Tegalmade, Mojolaban, Sukoharjo
Secara geografis, Desa Tegalmade terletak antara 110°49'52.3"—110°51'06.0" BT dan 7°36'22.6"—7°37'04.2" LS, sedangkan secara geomorfologis berada di dataran fluvial Kali Samin sehingga memiliki fisiografi yang datar, tanah subur serta air yang melimpah. Tak heran penduduk Desa Tegalmade banyak bermata pencaharian di sektor pertanian lahan basah dengan komoditas utama berupa padi. Sejarah Desa Tegalmade sesungguhnya telah dimulai sebelum peristiwa geger pecinan tahun 1740an dengan munculnya permukiman di sekitar Kali Samin yang saat ini dikenal dengan nama Dusun Nawud dan Dusun Kesongo. Ditinjau dari toponimi, Nawud berarti tercerai berai. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari asal mula dusun Nawud yang didirikan oleh pelarian geger pecinan. Para pelarian peristiwa geger pecinan yang dipimpin oleh Sien Tang mendirikan shelter atau hunian sementara di sekitar Kalisamin, tetapi karena merasa nyaman dengan air yang melimpah, akhirnya mereka menetap dan mendirikan sebuah perkampungan yang diberi nama Nawud. Perkampungan Nawud kemudian berkembang ke arah utara yang saat ini diberi nama Dusun Kesongo. Nama Kesongo berasal dari sembilan mata air yang dahulu terdapat di wilayah tersebut, tetapi saat ini sudah tidak dapat dijumpai lagi. Peradaban awal manusia memang tidak bisa dilepaskan dari sebuah sungai. Selain sebagai lokasi yang memiliki cadangan air yang melimpah, sungai juga berfungsi sebagai alur transportasi masa lalu, tempat mandi, mencuci dan sumber penghidupan seperti perikanan air tawar. Tak heran jika permukiman di sekitar sungai memiliki sejarah yang lebih panjang daripada permukiman yang agak jauh dari sungai. Jejak sejarah geger pecinan di Desa Tegalmade dapat dilihat di sebuah makam yang terletak di tengah sawah, tetapi secara administratif termasuk ke dalam Desa Karangwuni, Kecamatan Polokarto. Makam yang dimaksud adalah makam Eyang Tan Ang Lo atau masyarakat desa lebih akrab dengan nama Mbah Anglo. Mbah Anglo adalah salah seorang pejuang yang gugur oleh senapan VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) atau kongsi dagang Hindia Timur pada peristiwa Geger Pecinan yang melanda Keraton Kartasura. Geger Pecinan adalah sebuah peristiwa bersejarah di mana etnis Tionghoa bersama pribumi jawa bersatu menyerang Keraton Kartasura pimpinan Pakubuwono II yang saat itu memihak VOC. Geger Pecinan semula terjadi di Angke, Jakarta Utara akibat genosida etnis Tionghoa oleh Gubernur Jenderal Valcknier, tetapi etnis Tionghoa yang tersisa bermobilisasi ke timur dan bersama pribumi menyerang basis VOC di Semarang. Pakubuwono II pada awalnya sebenarnya melawan VOC dengan mengirimkan 20.000 tentara dan penduduk Mataram untuk menyerang basis VOC di Semarang. Namun pasukan itu berhasil dikalahkan VOC, sehingga Pakubuwono II harus tunduk pada VOC. Dianggap berkhianat oleh rakyat Mataram, akhirnya para pribumi Mataram dan etnis Tionghoa mengangkat Raden Mas Gerendi menjadi raja versi rakyat dengan gelar Sunan Amangkurat V. Balatentara Sunan Amangkurat V menyerang Keraton Kartasura pada tahun 1742 termasuk di dalamnya Mbah Anglo. Mbah Anglo sendiri sebenarnya adalah seorang pedagang yang berasal dari Kota Fujian, sekitar 897 km di selatan Kota Shanghai, Tiongkok. Mbah Anglo sendiri merupakan seorang Hokkian atau etnis yang bermukim di wilayah Tiongkok bagian Tengah, sedangkan yang bermukim di wilayah selatan disebut etnis Kanton. Mbah Anglo waktu itu berlayar untuk berdagang di Batavia (sekarang Jakarta), tetapi karena terjadi genosida etnis Tionghoa