SupremasismeSupremasisme adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa sebuah bagian dari usia, ras, spesies, suku bangsa, agama, jenis kelamin, kelas sosial, ideologi, negara, atau budaya dianggap superior ketimbang ragam lain dari jenisnya, dan mendorong agar orang-orang yang terindentifikasi dengan jenis tersebut mendominasi, mengkontrol, dan mengadili orang yang tak berasal dari jenis tersebut.[1] SeksualBeberapa pakar teori feminis beranggapan bahwa dalam patriarkhi, sebuah standar dari supremasisme laki-laki merasuk dalam berbagai strategi budaya, politik, dan antar-perorangan.[2] Sejak abad ke-19, terdapat jumlah gerakan feminis yang menentang supremasisme laki-laki, biasanya dalam tujuan untuk mencapai hak hukum setara dan perlindungan bagi kaum wanita di seluruh hubungan budaya, politik dan antar-perorangan.[3][4][5] RasialBerabad-abad kolonialisme Eropa di benua Amerika, Afrika, Australia, Oseania, dan Asia dijustifikasikan oleh atitud supremasi kulit putih.[6] Pada abad ke-19, frase "The White Man's Burden", yang merujuk kepada pemikiran bahwa orang kulit putih memiliki obligasi untuk membuat masyarakat dari bangsa lainnya lebih seperti milik mereka sendiri, banyak digunakan untuk menjustifikasikan kebijakan imperialis sebagai wirausaha bangsawan.[7][8] Thomas Carlyle, yang dikenal karena catatan sejarahnya tentang Revolusi Prancis, The French Revolution: A History, yang menginspirasi novel Charles Dickens A Tale of Two Cities, berpendapat bahwa kebijakan supremasi Eropa terjustifikasi atas dasar bahwa mereka menyediakan manfaat terbesar bagi bangsa-bangsa pribumi "terbelakang".[9] Namun, pada masa penerbitannya pada 1849, karya utama Carlyle tentang subyek tersebut, Occasional Discourse on the Negro Question, meraih sedikit sambutan dari orang-orang sezamannya.[10] Catatan
|