal tahun 1927.[2][3] Sebelumnya Kapten ini dikenal sukses memadamkan pemberontakan komuni di Banten pada November 1926.[3] Boven Digul sebenarnya tidak dirancang sebagai sebuah kamp konsentrasi karena tidak ada penyiksaan atau pembunuhan terhadap tawanan di tempat itu.[4] Pemerintahan kolonial hanya membiarkan tawanan sampai mati, gila atau menjadi hancur.[4] Dengan adanya pembangunan kamp Boven Digul ini maka pengasingan di Luar Negeri dihentikan.[1] Pembangunan Penjara Boven Digul ini dibangun untuk pengasingan orang-orang yang dianggap terlibat ataupun bersimpati dalam pemberontakan pada tahun 1926-1927, tanpa melalui keputusan pengadilan.[1] Pemberontakan pada masa itu tercatat dalam sejarah menjadi pemberontakan Nasional pertama di Indonesia karena 2 alasan.[1] Pertama, berbagai pemberontakan terjadi di karesidenan-karesidenan di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku yang digerakkan oleh tokoh-tokoh dari berbagai aliran politik dan pemeluk agama.[1] Kedua, Sebelumnya tidak pernah terjadi pemberontakan besar di wilayah yang demikian luas tanpa membedakan suku maupun agama, walaupun tanpa koordinasi Nasional, dengan Partai Komunis Indonesia sebagai ujung tombak dan menjadi pemula dalam pemberontakan itu.[1] Pemberontakan ini bermuara di Digul Hulu atau Boven Digul.[1] Gubernur Andries Cornelis Dirk de Graeff berhadap dengan mengirimkan para pemberontak ke kamp Boven Digul itu mereka tidak akan mengulangi kelakuannya lagi pada masa selanjutnya.[4] Sebenarnya kompleks penjara ini dibangun oleh Belanda secara bertahap-tahap dan merintis administrasi secara kuat, agar para tawanan sulit untuk melarikan diri, kemudian ketika penjara ini sudah jadi, kemudian beberapa tokoh Indonesia yang fenomenal dibuang oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1935, tokoh-tokoh tersebut adalah Mohammad Hatta (wakil Presiden 1945), Sutan Syahir, dan para tokoh perjuangan lainnya.[5] Sutan Syahrir merupakan pemimpin Partai Nasional Indonesia yang pemberontakan terhadap Hindia Belanda.[6] Pergerakan yang dipimpin oleh Sutan syahrir ini selalu dikejar-kejar dengan bantuan semua undang-undang dan peraturan yang diperlukan untuk melindungi kekuasaan dan ketentraman Pemerintah Hindia Belanda, dengan persetujuan Pemerintah dan parlemen Belanda.[6] Pada tahun 1934 seluruh pengurus PNI baru ditangkap dan pemimimpin juga kadernya dibuang ke Boven digul.[6] Kemudian satu tahun kemudian hatta dan sutan syahrir dipindahkan untuk waktu yang tidak ditentukan ke suatu tempat yang dianggap layak bagi seorang cendikiawan, yaitu pulau Banda Neira di Maluku.[6] GeografiBoven Digul merupakan tempat terpencil, terletak di tengah hutan belantara dekat hulu sungai Digul, di selatan Papua.[7] Di sebelah utara, timur, dan selatan, tempat ini dikelilingi hutan lebat yang sangat sulit ditembus dan tempatnya sangat jauh terisolasi, sehingga para tawanan akan kesulitan untuk melarikan diri dari penjara alam ini.[7] Di sebelah barat terdapat Sungai Digul.[7][8] Keterkucilan Digul menjadi pertimbangan utama pemerintah kolonial ketika memilih lokasi ini sebagai permukiman bagi para tawanan pada tahun 1927.[7] Di Digul terdapat dua permukiman, yaitu Tanah Merah dan Tanah Tinggi.[7] Di Tanah Merah terdapat pusat administrasi dan militer serta tempat penahan utama.[7] Tanah Tinggi merupakan lokasi penampungan bagi para tawanan yang dianggap tidak dapat diatur.[7] Sewaktu rombongan pertama datang, Digoel sama sekali belum merupakan daerah permukiman.[5] Rombongan pertama sebanyak 1.300 orang yang sebagian besar dari Banten, diberangkatkan pada Januari 1927.[5] Kemudian rombongan pertama tawanan tiba di Digul pada Maret 1927.