Taeniasis
Taeniasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing pita dalam genus Taenia. Cacing ini bersifat parasitik dan dapat menular dari hewan ke manusia maupun sebaliknya sehingga taeniasis digolongkan sebagai zoonosis.[1] PenyebabPada manusia, taeniasis disebabkan oleh tiga spesies, yaitu Taenia solium (cacing pita babi), T. saginata (cacing pita sapi), dan T. asiatica (cacing pita asia). Infeksi terjadi akibat mengonsumsi daging sapi atau daging babi kurang matang yang mengandung sistiserkus (fase larva cacing) sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia.[2][3] EpidemiologiManusia merupakan inang definitif bagi Taenia, sedangkan inang perantaranya yaitu sapi (T. saginata) dan babi (T. solium dan T. asiatica). Dalam kasus tertentu, manusia dapat menjadi inang perantara T. solium jika mereka menelan proglotid (segmen-segmen tubuh Cestoda yang biasanya keluar bersama tinja) atau telur Taenia sehingga orang tersebut terkena sistiserkosis.[4][5] Taeniasis dilaporkan di seluruh dunia, tetapi infeksi T. saginata banyak terjadi di negara-negara dengan populasi sapi yang tinggi, seperti wilayah tropis dan subtropis di Afrika, Timur Tengah, Eropa Timur, Meksiko, dan Amerika Selatan.[5] Sementara itu, infeksi T. solium banyak dilaporkan di Amerika Latin.[4] Taenia asiatica dilaporkan di beberapa negara di Asia, di antaranya Taiwan, Korea, Indonesia, Nepal, Thailand, dan Tiongkok.[6][7] Gejala klinisPenyakit ini hanya menimbulkan gejala klinis ringan atau tanpa gejala sama sekali. Gejala dan tanda klinis yang muncul dapat berupa penurunan berat badan atau nyeri perut. Taeniasis akibat T. saginata biasanya lebih menimbulkan gejala dibandingkan T. solium. Meskipun demikian, taeniasis akibat T. solium dapat berkembang menjadi sistiserkosis yang lebih berbahaya.[8] Sistiserkosis merupakan kondisi saat sistiserkus tumbuh dan berkembang dalam jaringan otot, kulit, mata, dan sistem saraf pusat.[3] DiagnosisTanda infeksi dapat dilihat apabila di dalam tinja terdapat proglotid. Proglotid ini baru muncul pada tinja setelah infeksi berlangsung selama tiga bulan karena cacing memerlukan waktu untuk tumbuh menjadi dewasa. Sampel tinja diperiksa di bawah mikroskop untuk memeriksa jenis cacing atau telurnya. Walaupun begitu, identifikasi Taenia tidak dapat dilakukan hanya dengan pemeriksaan telur cacing karena semua spesies Taenia menghasilkan telur yang identik dan bahkan serupa dengan telur cacing dalam genus Echinococcus. Pemeriksaan anatomi proglotid gravid (proglotid yang telah matang dan dipenuhi telur) atau skoleks (bagian kepala) dapat membantu mengidentifikasi spesies cacing pita.[8] Pencegahan dan penangananInfeksi Taenia dicegah dengan mengonsumsi daging yang matang. Memutus daur hidup cacing juga bisa dilakukan dengan mencegah babi dan sapi mengonsumsi makanan yang berpotensi tercemar tinja manusia.[9] Sementara itu, taeniasis diobati dengan obat cacing seperti praziquantel, niklosamid, dan albendazol.[10] Referensi
Pranala luar
|