Suku Sempan
Suku Sempan (Semopane Owe) adalah kelompok etnis yang berasal dari pesisir Kabupaten Mimika di Papua Tengah, Indonesia.[1] Pada tahun 1987, populasi mereka berjumlah sekitar 1.000 jiwa. Suku ini hidup sebagai nelayan dan pengumpul sagu yang tinggal di wilayah pantai selatan, diantara Kabupaten Asmat dan Mimika, antara penduduk Asmat di sebelah timur dan Kamoro di sebelah barat. Mereka berbicara dalam bahasa Sempan yang termasuk dalam bahasa Asmat-Kamoro dari rumpun bahasa Trans-Nugini. EtimologiSemopane Owe berasal dari gabungan kata Se/He yang berarti 'tanah', dan Mopane yang berarti 'tuan', sehingga Sempan bisa diartikan sebagai 'tuan tanah'.[2] SejarahSebelum menetap di Kampung Ohotya, suku Sempan hidup secara nomaden. Menurut cerita leluhur mereka berasal dari timur, yakni Okaba di Merauke. Karena mengalami konflik adat, akhirnya mereka berpindah ke Kampung Owapi. Kemudian mereka terpaksa kembali berpindah ke Kampung Wenin di Jita karena kasus pembunuhan yang dikenal dengan nama Minoro Kases (berasal dari bahasa Inggris Minoro Case). Di tempat yang baru, terjadi kasus konflik tentang dusun sagu sehingga akhirnya berpindah ke Kampung Ohotya hingga sekarang. Perpindahan ini diperkirakan oleh leluhur Sempan pada tahun 1940-an. Setelah itu masyarakat Sempan melebarkan wilayahnya hingga ke Kampung Imitawapi.[2] Pada tahun 1950-an, yaitu pada masa kepemimpinan Panglima Perang Alfons Apewa, masyarakat Sempan mulai mengenal agama Katolik yang disebarkan oleh Pastor Gerald Zegwaard pada saat itu. Dari Kampung Imitawapi, mereka kembali pindah ke Kampung Pohaloapi pada tahun 1960. Disana pemerintah Belanda membawa guru dari Kei dan membangun gereja serta sekolah. Bangunan tersebut dibuat dari pohon besi dan pelepah sagu (gaba-gaba), sedangkan atap dibuat dari daun nipah. Akan tetapi pada tahun 1961, terjadi banjir besar yang mengakibatkan wabah penyakit sehingga mereka mengungsi ke Kampung Omawita hingga tahun 1963 atas saran seorang dokter Belanda. Setelah Kampung Ohotya dianggap cukup aman, mereka kembali ke kampung dipimpin oleh Annias Aniparo, seorang kepala kampung yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda.[2] Pada awal tahun 1980-an, beberapa keluarga Semopane Owe memilih untuk berpindah ke Sempan di Kota Timika akan tetapi komunitas ini terlibat perang dengan OPM sehingga beberapa kembali mengungsi ke Kampung Ohotya.[2] Suku Sempan sempat dianggap sebagai sub-suku dari suku Kamoro dan bergabung dalam LEMASKO, untuk kepentingan PT Freeport McMoran, walau kemudian akhirnya memilih berdiri sendiri karena memang memiliki kebudayaan yang berbeda dari Suku Kamoro yang kemudian berubah nama menjadi Mimika Wee.[3] Referensi
|