[7] Pada akhir Maret 1927, menyusul ratusan orang lain dari Sumatera Barat.[5] Mula-mula mereka ditempatkan di Tanah Merah.[5] Dua tahun kemudian, melalui seleksi ketat, sebagian dipindahkan ke Tanah Tinggi.[5] Sebagian besar adalah mereka yang terlibat atau dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI 1926.[7] Setelah itu, rombongan tahanan politik lainnya menyusul.[7] Sekarang tempat ini sudah menjadi pemukiman penduduk papua, untuk menjangkau penjara ini yang tepatnya berada di kabupaten Boven Digul, orang bisa menggunakan penerbangan pesawat Twin Otter sekitar 90 menit dari Bandara Moppa, Merauke.[9] Namun saat musim kemarau bisa pula ditempuh melalui jalan darat sepanjang 500 kilometer dari Kota Merauke ke Tanah Merah.[9] Selain itu dengan kapal laut dari Marauke ke laut lepas kemudian menyusuri Sungai Digul.[9] Golongan naturalis dan golongan WerkwilligIbu kota dari Boven Digoel adalah Tanah Merah.[10] Pada waktu kampung Tanah merah ini terbagi menjadi dua bagian itu, yang dipisahkan oleh sebuah jalan yang lebarnya kira-kira dua meter.[11] Kampung ini dikategorikan dengan Kampung A dan Kampung B.[11] orang-orang buangan yang tinggal di kampung A kebanyakan orang yang tidak mau bekerja pada pemerintah.[11] Mereka disebut kaum naturalis, disebut kaum naturalis karena saban bulan mereka menerima makanan secara natura dari pemerintah setempat.[11] Ransum dalam natura itu jumlahnya setiap bulan: 18 Kg beras, 2 kg ikan asin, 300 gram the, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limonde minya kelapa.[11] Kebanyakan orang buangan yang tinggal di Kampung B, Ialah mereka yang disebut Werkwillig, orang-orang yang mau bekerja dengan pemerintah setempat.[11] Orang yang mau bekerja diupah 40 sen sehari.[11] Kerjanya kebanyakan mencangkul parit, menggali selokan dan pekerjaan yang seperti itu. Sebenarnya ada satu golongan yang ketiga, yaitu orang buangan yang dari semulanya menentang terus dan tidak mau mengikuti perintah, sekalipun untuk kepentingan sendiri, seperti memberishkan halaman sendiri, Mereka pada golongan ini dicap sebagai onverzlijken atau menentang terus.[11] Pada akhirnya mereka dikirim ke Tanah tinggi yaitu Boven Digoel oleh pemerintah setempat (pemerintah Belanda), kira-kira sehari lebih hulu dari Tanah merah.[11] Meraka tidak mau membuat rumah sendiri dan kampung sendiri, mereka semuanya tinggal pada satu barak yang sudah disediakan oleh pihak pemerintah Hindia-Belanda .[11] Jumlahnya ada kira-kira beberapa puluh orang.[11] Mereka di tanah tinggi dijaga oleh beberapa kompi serdadu yang tinggal di tangsi sendiri dekat pada barak kaum onverzeonlijken.[11] Karena letak daerah Tanah Tinggi ini buruk, sehingga banyak para buangan yang menderita sakit parah, kemudian banyak beberapa buangan yang menyerah kepada pihak Belanda untuk menjadi orang werkwillig dan terus bekerja di Tanah Merah.[11] Penderitaan tawananMeski berstatus sebagai tahanan politik, para tawanan diperlakukan layaknya penjahat biasa.[12] Setiba di lokasi pengasingan, para tawanan digeledah dan surat pribadi mereka disita.[12] Setiap pagi mereka harus berkumpul, kemudian digiring ke hutan atau rawa-rawa untuk melakukan kerja paksa.[12] Kondisi ini mendorong aksi protes para tawanan.[12] Sebagaian besar tawanan adalah bekas pegawai pemerintah atau pekerja swasta yang tidak terbiasa dengan pekerjaan kasar.[12] Mempertimbangkan protes tersebut, kebijakan ini akhirnya dihapus.[7] Dalam perkembangannya, para tawanan terbagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu golongan yang bersikap kooperatif, golongan non-kooperatif tetapi tidak memerlihatkan sikap menentang.[7] Kelompok terakhir ini kemudian diasingkan ke Tanah Tinggi.