Suku Tao
Suku Tao, atau yang juga dikenal dengan Yami adalah kelompok etnis Austronesia yang berasal dari Kepulauan Lanyu di Taiwan. Masyarakat adat ini lebih dikenal sebagai orang Yami, mengikuti nama yang diberikan antropolog Jepang Torii Ryuzo. Namun secara kolektif, penghuni Pulau Lanyu ini biasanya lebih dipanggil "Tao" untuk mengidentifikasi diri mereka. Mereka termasuk penduduk asli Taiwan. Meskipun terkait dengan penduduk asli Taiwan dan Filipina, orang-orang Tao memiliki tradisi unik yang berbeda dalam kehidupan mereka.[1] Terdiri dari sekitar 3.100 jiwa, penduduk Pulau Lanyu sangat bergantung pada perikanan untuk bertahan hidup.[2] Ketergantungan orang-orang Tao pada perikanan dan budaya laut mencerminkan hubungan mereka yang erat dengan laut sebagai lebih dari sekadar bertahan hidup; mereka menjadikan kegiatan mencari ikan dan membangun kapal sebagai kebanggaan, dan sebagai cara untuk menghormati kepercayaan spiritual mereka. Cara hidup tersebut terancam oleh emigrasi yang berkelanjutan ke pulau utama Taiwan untuk mencari pekerjaan dan pendidikan yang lebih baik. Akibatnya, tradisi warisan masa lalu kian terancam. Karena dianggap mengancam budaya dan kesehatan, orang-orang Tao memprotes proyek pabrik pengolahan limbah nuklir yang hendak dibangun di pulau mereka oleh pemerintah pada tahun 1982 sehingga lokasi pabrik itu dipindahkan.[3] NamaKata "Tao" berarti "manusia" dalam bahasa Tao.[4] Kata Yami diberikan oleh etnolog Jepang Torii Ryūzō. Dia menggunakan istilah ini untuk merujuk pada budaya dan bahasa orang Tao.[5] Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa orang Tao menolak nama itu, meski lainnya tidak mempermasalahkan.[6] Kata Tao atau Yami digunakan untuk penyebutan kolektif, sementara beberapa klan di pulau tersebut menyebut diri dengan nama-nama lain yang terkait dengan desa atau tempat tinggal mereka.[7] BahasaBahasa orang Tao dapat disebut sebagai Tao atau Yami. Bahasa ini adalah anggota rumpun bahasa Melayu-Polinesia, subkelompok rumpun bahasa Austronesia. Lebih spesifik lagi, bahasa ini dianggap sebagai bahasa Melayu-Polinesia Barat, salah satu dari dua cabang utama dalam subkelompok Austronesia — yang lainnya adalah rumpun bahasa Melayu-Polinesia Tengah-Timur. Pada tahun 1994, bahasa ini memiliki 3.000 penutur. GeografiPulau Anggrek, juga disebut sebagai Lanyu atau Pongso no Tao (Pulau Manusia), terletak sekitar 40 mil di lepas pantai tenggara Taiwan, dan tepat di sebelah utara Kepulauan Batanes di Filipina.[5] Merupakan pulau kecil dengan luas sekitar 45 kilometer persegi dengan total populasi sekitar 4.000 jiwa.[8][9] Awalnya, pulau ini disebut sebagai Pulau Hongtou (Pulau Kepala Merah), namun secara resmi berganti nama menjadi Pulau Anggrek pada tahun 1947 karena merupakan penghasil bunga anggrek.[10] Hanya ada sedikit dataran di pulau itu, di mana kondisi geografisnya didominasi oleh lereng curam dan perbukitan. Sebagian besar desa terletak di kaki gunung, karena tersedia sumber air tawar yang cukup.[5] SejarahPada tahun 1877, Dinasti Qing mengklaim Pulau Lanyu sebagai bagian dari Kekaisaran Tiongkok. Pulau itu diserahkan ke Jepang bersama dengan Taiwan pada tahun 1895.[8] Pemerintahan Jepang di pulau itu berlangsung dari tahun 1895 hingga 1945.[9] Selama masa-masa ini, pemerintah menyatakan pulau itu tertutup bagi orang luar, dan menganggapnya sebagai daerah penelitian etnologi. Pemerintah Jepang sangat memantau pengaruh luar yang mungkin secara drastis mengubah cara hidup orang-orang Tao.[8] Akibatnya, orang-orang Tao tetap menjadi masyarakat pribumi Taiwan yang paling primitif. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Republik Tiongkok mengambil kendali atas Pulau Lanyu pada tahun 1945.[4] Pariwisata diperkenalkan ke pulau itu pada tahun 1967, dan orang-orang Tao diperkenalkan dengan berbagai modernisasi baru.[9] Referensi
Pranala luar |