di Batavia oleh VOC, beliau berlayar ke timur. Dikarenakan banyak etnis Tionghoa yang berencana menyerang Keraton Kartasura bersama pribumi Mataram pimpinan Raden Mas Gerendi (Sunan Amangkurat V), maka Mbah Anglo pun ikut berjuang. Mbah Anglo sebelum ke medan laga berwasiat agar ketika wafat di medan laga bisa di makamkan di sebuah bukit/gundukan tanah tak jauh dari desa. Pemilihan lokasi makam tersebut tidak terlepas dari kepercayaan fengshui etnis Tionghoa. Selain itu, beliau juga berwasiat agar jika kudanya ikut mati juga dimakamkan tak jauh dari dirinya. Ketika Mbah Anglo wafat tertembak VOC bersama kudanya, jenazahnya dimakamkan di lokasi tersebut dan kudanya dimakamkan di sebelah timur pusaranya. Saat ini makam kuda tersebut berada di bawah pagar makam sebelah timur. Sejarah Dusun Tegalmade yang terletak di tengah persawahan dimulai pada tahun 1850an oleh Eyang Sindu Menggolo dan pengikutnya. Kyai Sindu Menggolo adalah seorang pribumi Jawa dengan nama timur Joko Manggolo atau Sapto Manggolo, sedangkan istrinya Ny. Sindu Menggolo memiliki nama timur Karminah. Eyang Sindu Menggolo saat ini dimakamkan di kompleks pemakaman desa yang dinamai sesuai nama beliau yaitu Sasanalaya Sindu Menggolo tepatnya di bagian barat kompleks pemakaman. Para pengikutnya yang ikut serta dalam proses babat alas dimakamkan di sekitar makam beliau, tetapi kondisinya saat ini cukup memprihatinkan. Mbah Sindu sendiri berasal dari daerah Baturetno, Wonogiri, sekitar 40 km dari pusat Kota Wonogiri. Kakek dan Ayah Mbah Sindu adalah pengikut Pangeran Sambernyawa (KGPAA Mangkunegara I) yang daerah kekuasaannya meliputi Karanganyar dan Wonogiri. Dalam proses bertapa, Mbah Sindu mendapatkan wangsit untuk mendirikan perkampungan di sebuah tanah dengan banyak sapi jawa atau banteng. Keberadaan sapi jawa/banteng tersebut masih dapat dilihat dari toponimi wareng yang berarti anak banteng di sebelah utara Desa Tegalmade. Selain faktor wangsit, Mbah Sindu memandang bahwa wilayah yang saat ini menjadi Desa Tegalmade lebih dekat ke Keraton Mangkunegaran daripada tempat tinggal sebelumnya di Baturetno, Wonogiri. Kondisi alam pada saat babat alas yang kelak menjadi Dusun Tegalmade masih berupa rawa-rawa dan savana dengan sebuah gundukan tanah lebih tinggi yang menjadi makam Mbah Anglo. Fauna dominan yang ada di masa itu adalah menjangan, merak, dan banteng. Dikarenakan Mbah Sindu adalah pengikut Mangkunegara, maka raja Mangkunegaran sering mengadakan perburuan di wilayah ini sebagai sarana refreshing. Menurut Mbah Sindu, pada awalnya desa ini diberi nama Tegalmande, tetapi pada perkembangannya, saat ini nama desa berubah menjadi Tegalmade. Tegal dapat diartikan sebagai lahan yang dibagi-bagi atau dikapling dan mande yang artinya dijual. Dijual bukan berarti dijual secara komersial, tetapi dibagi-bagi kepada warga yang ingin bermukim di wilayah yang saat ini baru saja dibabat. Akhirnya tanah tersebut dibagi-bagi, ada yang menjadi makam, permukiman, dan lahan pertanian. Dusun Tegalmade pada awalnya hanya sebuah desa kecil memanjang dari barat ke timur yang saat ini masih dilestarikan sebagai RT01/RW01, sehingga jika dipandang untuk sebuah RT jaraknya cukup jauh dari ujung ke ujung. Namun hal ini sangat baik untuk merawat sejarah desa masa lalu. Dusun Tegalmade kemudian berkembang permukimannya seperti saat ini dengan bertambahnya permukiman di RT 02, RT 03, dan RT 04 di sekitar masa kemerdekaan Republik Indonesia. Historiografi oleh: Prasetyo Budi Widagdo dan Hari Kurniawan Pembagian wilayahDesa Tegalmade terdiri dari dusun[1]:
Referensi
|