[7] Para tawanan di Digul sebenarnya tidak mengalami penyiksaan fisik.[7] Namun, kondisi alam di Digul terbilang keras.[7] Beberapa hal yang mempersulit kehidupan para tawanan meliputi iklim yang buruk, serangan nyamuk penjangkit malaria, keterasingan dari peradaban manusia, juga diserang demam yang tinggi hingga kencing hitam yang diderita oleh para tawanan ini dan juga rasa rindu kepada keluarga.[7] Selain itu, masih ada ancaman serangan dari suku-suku liar yang menghuni kawasan itu.[7] Maka dari itu, penjara di Boven Digul merupakan penjara alam yang dapat mematikan manusia, ibarat penjara tanpa bilik yang menggambarkan kondisi Boven Digoel pada saat itu yang sepi dan memberikan cekaman kebosanan bagi mereka para tawanan yang dibuang ke daerah ini.[13] Akibat stres yang berkepanjangan, sejumlah tawanan menderita gangguan jiwa.[7] Bahkan, ada beberapa kasus bunuh diri di antara para tawanan tersebut.[7] Lingkungan yang seperti itu telah memakan korban jiwa.[14] Kondisi di penjara ini juga terbilang buruk, karena antar tawanan dengan tawanan sering bertengkar, bermusuhan, hingga saling membunuh, sehingga terlihat seperti hukuman mati dalam jangka panjang.[14] Di luar suku Irian yang masih primitif tersebut itulah yang membuat mereka para suku Irian tidak mempunyai rasa bersahabat dengan para tawanan,[diragukan ] dan pada akhirnya para tawanan yang bermaksud untuk lari dari penjara yang dibuat oleh Belanda ini tidak akan berhasil melewati para suku lokal yang tidak bersahabat ini.[14] Melarikan diri oleh tawananKehidupan keras di Boven Digoel mendorong sejumlah tawanan berusaha melarikan diri.[7] Umumnya, upaya ini menemui kegagalan akibat medan yang sulit, serangan penduduk lokal, dan ancaman binatang buas yang banyak menghuni wilayah tersebut.[7] Beberapa orang berhasil melarikan diri dan mencapai wilayah Papua yang dikuasai Australia. Mereka ditangkap oleh pihak Australia dan dikembalikan lagi ke tangan Belanda.[7] Kehidupan keras di Boven Digul berlangsung hingga pecahnya Perang Pasifik.[7] Ketika tentara Jepang menyerbu Papua, Belanda mengirim para tawanan ke Australia.[7] Pecahnya perang PasifikPada saat Jepang meduduki Indonesia dan juga pecahnya Perang Pasifik, para tawanan Boven Digoel dipindahkan atau dialihkan oleh Belanda ke Australia.[15] Pemindahan itu dikarenakan pihak Belanda kekhawatiran tahanan akan memberontak jika tetap berada di Boven Digul.[15] Bagian dari kamp itu tidak dibebaskan lebih awal dari pertengahan 1943, akan tetapi ketika dalam menghadapi pendudukan Jepang, pada akhirnya Belanda menutup kamp Digoel tersebut dan mengirim seluruh penduduk ataupun tawanan Boven Digoel ke Australia.[16] Belanda berharap orang-orang Indonesia yang menjadi tawanannya dan kemudian dibawa ke Australia akan membantu Belanda.[15] Akan tetapi keadaan malah berbalik, tahanan politik itu dapat mempengaruhi serikat buruh Australia untuk memboikot kapal-kapal Belanda yang mendarat di Benua Kanguru.[2][15] Akhirnya setelah Sekutu berhasil memperoleh kemenangan dari pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda, tawanan itu dikembalikan ke tempat asalnya di Indonesia.[15] Pada akhirnya sekutu menduduki Indonesia.[15] Sehingga beralih tangan, dari tangan Belanda ke tangan Jepang.[15] Indonesia masih berada dalam kekuasaan negara lain.[15] Hingga akhirnya Indonesia merdeka tahun 1945.[15] Kisah para tawananPenghuni Kamp Digul ini hampir semuanya adalah para aktivis politik yang melakukan pemberontakan kepada kolonial Belanda, Banyak tokoh-tokoh terkenal yang dibuang ke kamp ini, ada juga banyak cerita para penghuni kamp, yang merupakan sejarah kecil untuk menuju ke kemerdekaan Indonesia.