Suku Wolio

Suku Wolio merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara yang tersebar di Buton,[1] Muna, dan Kabaena. Populasinya sebanyak 30.000 jiwa yang termasuk ke dalam suku Wolio. Beberapa abad yang lalu, daerah ini pernah menjadi kesultanan[2] yang berarti, pulau Buton terletak di tenggara pulau Sulawesi, pulau Kabena yang berstatus sebagai kecamatan, dan kepulauan Wakatobi, terdiri dari pulau Wangi-Wangi Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Namun, masyarakat Wolio, kini sudah tersebar ke Indonesia bagian timur seperti Maluku dan Irian Jaya.[3]

Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Wolio yang merupakan gabungan antara bahasa Buton dan Muna,[3] serta masih termasuk ke dalam golongan bahasa Austonesia. Bahasa Wolio banyak digunakan di kota Bau-Bau. Karena kerajaan Buton terdiri dari beberapa etnis, sangat dibutuhkan bahasa pemersatu antar masyarakat, oleh sebab itu dipilihlah bahasa Wolio sebagai bahasa pemersatu di lingkungan kerajaan Buton, dan menyebar kepada rakyatnya.

Tradisi

  1. Pernikahan di suku Wolio bersifat monogami.[3] Oleh karena itu setelah menikah, pengantin pria harus ikut tinggal di rumah pengantin perempuan, kecuali suami (pengantin pria) sudah memiliki rumah pribadi.
  2. Pekande-kandea mempunyai arti makan-makan. Makna dari tradisi tersebut adalah bentuk rasa syukur kepada Allah swt atas rezeki yang telah masyarkat terima.[3] Tradisi ini dilakukan pada bulan syawal. Tradisi ini juga biasanya untuk menyambut tamu.[2] Namun adapula yang memanfaatkan tradisi ini untuk mecari jodoh.
  3. Laki-laki diwajibkan mencari nafkah, sedangkan perempuan mempunyai tugas mengurus seluruh keperluan rumah tangga. Meski begitu, dalam hal pendidikan tidak ada batasan atara perempuan dan laki-laki.
  4. Suku Wolio juga memiliki tradisi memberi lubang rahasia di rumahnya. Mereka memilih kayu terbaiknya untuk diberi emas sebagai tanda pintu rahasia tersebut.
  5. Goraana Oputa/Maludju Wolio[4] yaitu tradisi masyarakat dalam merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Tradisi ini berawal dari kebiasaan di kerajaan Buton. Tradisi ini diawali dari membaca kitab berjanji.
  6. Qunua,[5] yaitu tradisi yang dilakukan masyarakat Buton pada pertengahan bulan Ramadhan. Tradisi ini diawali dengan ibadah Salat tarawih tepat pada pukul 24.00, lalu dilanjutkan dengan doa qunut, lalu ditutup oleh sahur bersama.
  7. Tuturiangana Andaala,[3] biasa dikenal dengan sedekah laut. Tradisi ini dilakukan agar diberikan kelancaran saat beraktivitas di laut. Tradisi ini dilakukan oleh laki-laki yang membawa empat sesajen dari rakit kecil yang terbuat dari bambu. Setelah dilakukan do’a lalu kambing jantan disembelih dan darahnya diambil dengan gelas bambu. Darah kambing tersebut kemudian diletakkan di samping rakit sesaji.
  8. Mataa[3] yaitu ritual adat yang digelar masyarakat Buton etnik cia-cia di desa Laporo yang merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil panen yang diperoleh.
  9. Karia'a[3] yaitu pesta adat masyarakat Buton yang berada di Kaledupa untuk menyambut anak-anak yang sedang beranjak dewasa. Pesta Rakyat ini diiringi dengan tarian-tarian yang dilakukan oleh pemangku adat, bersama orang tua kemudian memanjatkan doa bersama anak-anak mereka yang bertujuan untuk membekali anak-anak mereka dengan nilai-nilai moral dan spiritual.
  10. Posuo[3] (pingit) yaitu pesta adat masyarakat Buton yang ditujukan pada kaum wanita yang memasuki usia remaja sekaligus menyiapkan diri untuk berumah tangga.

Rumah Adat

Banua tada adalah sebuatan rumah adat suku Wolio.[6] Banua Tada berasal dari dua kata, banua mempuyai arti rumah, sedangkan tada berarti siku. Gabungan kedua kata tersebut memjadi sebuah arti rumah siku. Berdasarkan status penghuninya, Banua Tada dibagi menjadi tiga.[6] Status pertama yaitu Kamali atau malige yang mempuyai arti istana, yaitu tempat tinggal raja atau sultan dan keluarganya. Status kedua adalah, Banua tada tare pata pale yaitu rumah tempat tinggal para pejabat atau pegawai istana. Status ketiga yaitu banua tada tare talu yaitu rumah tempat tinggal orang biasa. Rumah di suku Wolio sangat tradisional, dibangun dengan menggunakan papan, yang ditutupi daun kelapa yang telah kering.[3] Banua Tada merupakah bangunan tahan gempa. Ornamen penghias rumah adat ini adalah ukiran nanas dan naga yang merupakan lambang kerajaan dan kesultanan Buton.

