Suku Zande
Azande (jamak dari "Zande" dalam bahasa Zande) adalah kelompok etnis yang berdiam di Afrika Tengah bagian utara. Mereka tinggal terutama di wilayah timur laut Republik Demokratik Kongo, di Sudan Selatan, dan di Republik Afrika Tengah bagian selatan. Suku Azande di Kongo tinggal di Provinsi Orientale, persisnya di sepanjang Sungai Uele; Azande di Republik Afrika Tengah dapat ditemui di distrik Rafaï, Zémio, dan Obo. BahasaSuku Azande menuturkan bahasa Zande, yang mereka sebut Pazande (juga dikenal dengan nama Zandi, Azande, Sande, Kizande, Badjange). Bahasa tersebut merupakan bagian dari rumpun bahasa Ubangia, dan dituturkan oleh kurang lebih 1,1 juta orang.[1] AgrikulturKebanyakan anggota suku Azande bermata pencaharian sebagai petani berskala kecil. Hasil panennya adalah jagung, nasi, kacang, wijen, singkong, dan kentang manis. Buah yang ditanam adalah mangga, jeruk, pisang, nanas, dan tebu. Kepercayaan tradisionalSebagian besar anggota suku Azande masih menganut animisme, tetapi Kekristenan juga sudah masuk. Suku Azande meyakini bahwa sihir diwariskan di perut. Penyihir kadang tak sadar akan kekuatannya, dan bisa secara tak sengaja mengganggu orang yang tak ingin ia jahati. Karena sihir diyakini selalu ada, beberapa ritual dijalankan untuk melindungi diri dan membatalkan sihir. Bila sesuatu yang sangat aneh terjadi, atau peristiwa buruk menimpa seseorang, sihir-lah yang disalahkan. salah satu ritual yang dilakukan untuk menentukan hukum tertentu seperti keputusan mengenai seseorang bersalah atau tidak, ialah dengan menggunakan perantara seeokor ayam jantan yang telah diberi ramuan. Jika ayam tersebut mati setelahnya, maka orang yang dituntut tersebut diyakini telah melakukan kesalahan.[2] HomoseksualitasMenurut antropolog E. E. Evans-Pritchard, prajurit laki-laki suku Azande di Kongo utara rutin mengambil kekasih laki-laki muda antara usia dua belas dan dua puluh. Mereka melakukan seks interkrural, dan sang kekasih muda berperan membantu rumah tangga. Akan tetapi, praktik ini sudah mati semenjak awal abad ke-20 karena kedatangan bangsa Eropa, tetapi kisah tersebut masih diceritakan oleh para tetua kepada Evans-Pritchard.[3] Catatan kaki
Referensi
|