[17] Thomas Nayoan adalah seorang Minahasa yang berusaha untuk melarikan diri dari kamp tersebut.[17] Semuanya tertulis dalam buku “Jalan ke Pengasingan” karya John Ingleson, dalam buku ini diceritakan bahwa Thomas Nayoan ini adalah tawanan yang gigih untuk melarikan diri, walaupaun pelariannya gagal dan sempat menyasar di Australia, Ia melarikan diri lewat sungai dengan menggunakan perahu, akan tetapi malah tibanya di Australia, karena memang sebelumnya Australia sudah memiliki perjanjian ektradisi dengan Belanda, maka Ia digelandang kembali ke kamp digul, Ia merupakan salah satu tokoh dalam pemberontakan PKI di Banten.[17] Cerita lainnya datang dari Mohammad Bondan, aktivis PNI kelahiran Cirebon tahun 1910.[17] Kisahnya ini diceritakan dalam karya dengan judul “Spanning a Revolution” yang menceritakan adalah Istrinya, Molly Bondan menceritakan pengalaman suaminya selama berada di kamp konsentrasi Digul. Dalam buku itu dikisahkan perjalanan Bondan ketika di Digul, Ia merupakan rombongan dari Hatta, Syahrir, dan para aktivis lainnya.[17] Bondan ini menceritakan tentang perlakuan yang Ia dapatkan dari pemerintah kolonial Belanda, yang sering membuat permusuhan antara para tawanan, yang membuat tawanan saling bertengkar karena perbuatan mereka yang mengadu domba para tawanan kamp Digul.[17] Kisah lain adalah tentang Ayun Sabiran, yang ditangkap pemerintah kolonial Belanda ketika hendak menyelundupkan bahan-bahan kimia ke Padang Panjang.[17] Bahan Kimia yang Ia kirimkan ini digunakan sebagai bahan peledak untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.[17] Sebenarnya Sabiran hanyalah pesuruh dalam pergerakan kaum muda di Sumatera Barat.[17] Akan tetapi keberaniannya dalam menyelundupkan da menyamar sebagai seorang Katolik membuat para pemerintah Hindia Belanda juga memasukan Ia kedalam daftar pemberontakan yang harus di kirim ke Kamp Digul.[17] cerita tentang Ayun Sabiran ini diceritakan oleh putra pertamanya Misbach Yusa Biran, dalam bukunya “Kenang-kenangan Orang Bandel.”[17] Kemudian cerita lagi dari Chalid Salim, yang merupakan salah seorang yang paling lama berada di barak Boven Digul ini, Ia berada di kamp Digul terhitung lama, sampai tahun 1943 dari rombongan pertama, Chalid ditangkap dalam kapasitasnya sebagai wartawan. Tulisan-tulisan tentang pemerintahan Belanda kerap kali membuat para kolonial Belanda Marah, sehingga Ia masuk dalamj juga dalam daftar tawanan yang harus dibuang ke kamp Digul.[17] Beberapa tulisannya yang membuat kolonial Belanda naik pitam, ketika tulisannya terbit dalam sebuah harian Medan, Ia mengkritik pemerintahan Hindia Belanda, akan tetapi karena kritikannya tersebut, Ia dipenjara selama satu tahun, sebelum pada akhirnya Ia di kirim ke Boven Digul, Kisahnya ini diceritakannya dalam buku yang bertajuk “Vijftien Jaar Boven-Digoel Concentratiekamp op Nieuw-Guinea Bakermat van de Indonesische Onafhankelijkheid (terjemahan: Lima Belas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea, Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia).”[17] Satu lagi cerita dari seorang wartawan yang terkenal kisahnya dalam beberapa buku, yaitu kisah Marco Kartodikromo, Ia merupakan wartawan kiri, yang menulis di media massa hingga karena tulisannya, Ia keluar masuk Penjara.[17] Ia juga merupakan anggota dari organisasi serikat Islam dan turut dalam pemberontakan Banten 1926.[17] setahun kemudian, Ia di buang ke Kamp Digul oleh kolonial Belanda, dan Ia meninggal di Barak pengasingan tersebut karena menderita TBC, dan jasadnya dikebumikan di daerah kampung B.[17] Ceritanya ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dalam buku berjudul Cerita dari Digul.[9] Daftar tokoh perintis kemerdekaan
Lihat pulaReferensi
|