Makna simbolis pada dekorasi rumah adat suku Wolio yaitu:[6]

  1. Nanas, merupakan simbol kesejahteraan. Dari buah nanas diharapkan bahwa masyarakat Buton agar mempunyai sifat seperti nanas, yang walaupun penuh duri dan berkulit tebal tetapi rasanya manis.
  2. Bosu-bosu, adalah buah dari pohon Butun (baringtonia asiatica), bosu-bosu mempunyai simbol keselamatan, keteguhan dan kebahagiaan.
  3. Ake, merupakan hiasan yang bentuknya seperti patra (daun). Ake mempunyai simbol bersatunya antara Sultan (manusia) dengan Khalik (Tuhan).
  4. Motif atau ornamen yang digunakan oleh suku Wolio adalah daun dan bunga. Motif yang sering digunakan adalah, cempaka, melati, kamboja, ambalagi, flamboyan, dan kembang.

Agama

Agama yang dianut masyarakat Wolio adalah Islam[3]. Masuknya agama Islam ke suku Wolio dibawa oleh para sufi. Namun, bagi golongan tua mereka masih mempercayai akan hal gaib yang dibawa oleh para nenek moyang.

Mata Pencarian

Pekerjaan utama suku Wolio adalah bertani,[3] fokus utama hasil panen mereka adalah padi. Selain padi adapula tanaman jagung, ubi kayu, ubi jalar, sayur-sayuran, dan berbagai jenis buah-buahan. Selain menjadi petani, masyarakat di suku Wolio adapula yang menjadi nelayan.[3]

Makanan Tradisional

  1. Kasoami,[7] adalah makanan dari pulau Buton dan Wakatobi. Kasaomi terbuat dari ubi. Rasanya sangat khas karea ubi yang digunakan merupakan jenis yang beracun, tetapi karena pengolahannya dilakukan secara benar, jadilah menghasilkan Kasoami yang enak. Kasoami bisa dipadukan dengan olahan ikan asin, ikan kuah, ikan goreng, ikan bakar, dan ikan perede. Selain dengan olahan ikan, Kasoami juga bisa dipadukan dengan sayur bening.
  2. Kabuto[7], sangat terkenal di daerah Muna dan Buton. Sama halnya dengan Kasoami, Kabuto berbahan dasar ubi. Makanan ini bisa dipadukan dengan ikan goreng dan ikan asin.
  3. Lapa-Lapa,[7] adalah makanan yang mempunyai rasa gurih. Makanan ini, biasa hadir ada saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Lapa-Lapa bisa dipadukan dengan ikan asin.
  4. Sinonggi,[7] makanan ini terbuat dari pati sari sagu. Di masyarakat Sulawesi Tenggara makanan ini biasa digunakan sebagai pengganti nasi.
  5. Sate Gogos Pokea,[7] berbeda dengan bahan sate yang biasa menggunakan kambing atau ayam. Sate di Sulawesi Tenggara terbuat dengan bahan dasarnya adalah kerang sehingga rasanya sangat khas.

Lagu Daerah

Tanah Wolio

Tana wolio liwuto bau

Bura satongka auwalina

Iweitumo tana minaaku

Lembokanaa moraaku

Tula-tula morikana

Kumalinguakamea

Tabeana mancuana

Bemo sau-saua

Tula-tula morikana

Kumalinguakamea

Tabeana mancuana

Bemo sau-saua

Lagu Tana Wolio meneritakan tentang daerah Wolio yang berlimpah akan kekayaan dan keindahan alamnya, seperti hasil tambang, hasil laut, dan lainya.[8]

Referensi

  1. ^ "profilo_isi". www.sabda.org. Diakses tanggal 2019-03-29. 
  2. ^ a b Zahari, Abdul Mulku (1981-01-01). Adat Dan Upacara Perkawinan Wolio. PT Balai Pustaka (Persero). 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l "Suku Wolio, Sulawesi Tengah". WACANA (dalam bahasa Inggris). 2011-02-02. Diakses tanggal 2019-03-29. [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ "Gorana Oputa » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-03-30. 
  5. ^ "DINI HARI PROSESI QUNUA RAMADHAN BERLANGSUNG HIKMAD". www.baubaukota.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-30. Diakses tanggal 2019-03-30. 
  6. ^ a b c Wardani, Laksmi Kusuma; Franciska, Bonnieta (2014-07-14). "Bentuk, Fungsi, dan Makna Interior Rumah Adat Suku Tolaki dan Suku Wolio di Sulawesi Tenggara". Intra (dalam bahasa Inggris). 2 (2): 257–270. 
  7. ^ a b c d e ZonaSultra, Admin (2016-02-07). "5 Makanan Khas Sulawesi Tenggara Yang Membuat Anda Ketagihan". ZonaSultra.com. Diakses tanggal 2019-03-29. 
  8. ^ "Makna, Arti dan Lirik Lagu Tanah Wolio". Kumpulan Lagu Daerah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-29. Diakses tanggal 2019-03-29. 

Lihat pula

Kembali kehalaman sebelumnya